SP Maria Ratu Surga dan Bumi
DASAR BIBLIS
Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa umat Katolik memperlakukan Maria seperti seorang ratu? Lagi pula, Kitab Suci tampaknya tidak memberitahu kita apa pun tentang perempuan sederhana dari Nazaret ini yang memiliki posisi kerajaan dalam kerajaan Kristus. Dan selain itu, Maria bukanlah istri Raja Yesus. Dia hanyalah BundaNya!
Akan tetapi, pendalaman Kitab Suci dengan lebih cermat, menunjukkan kepada kita bahwa justru tepat dari perspektif Biblis-lah keratuan Maria menjadi sangat masuk akal. Karena di masa Israel kuno, ibunda rajalah yang memerintah sebagai ratu, bukan istri raja. Sebagian besar raja pada periode ini memiliki harem yang besar. Raja Salomo, misalnya, memiliki 700 istri dan 300 gundik (1 Raja-raja 11:3). Akan mustahil menganugerahkan posisi ratu kepada 1.000 perempuan! Namun, karena setiap raja hanya memiliki satu ibu, posisi ratu biasanya diberikan kepadanya.
Kepada ibu suri diberikan gelar "Nyonya Agung", dan kita bisa melihat posisi pentingnya dalam sejumlah ayat dari Perjanjian Lama. Misalnya, ketika 1 & 2 Raja-raja memperkenalkan seorang raja baru di Kerajaan Yudea, hampir selalu disebutkan nama ibunda raja di samping putranya. Ibu suri juga digambarkan sebagai anggota istana yang terkemuka, dengan mengenakan mahkota kemuliaan di kepalanya (Yeremia 13:18) dan mengepalai para pembesar dan para pegawai istana di kerajaan (2 Raja-raja 24:12-15). Lebih jauh, ibu suri memiliki andil yang nyata dalam pemerintahan putranya, membantu misi putranya untuk menggembalakan rakyat (Yer. 13:18-20) dan melayani sebagai penasihat tepercaya (lihat Amsal 31). Namun yang terpenting, ibu suri bertugas sebagai pembela rakyat, mendengarkan permohonan mereka dan mempersembahkannya kepada raja.
Seorang perempuan dalam Kitab Suci yang menggambarkan hak prerogatif ibu suri dalam kerajaan secara paling jelas adalah Batsyeba. Renungkan apa yang terjadi ketika Batsyeba beralih dari perannya sebagai istri Raja Daud menjadi ibu suri sesudah putranya Salomo naik takhta.
Ketika suaminya Daud masih memerintah sebagai raja, Batsyeba memasuki ruang istana, dan dia menghampirinya seperti yang dilakukan rakyat kebanyakan di kerajaan: dia berlutut dengan mukanya sampai ke tanah; ia sujud menyembah kepada raja dan berkata: "Hidup tuanku Raja Daud untuk selama-lamanya!" (1 Raja-raja 1:16, 31).
Namun, setelah Daud meninggal dan putranya Salomo menjadi raja, dia diperlakukan dengan sangat berbeda, karena sekarang dia adalah ibu suri. Segera seorang dari kerajaan mengenali peran Batsyeba sebagai pembela dan memintanya untuk mengajukan petisi kepada raja. Mengungkapkan keyakinannya yang besar akan perantaraan ibu suri, orang itu berkata, "Bicarakanlah kiranya dengan Raja Salomo, sebab ia tidak akan menolak permintaanmu" (1 Raja-raja 2:17-20).
Batsyeba setuju untuk pergi menghadap raja. Namun kali ini, ketika dia memasuki ruang istana, dia mendapatkan perlakuan kerajaan. Raja bangkit untuk menyalaminya serta tunduk menyembah kepadanya. Kemudian raja memerintahkan agar sebuah tahta dibawa masuk untuknya, dan perempuan itu duduk di sebelah kanannya, posisi otoritas (1 Raja-raja 2:19-20; bandingkan Maz. 110:1). Tidak ada tempat lain dalam Kitab Suci di mana raja menghormati seseorang seperti Salomo menghormati ibu suri dalam peristiwa ini.
Yang lebih luar biasa adalah bagaimana Raja Salomo menegaskan komitmennya terhadap peran perantaraan ibu suri di kerajaan. Sesudah Batsyeba menyebutkan bahwa dia memiliki permintaan untuk disampaikan, Salomo menjawab, "Mintalah, ya ibu, sebab aku tidak akan menolak permintaanmu" (1 Raja-raja 2:20).
Semua ini menjadi latar belakang penting untuk memahami bagaimana Perjanjian Baru menggambarkan Maria, Bunda dari Sang Raja Yesus, sebagai ibu ratu dalam Kerajaan Kristus.
Dalam tulisan St. Lukas tentang Kabar Sukacita, Malaikat Gabriel memberitahu Maria bahwa Maria akan menjadi bunda dari seorang Putra kerajaan yang akan menggenapi pengharapan Perjanjian Lama tentang kerajaan kekal Mesias (mis., 2 Sam. 7; Ps. 2, 72, 89 ). Malaikat berkata: "Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan" (Luk. 1:31-33).
