![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Suara Gembala | Warta eRKa | Yang Menarik & Yang Lucu | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() ![]() Bab XXXIII
![]() Simon dari Kirene ~ Yesus Jatuh Ketiga Kali
![]() Arak-arakan tiba di sebuah bangunan melengkung yang dibangun pada sebuah tembok tua milik kota, berhadapan dengan alun-alun, di mana tiga jalan berakhir, ketika Yesus tersandung sebuah batu besar yang ditempatkan di tengah jalan; salib tergelincir dari pundak-Nya sementara Ia jatuh terkapar di atas batu dan sama sekali tak berdaya untuk bangkit berdiri. Banyak orang berpenampilan terhormat, yang sedang dalam perjalanan menuju Bait Allah, berhenti dan berseru penuh rasa iba: “Lihat laki-laki malang itu, pastilah Ia akan mati!” tetapi para musuh-Nya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Jatuh Yesus mengakibatkan iring-iringan terhenti, sebab Tuhan kita tak mampu bangkit kembali. Kaum Farisi berteriak kepada para prajurit, “Kita tak akan dapat membawa-Nya ke tempat eksekusi dalam keadaan hidup, jika kalian tidak mendapatkan seseorang untuk memanggul salib-Nya.” Saat itulah Simon dari Kirene, seorang kafir, kebetulan berjalan lewat, dengan disertai ketiga anaknya. Simon, seorang tukang kebun, dalam perjalanan pulang ke rumah setelah bekerja di suatu taman dekat tembok sebelah timur kota; ia membawa sekantong potongan ranting tanam-tanaman. Dari pakaian yang dikenakannya, para prajurit segera mengenali Simon sebagai seorang kafir; mereka menahannya dan memerintahkannya untuk membantu Yesus memanggul salib-Nya. Pada mulanya ia menolak, tetapi segera terpaksa taat; meskipun anak-anaknya menangis dengan ribut karena takut, hingga beberapa perempuan menenangkan serta menjaga mereka. Simon teramat marah, dan dengan hebat mengungkapkan kekesalan hatinya karena dipaksa berjalan dengan seorang yang keadaannya begitu hina, dekil dan penuh sengsara; tetapi Yesus meneteskan airmata dan menatap padanya dengan tatapan surgawi yang begitu lemah lembut sehingga hatinya tersentuh. Bukannya terus menunjukkan kedongkolan hatinya, malahan ia membantu Yesus bangkit, sementara para algojo mengikatkan satu sisi lengan salib ke atas pundaknya. Simon berjalan di belakang Tuhan kita, dengan demikian banyak meringankan Yesus dari beban salib yang berat. Ketika segala sesuatunya telah siap, arak-arakan pun bergerak maju kembali. Simon seorang yang kekar perawakannya, usianya sekitar empatpuluh tahun. Anak-anaknya mengenakan jubah dari bahan yang berwarna-warni. Dua yang tertua, Rufus dan Aleksander, di kemudian hari menggabungkan diri dengan para murid Yesus; yang ketiga jauh lebih kecil, tetapi beberapa tahun sesudahnya pergi untuk tinggal bersama St Stefanus. Simon tidak akan memanggul salib Yesus barang sekejap pun andai ia tidak merasakan hatinya tersentuh begitu dalam oleh rahmat Tuhan.
sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|
![]() |