|
St Teresa Benedikta dari Salib
St Edith Stein (1891-1942)
bagian 2
  TERESA BENEDIKTA DARI SALIB
Edith Stein pergi ke Breslau terakhir kalinya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ibu dan keluarganya. Hari terakhirnya di rumah adalah tepat hari ulang tahunnya, 12 Oktober, yang adalah juga hari terakhir Pesta Tabernakel. Edith pergi ke sinagoga bersama ibunya. Sungguh hari yang sulit bagi keduanya. “Mengapakah engkau harus mengenalnya [Kekristenan]?” tanya sang ibu, “aku tak hendak berbicara melawan-Nya. Mungkin Ia seorang yang amat baik. Tetapi mengapakah Ia menjadikan DiriNya Tuhan?” Sang ibu meneteskan airmata kepedihan di dada anaknya. Pasti dengan hati Yahudinya yang terluka dan berdarah ia bertanya kepada Allah Israel, mengapa anak ini, yang dicintainya secara istimewa karena dilahirkan pada Hari Raya Pendamaian, harus diutus ke padang gurun yang begitu sepi, begitu jauh dari kaum keluarganya, begitu jauh dari kaum bangsanya….
Keesokan harinya Edith berangkat dengan kereta api ke Cologne. “Aku tidak merasakan sukacita yang meluap. Apa yang baru saja aku alami terlalu mengerikan. Tetapi aku merasakan suatu damai yang luar biasa - dalam perlindungan aman kehendak Allah.” Sejak itu ia menulis kepada ibunya setiap minggu, meski tidak pernah menerima balasan. Tetapi Rosa, saudarinya, mengiriminya kabar dari Breslau.
Edith menggabungkan diri dengan Biara Karmelit di Cologne pada tanggal 14 Oktober 1933, dan menerima busana Karmel pada tanggal 15 April 1934. Misa Kudus dipersembahkan oleh Abbas Agung Beuron. Edith Stein sekarang dikenal sebagai Suster Teresia Benedicta a Cruce - Teresa, yang terberkati dari Salib. Pada tahun 1938 ia menulis, “Aku memahami salib sebagai takdir umat Allah, yang mulai tampak pada waktu itu (1933). Aku merasa bahwa mereka yang memahami Salib Kristus hendaknya membebankannya pada diri mereka sendiri atas nama semua orang. Tentu saja, aku tahu dengan lebih baik sekarang apa artinya dikawinkan dengan Tuhan dalam Tanda Salib. Namun demikian, orang tidak akan pernah dapat memahaminya, sebab itu suatu misteri.” Pada tanggal 21 April 1935, Sr Teresa Benedikta mengucapkan kaul sementara. Ketika itulah ia menulis, “Seorang Karmelit dapat membalas kasih Tuhan dengan melaksanakan tugas kewajiban sehari-hari dengan setia dan penuh bakti …. Inilah `jalan kecil', suatu rangkaian bunga yang disusun dari bunga-bunga kecil tak berharga yang setiap hari ditempatkan di hadapan Allah yang Mahakuasa - mungkin suatu kemartiran dalam diam, sepanjang hidup, yang tak diketahui orang dan yang pada saat bersamaan adalah sumber damai mendalam dan sukacita sejati dan sumber rahmat yang meluapi semuanya - kita tidak tahu kemana ia pergi, dan orang-orang yang menerimanya tidak tahu darimana ia berasal.”
Pada tanggal 14 September 1936, pembaharuan kaulnya bertepatan dengan wafat ibunya di Breslau. “Ibuku berpegang teguh pada imannya hingga saat terakhir. Sebab iman dan keyakinannya yang teguh kepada Tuhan-nya … adalah hal terakhir yang masih hidup di saat sakrat mautnya, aku yakin bahwa ia akan bertemu dengan seorang hakim yang sungguh berbelas kasihan dan bahwa ia sekarang adalah penolongku yang paling setia, sehingga aku dapat mencapai tujuanku pula.”
Ketika ia mengucapkan Kaul Kekal pada tanggal 21 April 1938, kata-kata St Yohanes dari Salib dituliskan pada gambar devosionalnya, “Sejak saat ini, satu-satunya panggilanku adalah mencinta.” Karya terakhirnya dipersembahkannya kepada St Yohanes dari Salib.
  “YANG TERBERKATI DARI SALIB”
Masuknya Edith Stein ke Ordo Karmelit bukanlah pelarian. “Mereka yang menggabungkan diri dengan Ordo Karmelit tidak hilang bagi orang-orang terdekat dan terkasih, melainkan dimenangkan bagi mereka, sebab adalah panggilan kami untuk menjadi perantara semua orang kepada Tuhan.” Secara istimewa, ia menjadi perantara bangsanya kepada Tuhan, “Aku terus-menerus memikirkan Ratu Ester yang direnggut dari bangsanya tepat karena Allah menghendakinya untuk memohon kepada raja atas nama bangsanya. Aku seorang Ester yang amat malang dan tanpa daya, tetapi Raja yang telah memilihku tak terhingga dalam kuasa dan belas kasihan-Nya. Ini sungguh merupakan penghiburan besar bagiku” (31 Oktober 1938).