Jika orang Yahudi kuno mendengar tentang seorang perempuan yang melahirkan seorang raja baru dari keturunan Daud, mereka akan dengan mudah menyimpulkan bahwa dia adalah seorang ibu suri. Dan itulah tepatnya panggilan yang diterima Maria saat Kabar Sukacita. Dia adalah ibu suri dari raja yang akan duduk di "takhta Daud, bapa leluhur-Nya" dan yang " Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan".
Posisi kerajaan Maria dibuat lebih eksplisit dalam peristiwa selanjutnya dalam Injil Lukas, Maria Mengunjungi Elisabet. Di sini, Elisabet menyalami Maria dengan mengatakan, " Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?" (Luk. 1:43).
Gelar "ibu Tuhanku" [mother of my Lord] ini dikemas dengan makna keratuan yang luar biasa. Dalam bahasa istana di Timur Dekat kuno, gelar "Tuanku raja" [my Lord] digunakan untuk menyebut raja (lihat 2 Sam. 24:21). Oleh karena itu, "ibu Tuhanku" berarti "ibu tuanku raja", atau dengan kata lain, ibu suri. Dalam menggunakan gelar istimewa ini untuk menyapa Maria, Elisabet mengenali martabat agung posisi kerajaan Maria.
Perikop lain yang menyoroti status Maria sebagai seorang ratu ada dalam Kitab Wahyu bab duabelas: "Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Ia sedang mengandung ..." (Wahyu 12:1-2).
Siapakah perempuan misterius dari Apokalips ini? Sementara sebagian penafsir berpendapat bahwa perempuan itu melambangkan Israel atau Gereja, dia juga dapat dengan mudah dilihat sebagai Maria, Bunda Yesus. Memang, Wahyu 12 menggambarkan perempuan ini sebagai Bunda Mesias. Dalam Wahyu 12:5 Anaknya itu diserang oleh iblis, diangkat ke surga, duduk di atas takhta, dan ditetapkan untuk "menggembalakan semua bangsa dengan gada besi," mengacu pada nubuat tentang raja mesias (Mzm. 2:9). Jika Anak itu adalah Kristus-Sang Mesias-lalu siapakah Bunda Kristus ini? Jelas, perempuan itu akan dilihat sebagai Maria.
Oleh karena itu, Maria muncul dalam Wahyu 12 dengan kemegahan kerajaan, memerintah di surga sebagai ibunda raja. Seperti ibu suri di masa kuno, dia mengenakan mahkota di kepalanya, yang menyatakan jabatan kerajaannya. Duabelas bintang di mahkotanya melambangkan pemerintahannya dalam Gereja, yang lahir dari 12 suku Israel dan didirikan di atas 12 rasul. Dia berselubungkan matahari, memancarkan kemuliaan Allah, dan bahkan bulan yang berada di bawah kakinya menunjukkan otoritas kerajaannya-karena gambaran "di bawah kaki" melambangkan kekuasaan kerajaan dan mengalahkan musuh orang (mis., Mazmur 8:6; 110: 1).
Sama seperti "Ratu Agung" dari wangsa Daud, Maria terus melayani sebagai pembela kita di kerajaan Allah sekarang ini. Sebagai ibu suri, dia adalah perantara yang paling berkuasa di kerajaan Kristus, menyampaikan kebutuhan-kebutuhan kita di hadapan takhta-Nya. Oleh karena itu, marilah kita datang kepada ratu bunda kita dengan penuh percaya, tahu bahwa dia dengan setia menyampaikan permohonan-permohonan kita kepada Putranya yang agung, yang menanggapinya seperti yang dilakukan Salomo kepada Batsyeba, dengan mengatakan: "aku tidak akan menolak permintaanmu" (1 Raja-raja 2:20).
KONSEP DASAR
Awal konsep bahwa Maria adalah seorang Ratu ditemukan dalam kisah Kabar Sukacita, karena malaikat memberitahu dia bahwa Putranya akan menjadi Raja atas keturunan Yakub untuk selamanya. Jadi dia, BundaNya, akan menjadi Ratu.
Para Bapa Gereja segera menangkap implikasi ini. Sebuah teks yang mungkin berasal dari Origen (w. +/- 254) memberi Maria gelar "domina", bentuk feminin dari bahasa Latin dominus, Tuhan. Gelar yang sama juga digunakan banyak penulis awali lainnya, mis. St Ephrem, St Hieronimus, St Petrus Chrysologus. Kata "Ratu" muncul sekitar abad keenam, dan menjadi umum sesudahnya.
Gelar "raja" dan "ratu" sering digunakan secara bebas, untuk mereka yang unggul dalam suatu hal. Kita menyebut singa sebagai raja hutan, misalnya. Tentunya Bunda Maria layak mendapatkan gelar Ratu karena alasan macam itu. Namun masih banyak lagi alasan lainnya.
