YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Suara Gembala   |   Warta eRKa   |   Yang Menarik & Yang Lucu   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus
Bab XXVI
Yesus Dimahkotai Duri


Tak lama setelah Sr Emmerick melanjutkan kisah penglihatannya akan Sengsara, lagi, ia sakit parah, terserang demam dan tersiksa oleh rasa dahaga yang hebat hingga lidahnya kering dan melekat ke langit-langitnya; pada hari Senin setelah Minggu Keempat Prapaskah, tenaganya terkuras habis hingga dengan susah payah, dan setelah banyak jeda istirahat, barulah ia dapat mengisahkan segala yang diderita Tuhan kita saat Ia dimahkotai duri. Sr Emmerick nyaris tak dapat berbicara, sebab ia sendiri ikut merasakan setiap gejolak peristiwa yang ia kisahkan sebagai berikut:

Pilatus berulang kali mengecam khalayak ramai sepanjang masa penderaan Yesus, tetapi mereka segera menyelanya dengan berteriak-teriak, “Ia harus dihukum mati, bahkan jika kami harus mati untuk itu.” Ketika Yesus digiring ke gardu jaga, mereka semua berteriak-teriak lagi, “Salibkan Dia, salibkan Dia!”

Sesudah itu ada hening sesaat. Pilatus sibuk memberikan berbagai perintah kepada para prajurit; para hamba imam-imam besar datang membawakan minuman segar bagi mereka. Kemudian Pilatus, yang kepercayaannya terhadap takhayul menjadikannya gelisah, masuk ke bagian dalam istananya guna mohon petunjuk para dewa dan membakar dupa bagi mereka.

Ketika Santa Perawan dan para perempuan kudus selesai membersihkan darah Yesus yang membasahi pilar dan sekitarnya, mereka meninggalkan forum dan pergi ke sebuah rumah kecil dekat sana; aku tidak tahu siapa pemilik rumah itu. Yohanes, aku pikir, tidak ada di sana saat Yesus didera.

Sebuah serambi melingkari bagian dalam gardu jaga di mana Tuhan kita dimahkotai duri; pintu-pintunya terbuka. Para bajingan yang pengecut, yang menanti dengan penuh gairah untuk segera memuaskan kekejian mereka dengan menganiaya serta menyiksa Tuhan kita, berjumlah sekitar limapuluh orang; sebagian besar dari antara mereka adalah para hamba atau pelayan para sipir penjara dan prajurit. Khalayak ramai berkerumun sekeliling gardu jaga, tetapi posisi mereka segera diambil alih oleh seribu prajurit Romawi, yang berbaris rapi dan disiagakan di sana. Walau tidak diperkenankan meninggalkan barisan, para prajurit ini berperan penuh dalam aniaya dengan tawa dan tepuk-tangan mereka yang riuh-rendah guna meningkatkan keberingasan para algojo dalam melipatgandakan aniaya mereka; sama seperti sorak-sorai penonton membangkitkan semangat baru pada seorang pelawak, demikian pula teriakan-teriakan mereka meningkatkan sepuluh kali lipat kekejian orang-orang ini.

Di tengah gardu jaga tegak berdiri penggalan sebuah pilar, di atasnya diletakkan sebuah bangku tanpa sandaran yang teramat pendek, yang oleh orang-orang kejam ini ditaburi kerikil-kerikil tajam dan serpihan tembikar. Kemudian, mereka merenggut jubah Yesus dengan kasar, dengan demikian mengakibatkan luka-luka-Nya terkoyak lagi. Lalu, mereka melemparkan ke atas pundak-Nya sebuah mantol usang berwarna merah yang panjangnya tak sampai ke lutut; menyeret-Nya ke bangku yang telah mereka persiapkan, menghempaskan-Nya dengan brutal ke atasnya, setelah terlebih dulu menancapkan mahkota duri ke atas kepala-Nya. Mahkota duri ini terbuat dari tiga ranting duri yang dianyam, sebagian besar durinya sengaja dibengkokkan ke dalam agar menusuk serta menembusi kepala Tuhan kita. Sesudah menancapkan anyaman duri ini ke atas kepala-Nya, mereka mengencangkannya kuat-kuat dan mengikatkannya di belakang kepala-Nya; sekejap setelah hal ini memuaskan hati mereka, mereka menempatkan sebuah buluh besar ke dalam tangan-Nya. Semuanya ini dilakukan dengan kekhidmadan olok-olok seolah mereka sungguh sedang memahkotai-Nya sebagai raja. Kemudian, mereka merenggut buluh itu dan memukulkannya ke kepala-Nya begitu hebat hingga kedua mata-Nya segera dibanjiri darah; mereka berlutut di hadapan-Nya; mencemooh-Nya; meludahi wajah-Nya dan menghajar-Nya seraya berkata, “Salam, Raja orang Yahudi!” Lalu mereka menyepak bangku di mana Ia duduk, menarik-Nya berdiri dari tanah di mana Ia jatuh tersungkur, dan mendudukan-Nya kembali dengan kebrutalan yang paling bengis.

Mustahil menggambarkan kebiadaban yang dipikirkan serta dilakukan oleh monster-monster dalam rupa manusia ini. Derita Yesus karena kehausan, akibat demam yang disebabkan oleh luka-luka dan sengsara-Nya, begitu hebat.* Sekujur tubuh-Nya gemetar, daging-Nya tercabik dan terkoyak, lidah-Nya lekat ke langit-langit. Satu-satunya pelega dahaga yang Ia dapatkan adalah darah yang menetes dari kepala-Nya, jatuh ke atas bibir-Nya yang kering dan pecah-pecah. Pemandangan yang mengenaskan ini berlangsung selama setengah jam penuh, dan sepanjang waktu itu, para prajurit Romawi terus bertepuk-tangan dan memberikan semangat untuk penganiayaan yang terlebih dahsyat lagi.

* Meditasi akan sengsara Yesus ini meliputi Sr Emmerick dengan perasaan kasih yang begitu rupa hingga ia mohon kepada Tuhan agar diperkenankan menanggung sengsara seperti yang telah Ia tanggung. Segera Sr Emmerick menderita demam dan kering karena dahaga yang hebat, dan hingga pagi hari, ia tak mampu berbicara karena lidahnya lekat dan bibirnya terkatup rapat. Ia sedang dalam keadaan demikian ketika temannya datang pagi hari itu. Sr Emmerick tampak bagaikan kurban yang baru saja dikurbankan. Mereka yang ada di sekelilingnya, dengan susah payah berhasil membasahi bibirnya dengan sedikit air, tetapi dibutuhkan waktu yang lama sebelum ia dapat melanjutkan kisah meditasinya akan Sengsara Yesus.

Ecce Homo

sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”