Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Suara Gembala | Warta eRKa | Yang Menarik & Yang Lucu | Anda Bertanya, Kami Menjawab
Warta Paroki Gembala Yang Baik No. 10 Tahun VII / 2005 - 06 Maret 2005
SUARA GEMBALA
Jatuh Sembilan Kali,
Bangkit Sepuluh Kali ...
Rm. Gregorius Kaha, SVD
Ketika merenungkan bacaan-bacaan hari ini, dalam inspirasi ajakan untuk bertobat (masa prapaska), perhatian saya langsung tertuju pada kesaksian yang sangat indah dari John C Maxwell dengan judul: “Jatuh sembilan kali-Bangkit sepuluh kali!”
Singkat cerita, Maxwell menyimpulkan bahwa kehidupan manusia itu seperti seorang anak yang sedang belajar berjalan. Ada hari-hari dimana segalanya berjalan dengan mulus, tetapi juga ada hari-hari yang dipenuhi ketegangan, salah-paham dan kegagalan. Jalan hidup setiap orang harus melewati kesulitan dan tantangan. Dalam situasi demikian, sebaiknya setiap orang menyadari tiga peringatan retoris ini. Pertama, ada saat orang jatuh. Setiap orang yang menjalankan kehidupan ini tidak hanya mempunyai kemungkinan untuk berhasil, tetapi juga memiliki risiko untuk jatuh atau gagal. Setiap orang yang berusaha berdiri, berusaha bekerja dan berjuang untuk maju selalu ada kemungkinan untuk gagal. Sebabnya macam-macam: ada yang karena kita kurang pengalaman, kurang tanggap, kadang juga karena kurang persiapan. Apa pun namanya, setiap orang pasti memiliki pengalaman gagal atau jatuh itu. Kedua, semakin sering kita mencoba - semakin besar kemungkinan untuk jatuh. Banyak yang menganggap ungkapan tersebut hanya sebuah utopia, tetapi realitanya memang demikian; kita bisa gagal bukan karena orang lain saja, tetapi bisa karena diri kita sendiri. Yesus sendiri ketika mulai tampil di muka umum, Dia sebenarnya membuka babak baru dari kehidupan-Nya, yakni babak dimana orang-orang akan melawan dan menolak Dia, sampai pekerjaan baik-Nya pun dilawan. Ketiga, tanggapan atas kegagalan sangat menentukan sikap orang. Alkitab memberi begitu banyak contoh bahwa reaksi kita terhadap kegagalan menentukan sikap kita dalam hidup. Misalnya Saul dan Daud, sama-sama menjadi Raja yang dipilih dan diurapi, keduanya sama-sama mempunyai talenta dan karunia. Tetapi Raja Saul membiarkan kesalahannya itu mengeraskan hatinya, dan akhirnya ia harus mati. Sedangkan Raja Daud segera bertobat dan meminta pengampunan dari Tuhan dan hidupnya setelah itu dipenuhi dengan berkat.
Yesus murnikan hati kami,
kuduskan jiwa kami ....
Bacaan-bacaan hari ini mengajak kita untuk melihat di kedalaman hati setiap kita. Pesan bacaan pertama; berbeda dengan manusia yang sering menilai berdasarkan rupa lahiriah, tidak demikian dengan Allah. Manusia melihat apa yang tampak di mata, tetapi Tuhan melihat hati. Artinya manusia besar dan bahagia bukan karena tampang lahiriah, tetapi hatinya, yang adalah pusat atau sentral kehidupannya. Kalau hati orang baik: pikiran, kata-kata dan perbuatannya juga baik Dalam bacaan Injil, Yesus dengan hati tulus ikhlas menyembuhkan orang buta sejak lahir. Yesus bukan hanya memberi penglihatan terhadap orang itu, tetapi mengutus dia dengan menyiapkan hatinya agar dia berani memberi kesaksian, “Dia memang Tuhan - saya percaya itu....”
Semua kita yang bergabung dengan Yesus melalui Sakramen Baptis, ditahirkan dan diundang untuk hidup secara baru. Rasul Paulus dalam bacaan kedua, mengingatkan kita walau pun kita mempunyai identitas seperti itu, tetapi karena dosa dan salah kita jatuh dan gagal. Maka tugas perutusan setiap orang bukan hanya menjadi terang untuk orang lain, tetapi juga menjadi terang untuk dirinya sendiri. Tugas kita bukan hanya menyelamatkan, tetapi juga supaya kita selamat. Kita kadang gampang menasihati orang, gampang memberi wejangan kepada orang lain, tetapi kita sendiri sulit melakukan itu untuk diri sendiri. Seperti kepada orang buta itu, kita pun yang sering jatuh dan gagal boleh mendengar kata-kata Yesus ini, “Pergi, basuhlah dirimu di kolam Siloam.”
|
||