Alasan teologis yang kokoh untuk gelar Maria Ratu diungkapkan secara mengagumkan oleh Paus Pius XII, Bendito seja (AAS 38.266): "Yesus, Putra Allah, merefleksikan pada BundaNya kemuliaan, keagungan dan kekuasaan rajawi-Nya, karena, bersatu dengan Raja Segala Martir dalam karya Penebusan manusia secara tak terperikan sebagai Bunda dan kooperator, Maria tetap selamanya bersatu dengan-Nya, dengan kuasa yang praktis tak terbatas, dalam pembagian rahmat yang mengalir dari Penebusan. Yesus adalah Raja sepanjang kekekalan masa oleh kodrat dan oleh hak penaklukan-Nya: melalui Dia, bersama Dia, dan tunduk kepada-Nya, Maria adalah Ratu oleh rahmat, oleh hubungan ilahi, oleh hak penaklukan, dan oleh pilihan tunggal [Bapa]. Dan kerajaannya adalah seluas kerajaan Putranya dan Tuhannya, karena tidak ada yang dikecualikan dari kekuasaannya."
Kita perhatikan bahwa ada dua gelar untuk rajawi Kristus: kodrat ilahi, dan "hak penaklukan", yaitu Penebusan. Maria adalah Ratu "melalui Dia, bersama Dia, dan tunduk kepada Dia." Kualifikasinya jelas, dan tidak perlu penjelasan. Keratuan Maria pada dasarnya adalah ambil bagian dalam kerajaan Putranya. Kita tidak memikirkan dua kuasa, yang satu tak terbatas, yang lainnya terbatas. Tidak, Maria dan Putranya tidak terpisahkan, dan bertindak sebagai satu kesatuan.
Dari keempat gelar yang diberikan oleh Paus Pius XII untuk perannya sebagai Ratu, kita melihat bahwa ada dua gelar yang sejajar erat dengan gelar Yesus:
(1) Yesus adalah Raja oleh kodrat-Nya, sebagai Allah; Maria adalah Ratu oleh "hubungan ilahi" yaitu, dengan menjadi Bunda Allah. Faktanya, hubungan Maria dengan Putranya lebih mendalam daripada hubungan para ibunda raja pada umumnya. Karena dia adalah Bunda dari Dia yang adalah Raja tepat dari kodrat-Nya, sepanjang kekekalan masa, dan hubungannya adalah eksklusif, karena Yesus tidak memiliki bapa manusia. Lebih jauh lagi, ibu ratu yang biasa melahirkan seorang anak yang kelak akan menjadi raja. Putera Maria adalah raja yang kekal, oleh tepat kodrat-Nya sendiri.
(2) Yesus adalah raja oleh hak penaklukan. Maria juga adalah Ratu oleh "hak penaklukan". Kita sudah melihat bahwa gelar ini bagi Yesus berarti bahwa Dia menebus kita dari perbudakan setan. Maria ikut ambil bagian dalam perjuangan dan kemenangan itu. Paus menyatakan ketergantungan Maria pada Yesus. Dan dengan mempertahankan ketundukan Maria pada Putranya ini, "oleh hak penaklukan" berarti hak penaklukan yang sama bagi Maria seperti halnya bagi Dia.
Dua gelar lainnya: (3) Maria adalah Ratu "oleh rahmat". Maria penuh rahmat, yang tertinggi dalam kategori rahmat di samping Putranya. (4) Dia adalah Ratu oleh pilihan tunggal Bapa. Manusia biasa bisa menjadi raja atau ratu oleh pilihan rakyat. Betapa terlebih dahsyat gelar itu karena Maria adalah pilihan Bapa sendiri!
Paus Pius XII menambahkan bahwa "tidak ada suatu pun yang dikecualikan dari kekuasaan Maria." Sebagai Mediatrix [perantara] segala rahmat, yang ambil bagian dalam memperolehkan semua rahmat, Maria adalah, seperti yang dikatakan Paus Benediktus XV, "Suppliant omnipotence": Maria, dalam persatuan dengan Putranya, dapat memperolehkan melalui perantaraannya apa pun yang dapat dilakukan oleh Allah yang Mahakuasa dengan kuasa-Nya.
Dalam Perjanjian Lama, di bawah sebagian raja-raja keturunan Daud, Gebirah [Ibrani], yakni "Nyonya Agung", biasanya ibu suri, Bunda Raja, memegang kekuasaan besar sebagai pembela di hadapan raja. Lih. 1 Raja-raja 2:20, di mana Salomo mengatakan kepada ibunya Batsyeba, yang duduk di singgasana di sebelah kanannya: "Mintalah, ya ibu, sebab aku tidak akan menolak permintaanmu." Seperti inilah Bunda Maria kita.
sumber : 1. “Is Mary's Queenship Biblical?" by Dr. Edward Sri, a theologian, author, Catholic speaker; 2. "Queen of Heaven and Earth" by Fr. William G. Most
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|