YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Suara Gembala   |   Warta eRKa   |   Yang Menarik & Yang Lucu   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Warta Paroki Gembala Yang Baik No. 45 Tahun V / 2003 - 9 November 2003
SUARA GEMBALA

GEREJA Pertama-tama
Bukan Gedungnya, Bukan Pastornya, Bukan Juga Administrasinya
Umat Perjanjian Lama sangat menghormati dan mencintai Bait Allah. Bait Allah adalah pusat hidup iman mereka karena dipandang sebagai “tempat tinggal Yahwe”. Paham ini membuat mereka memandang sekaligus berorientasi pada Bait Allah sebagai sebuah tempat. Dari sana mereka merindukan berkat dan rahmat. Yeremia melukiskan dengan kata-kata ini, “Dari dalam wadas Bait Allah itu mengalir sebuah sungai yang memberi hidup dan yang mengubah padang gurun yang gersang menjadi padang rumput yang hijau.” Walaupun sedemikian pentingnya Bait Allah itu, tetapi dalam praktek mereka menajiskannya dengan praktek-praktek hidup yang tak berkenan di hadapan Allah.

Umat Perjanjian Baru juga diajak untuk menyadari pentingnya Bait Allah dalam kehidupannya. Perjanjian Baru justru memberi keyakinan yang lebih mendalam, “Kenisah Allah atau Rumah Kediaman Allah itu sekarang hadir dalam dan berpusat pada Yesus Kristus.” Artinya, Rumah Kediaman Allah itu tidak dibangun oleh tangan-tangan manusia seperti kenisah di Yerusalem, tetapi hadir dan berpusat pada Yesus Kristus - Putra Allah sendiri.

Menariknya, Kitab Suci dengan sangat tegas juga mengatakan bahwa berkat penebusan, diri kita sendiri menjadi Kenisah atau Rumah Allah. Maka, tugas kita adalah menyadari kehadiran Tuhan dalam pengalaman hidup kita setiap hari. Di sini kita menemukan satu pesan universal, yakni pusat yang mempersatukan kehidupan umat Allah beralih dari sesuatu yang bersifat fisik-material kepada yang lebih bersifat spiritual-pribadi.

Dalam satu kesempatan, seorang umat melitanikan sekian banyak alasan “mengapa orang tidak mau pergi ke gereja”. Dalam hati, saya teringat prinsip umum yang pernah saya dengar: “Gereja pertama-tama bukan gedung ini. Kalau orang cenderung berpikir gereja itu gedung, maka ketika gedung gerejanya rusak, bocor, retak, panas, sumpek; orang lalu meninggalkan gereja. Gereja juga pertama-tama bukan pastor atau pendetanya. Kalu orang cenderung berpikir gereja itu adalah pastor atau pendeta, maka ketika pastornya tak peduli, mereka meninggalkan gereja. Gereja juga pertama-tama bukan administrasi. Kalau orang cenderung berpikir gereja itu administrasi, maka ketika mengurus pernikahan misalnya, dimintai surat ini dan itu, lalu orang merasa berat, orang lalu meninggalkan gereja.” Jadi, gereja pertama-tama bukan gedung, bukan pastor atau pendeta, bukan juga administrasi. Gereja adalah persekutuan orang beriman yang berjalan (= berziarah) menuju tujuan akhir. Dengan demikian, kita secara sangat sederhana bisa melihat dua unsur yang mendorong terbentuknya gereja, yakni unsur persona-pribadi dan communio - persekutuan. Guna mengungkapkan atau mewujudkan kedua unsur ini dibutuhkan “sarana yang bersih”.

Injil menggambarkan proses pembersihan Bait Allah itu dengan kata-kata, “Yesus membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar dihamburkannya ke tanah, dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya; kepada pedagang merpati Ia berkata 'Ambillah semuanya ini, jangan membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.' Mengapa yang diusir itu penukar uang; pedagang lembu, kambing domba dan merpati? Pertama, setiap kali hari raya paska, para peziarah berdatangan dari seluruh dunia sambil membawa mata uang asing. Maka, kalau ada tempat penukaran uang, itu adalah sesuatu yang baik. Masalahnya, di sini justru terjadi penipuan, pemerasan, dan ketidakadilan. Maka, apa yang dari awal bertujuan baik itu, dalam praktek menjadi sebuah kejahatan besar. Kedua, kunjungan ke Bait Allah kerap kali dipakai juga untuk mempersembahkan korban. Setiap maksud atau peristiwa hidup mempunyai jenis korban tersendiri. Maka akan sangat menolong para peziarah yang datang dari jauh untuk maksud tersebut, kalau di situ tersedia hewan korban. Sayang, dalam praktek para peziarah ini justru ditekan dengan pajak dan dibebani dengan upeti sehingga membuat mereka sama sekali tak berdaya selain harus membeli semuanya itu. “Rumah-Ku adalah Rumah Doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun,” demikian alasan yang keluar dari mulut Yesus.

Saudara-saudari, kita perlu menyadari sungguh bahwa diri kita adalah Kenisah Allah. Maka, tugas kita adalah menyadari kehadiran Tuhan itu dalam seluruh peristiwa hidup kita. Luar biasanya bahwa relasi kita dengan Tuhan tidak tergantung pada tempat, sarana atau keadaan apapun. Kalau kita membuka hati, kita sadar Tuhan ada beserta kita. Kita juga perlu bertanya: dalam gereja - simbol persekutuan iman itu - apakah ada hal-hal yang menghalangi orang lain mencari Tuhan? Sarana baik, tetapi ketika sarana itu menjadi dewa, ia bukan lagi membantu, tetapi malah membinasakan.


Rm. Gregorius Kaha, SVD