Pada tanggal 9 November 1938, gerakan anti-Semit oleh Nazi menjadi semakin nyata di hadapan seluruh dunia. Sinagoga-sinagoga dibumihanguskan, harta milik orang-orang Yahudi dijarah dan dirampas; orang-orang Yahudi dicekam ketakutan yang ngeri. Priorin Biara Karmelit di Cologne melakukan yang terbaik demi memindahkan Sr Teresia Benedicta a Cruce ke luar negeri. Pada malam Tahun Baru 31 Desember 1938, Sr Teresia diselundupkan melewati perbatasan ke Belanda, ke Biara Karmelit di Echt di Provinsi Limburg. Di sinilah ia menuliskan wasiatnya tertanggal 9 Juni 1939, “Bahkan sekarang aku menerima kematian yang telah Tuhan persiapkan bagiku dalam penyerahan diri sepenuhnya dan dengan sukacita sebagai kehendak-Nya yang terkudus bagiku. Aku memohon kepada Tuhan untuk menerima hidupku dan matiku … sehingga Tuhan akan diterima oleh umat-Nya dan bahwa Kerajaan-Nya akan datang dalam kemuliaan, demi keselamatan Jerman dan perdamaian dunia.”
Ketika di biara Cologne, Sr Teresa Benedikta diberi ijin untuk memulai studi akademisnya kembali. Ia merasa memiliki suatu kesempatan dan tanggung jawab unik, sebagai seorang Katolik Yahudi, untuk menjembatani jurang pemisah antara pemahaman Kristiani dan Yahudi. Ia menulis buku “Kehidupan sebuah Keluarga Yahudi” (yaitu keluarganya sendiri) berusaha menunjukkan kesamaan pengalaman manusiawi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristiani dalam kehidupan mereka sehari-hari. “Aku hanya ingin menceritakan apa yang aku alami sebagai bagian dari bangsa Yahudi,” katanya, menunjukkan bahwa “kami yang dibesarkan dalam agama Yahudi mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi … kepada generasi muda yang dibesarkan dalam kebencian rasial dari sejak awal kanak-kanak.”
Di Echt, Sr Teresa Benedikta dengan cepat menyelesaikan studinya “Guru Mistik Gereja dan Bapa Karmelit, Yohanes dari Salib, dalam peringatan 400 tahun kelahirannya, 1542-1942.” Pada tahun 1941, ia menulis kepada seorang sahabat, yang adalah juga anggota ordonya, “Orang hanya dapat memperoleh scientia crucis (pengetahuan tentang salib) jika orang telah secara mendalam mengalami salib. Aku yakin akan hal ini sejak dari saat pertama dan seterusnya dan mengatakannya dengan segenap hatiku: `Ave, Crux, Spes unica!” (Aku menyambut Engkau, wahai Salib, satu-satunya pengharapan kami).” Studinya mengenai St. Yohanes dari Salib diberinya judul: “Kreuzeswissenschaft” (Ilmu tentang Salib); karyanya yang tak pernah terselesaikan.
Salibnya sendiri sudah di ambang pintu, sebab Nazi telah menguasai Belanda yang netral. Dan ketika para Uskup Katolik Roma Belanda menentang pembuangan dan pembantaian orang-orang Yahudi, Nazi menangkap semua orang Katolik keturunan Yahudi, termasuk para imam dan para religius, di Belanda sebagai tindakan balas dendam.
Sr Teresa Benedikta ditangkap oleh Gestapo pada tanggal 2 Agustus 1942 ketika ia sedang di kapel bersama para biarawati lainnya. Ia diwajibkan melapor dalam waktu lima menit, bersama dengan Rosa - saudarinya yang telah menjadi Katolik dan seorang Karmelit Ordo Ketiga - yang melayani di Biara Echt. Dengan menggandeng tangan Rosa, Sr Teresa mengatakan, “Mari, kita pergi untuk bangsa kita.”
