YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Suara Gembala   |   Warta eRKa   |   Yang Menarik & Yang Lucu   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Warta Paroki Gembala Yang Baik No. 33 Tahun VII / 2005 - 14 Agustus 2005
SUARA GEMBALA

Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga


Pada tanggal 1 Nopember 1950, Paus Pius XII memaklumkan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga sebagai suatu dogma, yaitu ajaran iman yang diwahyukan oleh Allah. Ini dinyatakan oleh Paus dengan kekuasaannya sebagai gembala tertinggi bagi Gereja semesta. Sebelumnya sudah disuruhnya mengadakan angket di antara para uskup sedunia dan 98 % menjawab bahwa pernyataan resmi tersebut mungkin dan sudah tepat waktunya. “Keturunannya akan meremukkan kepalamu” (Kej 3:15); sudah sejak dahulu kala ayat ini dibaca Gereja sebagai kemenangan Yesus, Putra Maria, yaitu Hawa yang kedua, atas setan. Selain itu Paus juga mengutip Kitab-kitab Injil di mana nampak jelas bahwa Maria bersatu dengan Putranya - Yesus Kristus. Kesatuan ini tidak dapat dibatasi hanya pada hidupnya di muka bumi ini saja, melainkan mewarnai juga hidupnya di surga. Tradisi Gereja sudah berabad-abad lamanya secara umum mengakui Santa Perawan Maria diangkat ke surga sebagai bagian dari ajaran iman. Pestanya sudah mulai dirayakan sejak abad kedelapan.

Santa Perawan Maria diangkat ke surga tidak berarti bahwa Maria tidak wafat. Sebaliknya, tak usah disangsikan bahwa Maria yang mengikuti jejak Putranya - Yesus Kristus - dalam segala hal, mengalami maut juga, sama seperti yang dialami oleh Yesus. Memang, maut itu akibat dosa. Tetapi Yesus mengubahnya menjadi kesempatan penyerahan diri terakhir kepada Allah. Di salib, Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Ku-serahkan nyawa-Ku” (Luk 23:46). Sejak saat itu, kematian seorang pengikut Krisus menjadi suatu penyerahan terakhir yang merangkum segala-galanya. Pada saat ajalnya, manusia masih diberi kesempatan untuk mengambil seluruh hidupnya dan menyerahkannya ke dalam tangan Allah. Meninggal itu bagaikan berserah setia, di mana orang berjanji tidak lagi dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan nyata dan dengan kesungguhan penghabisan bahwa ia mau menjadi milik Allah untuk selama-lamanya. Kemungkinan terakhir yang menentukan ini pasti tidak ditolak oleh Allah bagi Maria.

Karena itu kita dapat belajar pada Maria bagaimana meninggal. Terlebih kita dapat belajar daripadanya bahwa meninggal itu suatu karya seni yang harus dilatih seumur hidup. Tak kunjung henti Maria memberikan serta mengulangi persetujuannya yang semula. Artinya, ia selalu melepaskan diri dan “pergi kepada Bapa” (Yoh. 14:28). Inilah rumusan paling tepat bagi kematian dalam paham Kristiani. Bila orang belajar beribu-ribu kali mati selama hidupnya, maka saat yang kita namakan kematian, berubah rupa menjadi suatu “pengangkatan ke surga”. Mungkin ini salah satu pokok penting yang hendak disampaikan kepada kita dalam rahasia Maria diangkat ke surga.

