![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Suara Gembala | Warta eRKa | Yang Menarik & Yang Lucu | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() ![]() Bab XXV
![]() Gambaran tentang
Penampilan Pribadi Santa Perawan
![]() Ketika peristiwa-peristiwa sedih ini terjadi, aku berada di Yerusalem, terkadang di suatu tempat, terkadang di tempat lainnya. Aku tak berdaya, sengsaraku begitu hebat, dan aku merasa seakan-akan hendak mati. Saat Mempelai-ku yang mengagumkan didera, aku duduk dekat sana, di bagian di mana orang Yahudi tak berani mendekat, takut menajiskan diri; tetapi aku tidak takut menajiskan diri, aku hanya rindu kiranya setetes darah Tuhan jatuh ke atasku guna menyucikanku. Hatiku sama sekali hancur-luluh hingga aku pikir pastilah aku mati, sebab aku tak dapat memberikan kelegaan pada Yesus, dan setiap deraan yang diderita-Nya membuatku menangis dan mengerang begitu rupa hingga aku merasa heran bahwa aku tidak diusir pergi. Ketika para algojo menggiring Yesus ke gardu jaga untuk memahkotai-Nya dengan mahkota duri, timbul hasrat kuat dalam diriku untuk mengikuti-Nya agar aku dapat bersatu dengan Dia dalam sengsara-Nya. Saat itulah Bunda Yesus, dengan ditemani para perempuan kudus, menghampiri pilar dan menyeka darah yang membasahi pilar dan lantai sekitarnya. Pintu gardu jaga terbuka; aku mendengar tawa liar orang-orang yang tak punya hati, yang sedang sibuk menyelesaikan anyaman mahkota duri yang mereka persiapkan bagi Tuhan kita. Aku begitu dikuasai oleh duka yang pedih, tetapi aku berusaha menyeret diriku mendekati tempat di mana Tuhan kita hendak dimahkotai duri.
Lagi, aku melihat Santa Perawan; rona wajahnya pucat pasi, matanya sembab dan merah karena airmata, tetapi wibawa pembawaannya yang bersahaja sungguh tak terlukiskan. Kendati dahsyatlah dukacita dan sengsaranya, kendati lelah letih tubuhnya (sebab ia telah menempuh perjalanan panjang sejak sore sebelumnya menyusuri jalan-jalan Yerusalem, dan melintasi Lembah Yosafat), penampilannya tenang dan bersahaja, tak satu pun lipatan gaunnya yang tak tertata rapi pada tempatnya. Ia memandang sekeliling dengan agung; kerudungnya jatuh dengan anggun di atas pundaknya. Gerak-geriknya lemah-lembut, dan walau hatinya didera dukacita yang teramat pahit, raut wajahnya tenang dan penuh penyerahan diri. Gaunnya basah oleh tetes-tetes embun yang jatuh semalam, dan oleh airmata yang mengucur begitu deras dari pelupuk matanya; jika tidak, pastilah gaunnya itu tanpa cela. Keelokan wajahnya sungguh luar biasa, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, sebab melampaui keelokan manusia - merupakan perpaduan antara keagungan, kekudusan, kesahajaan dan kemurnian.
Penampilan Maria Magdalena sama sekali berbeda; ia lebih tinggi dan perawakannya lebih kokoh, ekspresi wajahnya memancarkan keteguhan hati, namun keelokan wajahnya nyaris sirna oleh hasrat hati yang begitu lama diumbarnya, dan oleh tobat yang total dan duka hebat yang ia rasakan sesudahnya. Sungguh iba memandangnya; Maria Magdalena adalah gambaran keputusasaan, rambutnya yang panjang tergerai, sebagian tertutup kerudungnya yang basah dan koyak; penampilannya bagaikan seorang yang tenggelam dalam sengsara, nyaris gila karena dukacita. Banyak penduduk Magdala berdiri di sekelilingnya, mengamatinya dengan terkejut dan penuh selidik, sebab mereka mengenalnya di masa-masa yang lampau, unggul dalam kekayaan dan sesudahnya terpuruk dalam sengsara yang hina. Mereka menunjuk-nunjuk dengan jari mereka, bahkan melemparinya dengan lumpur; tetapi Maria Magdalena tak melihat apa-apa, tak mengenal siapa-siapa, tak merasakan apa-apa, selain dukacita pilu yang menyayat hatinya.
sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|
![]() |