  “AVE, CRUX, SPES UNICA”
Bersama dengan banyak orang Yahudi lainnya, kedua perempuan ini dibawa ke suatu kamp perhentian di Amersfoort dan kemudian dari Amersfoort ke Westerbork. Kepada Priorin Karmel di Cologne, diceritakan orang sebagai berikut, “Di antara para tahanan yang datang pada tanggal 4 Agustus, Sr [Teresa] Benedikta mencolok karena ketenangannya yang dalam dan kegembiraannya. Penderitaan dan ketegangan dalam kamp itu tak terlukiskan. Sr Benedikta berkeliling di antara ibu-ibu, menghibur, menolong, menenangkan, bagai seorang malaikat. Banyak ibu-ibu yang nyaris gila, sudah berhari-hari tidak menghiraukan anak-anak mereka. Mereka bingung dan putus asa. Sr Benedikta memperhatikan anak-anak yang malang itu, memandikan dan menyisir rambut mereka… ia memberi contoh pengabdian yang tak kenal lelah, yang begitu baik, yang mengherankan semua orang.”
Ny Bromberg, salah seorang yang ada di kamp konsentrasi bersama Sr Benedikta dan kemudian dibebaskan, memberikan kesaksian, “Perbedaan besar antara Edith dan suster-suster lainnya adalah karena ia pendiam. Kesan pribadiku ialah bahwa ia sangat sedih, tidak takut, tetapi tak dapat kukatakan yang lain daripada bahwa ia memberi kesan harus memikul beban berat penderitaan, yang bahkan bila ia tersenyum, orang merasa terlebih sedih lagi. Ia hampir tidak berbicara, hanya seringkali ia memandangi kakaknya Rosa dengan amat sangat sedih. Pada saat aku menuliskan ini, muncul pikiran bahwa ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya dan orang lain…. Sekali lagi, ini adalah kesanku: bahwa ia memikirkan penderitaan yang akan datang, bukan penderitaannya sendiri, karena ia terlalu tenang dan hampir kukatakan terlalu tenteram, melainkan penderitaan yang akan menimpa orang lain. Seluruh penampilannya sampai sekarang memberi aku kesan, bila aku membayangkannya lagi, duduk di muka barak: suatu patung pieta tanpa Kristus.”
Prof Jan Nota, yang begitu dekat dengan Sr Teresa Benedikta, di kemudian hari menulis, “Ia adalah saksi kehadiran Tuhan dalam suatu dunia di mana Tuhan absen.” Sr Teresa Benedikta sendiri mengatakan, “Aku tidak pernah tahu bahwa orang dapat seperti ini, pun aku tidak tahu bahwa saudara dan saudariku akan harus menderita seperti ini. … Aku berdoa bagi mereka setiap saat. Adakah Tuhan mendengarkan doa-doaku? Tentu Ia akan mendengarkan mereka dalam sengsara mereka.”
Pada tanggal 7 Agustus, pagi-pagi benar, 987 orang Yahudi dideportasi ke Auschwitz, Polandia dengan kereta api. Dalam perjalanan, kira-kira pukul 12 siang, mereka tiba di Schifferstadt. Sr Teresa Benedikta meminta petugas kereta api untuk menyampaikan salam kepada keluarga P Schwind - pembimbing rohaninya yang telah wafat - yang tinggal di kota ini, “Saya diperjalanan ke arah timur! Ke arah timur! Ad orientem! Menuju kepada terang!” Inilah kata-katanya yang terakhir.
Pada tanggal 9 Agustus Suster Teresia Benedicta a Cruce bersama saudarinya dan banyak kaum bangsanya dibantai dengan gas beracun dalam kamar gas Nazi dan kemudian jenazah mereka dibakar secara massal di krematorium di sana.
  SANTA PELINDUNG EROPA
Ketika Edith Stein dibeatifikasi di Cologne pada tanggal 1 Mei 1987, Gereja menghormati “seorang puteri Israel,” seperti dinyatakan Paus Yohanes Paulus II, yang, sebagai seorang Katolik pada masa penganiayaan Nazi, tetap setia kepada Tuhan Yesus Kristus yang tersalib, dan sebagai seorang Yahudi, kepada bangsanya dalam kasih setia.”
Pada tanggal 11 Oktober 1998, Edith Stein atau Sr Teresa Benedikta dari Salib dimaklumkan sebagai Santa oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma. Setahun kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1999, paus yang sama memaklumkan St Edith Stein, bersama dengan St Katarina dari Sienna dan St Brigitta dari Swedia, sebagai pelindung Eropa. Sebelumnya, Eropa hanya memiliki tiga santo pelindung: St Benediktus, St Sirilus dan St Methodius. Bapa Suci mengatakan bahwa ia memaklumkan ini “guna menekankan peran penting yang telah dimainkan dan yang dimiliki kaum perempuan dalam gereja dan dalam sejarah sipil Eropa.”
Pesta St Edith Stein dirayakan pada tanggal 9 Agustus.
Sumber: 1.“Teresa Benedict of the Cross Edith Stein”; www.vatican.va; 2.“Dr Edith Stein - Sr Teresa Benedikta dari Salib OCD : Kurban untuk Bangsanya”; Sr M. Emerentia OP; Biara Karmel Lembang; 3. berbagai sumber
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|