Kita percaya Bunda Maria diangkat ke surga dengan jiwa-raganya. Artinya dengan seluruh pribadinya. Ketika Yesus bangkit dari alam maut, Ia tidak meninggalkan tubuh-Nya di dalam kubur; Ia tidak kembali kepada Bapa sebagai roh murni belaka, melainkan Ia mengikutsertakan tubuh-Nya dalam kemuliaan kekal. Demikian pula tubuh Maria ikut masuk ke dalam surga. Sesudah bangkit, Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Roh tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku” (Luk 24:39). Seperti itu juga yang terjadi pada diri Maria. Ia bukan roh belaka, ia seorang manusia sama seperti kita dan ia sekarang sudah di surga. Ajaran Gereja tentang Maria diangkat ke surga itu sangat menolong kita untuk memahami sedikit rahasia kehidupan sesudah mati. Tidak ada sesuatu pun yang hilang dari kepribadian Maria, seluruh dirinya beralih ke surga. Yang lama tidak dimusnahkan, melainkan diubah. Maria tetap manusia untuk selamanya, namun manusia yang masuk ke dalam kemuliaan. Peristiwa ini tidak hanya menyangkut Maria sebagai Bunda kita umat beriman, melainkan juga membuka mata kita sehingga kita dapat melihat apa yang boleh kita harapkan. Setiap orang yang meninggal dalam cinta akan Allah, diangkat ke surga, tidak hanya sebagian atau separoh saja, melainkan dengan seluruh pribadinya.

Mengapa kita masih merasa heran bahwa Maria diangkat ke surga tidak hanya jiwa melainkan juga dengan raga? Seluruh dirinya telah ia persembahkan kepada Allah. Ketika ia diberi kabar oleh Malaikat Tuhan, ia menyediakan tubuhnya bagi karya Roh Kudus. Ketika Roh Kudus menaungi dia, tubuhnya menjadi Bait Allah. Roh Kudus bekerja dalam Maria sepanjang hidupnya. Dan ketika hidupnya di bumi ini hendak berakhir, ia dikuasai oleh kekuatan Roh Kudus yang tak terkalahkan. Seakan-akan ia ditarik ke surga dalam taufan ilahi. Dengan spontan kita ingat kembali akan Nabi Elia, yang diangkat dengan kereta berapi dan naik ke atas dalam angin taufan. Tubuh kita juga ditentukan untuk mengabdi kepada Allah. Tubuh itu telah menjadi kenisah Roh Kudus (1Kor: 6:19) dan dikuduskan dalam sakramen-sakramen, khususnya Sakramen Ekaristi, saat bersatu dengan Tubuh dan Darah Kristus. Maka, tubuh kita pun akan diangkat ke surga pada suatu ketika. Apa yang dipersembahkan kepada Allah tak akan hilang lenyap; semuanya akan diangkat dan dimuliakan.

Selama Maria masih hidup dalam tubuh fana, ia terikat pada ruang dan waktu. Berkat ganjaran sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut, Maria diangkat ke surga dengan seluruh pribadinya, termasuk raganya, dimuliakan dan semua keterbatasannya diatasi. Tubuh mulia tidak memiliki garis batas yang jelas, dapat hadir di beberapa tempat sekaligus, ya bahkan dapat berukuran seluas kosmos. Karena diangkat ke surga, kehadiran Maria, yang selama masih hidup di bumi terbatas, berubah menjadi kehadiran yang meliputi semesta. Di mana pun juga kita berada dan ke mana pun juga kita pergi, di mana-mana dan selalu Maria tinggal dekat. Dia “berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya” (Why 12:1). Kehadiran ini luas. Pada waktu siang atau malam, waktu berjalan atau bekerja, kita dapat menyapa Maria dengan mengatakan: “Salam Maria,” dan kata-kata ini tidak menghilang dalam udara. Maria dekat selalu. Mungkin di situ kita menemukan sumber sukacita yang baru dengan menjadi insaf bahwa dengan diangkatnya Bunda Maria ke surga, ia tidak dipisahkan dari kita; malahan ia bertambah dekat dengan kita, sebab sekarang ia hidup di tengah-tengah kita. Selama terang dan gelap masih berperang, Maria terlibat. Kita mengetahui bahwa Yesus “hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara kita” (Ibr 7:25) sambil menyiapkan tempat bagi kita (Yoh. 14:2). Di surga juga Maria hanya hidup bagi Puteranya serta karya penyelamatan-Nya bagi umat manusia sepanjang segala masa.


Rm. Yoseph Bukubala, SVD