![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() Bergandengan Tangan Saat Doa Bapa Kami
![]() oleh: Romo William P. Saunders *
Dalam artikel terdahulu, dibahas mengenai makna gerakan-gerakan dalam Misa. Walau begitu, saya bingung dengan satu gerakan yang tampaknya baru, yaitu saling bergandengan tangan sepanjang pendarasan Doa Bapa Kami. Saya merasa risih melakukannya. Saya mendengar bahwa hal ini sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap Hukum Kanonik sebab mengasumsikan suatu persatuan atau komuni sebelum “komuni yang sesungguhnya,” yaitu Ekaristi. Mengapakah imam mengijinkannya?
~ seorang pembaca di Alexandria
Sepanjang Misa, ditetapkan beragam gerakan baik bagi imam maupun umat beriman yang bersembah bakti. Sebagai contoh: kita memulai dan mengakhiri Misa dengan membuat Tanda Salib; pada saat Tobat, kita menebah dada; kita menandai diri dengan tanda salib di dahi, bibir dan hati pada saat Injil diwartakan; pada waktu Syahadat, kita membungkuk saat mendaraskan pengakuan iman akan inkarnasi Juruselamat kita; kita berlutut sepanjang Doa Syukur Agung dan sesudah Anak Domba Allah; dan kita menyambut Komuni Kudus di lidah atau di tangan.
Segala gerakan lahiriah yang ditetapkan ini dimaksudkan untuk membantu tindak sembah sujud dalam Misa sebagai satu kesatuan, yang meliputi seluruh keberadaan diri kita, yaitu tubuh dan jiwa, pikiran, perkataan dan perbuatan. Gerakan-gerakan tersebut juga membantu menciptakan disposisi batin yang pantas untuk menerima Tuhan kita dalam Sabda dan Sakramen. Di samping itu, gerakan-gerakan ini ditetapkan, sama seperti bacaan-bacaan dari Kitab Suci dan Tata Perayaan Ekaristi ditetapkan, guna menjadikan Kurban Kudus Misa suatu tindak sembah sujud yang satu di segenap penjuru Gereja semesta - dalam arti, setiap umat Katolik melakukan hal yang sama, dengan cara yang sama. Keterangan (ketentuan-ketentuan dalam Misa) mengenai gerakan-gerakan ini, dapat kita temukan misalnya dalam Pedoman Umum Misale Romawi.
Namun demikian, dalam segala bentuk dokumen liturgi baik yang diperuntukkan bagi Gereja semesta maupun dari Gereja partikular yang diterbitkan oleh Konferensi Waligereja, tak didapati satu pun yang memandatkan untuk saling bergandengan tangan pada saat pendarasan Doa Bapa Kami. Sejujurnya, gerakan ini muncul di antara berbagai bentuk inovasi liturgi sebagai dampak Konsili Vatikan II. Kemungkinan, saling bergandengan tangan diperkenalkan dengan maksud baik, yaitu untuk menekankan persatuan di antara umat sementara umat memadahkan, “Bapa Kami,” dan bukan “Bapa-ku.” Tetapi, jika kuncinya adalah persatuan, maka mengapakah kita tidak saling bergandengan tangan saja sepanjang Misa?
Persatuan yang kita dambakan sesungguhnya terjadi sesudahnya, setelah suatu pergerakan rohani: Pertama, kita berlutut sementara imam mempersembahkan Kurban Kudus Misa: kita mengenangkan tidak saja sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan kita, melainkan juga kerinduan kita sebagai pribadi untuk mempersembahkan diri kepada-Nya. Kedua, kita berdoa dengan kata-kata yang diajarkan Juruselamat kepada kita, Doa Bapa Kami, di mana kita memohon, “Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami,” termasuk orang yang ada di samping kita di bangku gereja. Ketiga, kita menyampaikan Salam Damai, suatu gerakan yang telah dimulai sejak Misa-misa perdana guna menunjukkan persatuan yang tulus berlandaskan damai dan kasih pengampunan. Akhirnya, kita menyambut Komuni Kudus, yang sungguh membawa kita ke dalam persatuan dengan Tuhan kita dan dengan satu sama lain. Melihat makna dari pergerakan rohani menuju ke persatuan yang sesungguhnya, maka saling bergandengan tangan saat Doa Bapa Kami terasa janggal.
Namun demikian, bolehkah umat saling bergandengan tangan, bahkan meski terasa janggal? Walau orang tak dapat mempersalahkan jika suami isteri, atau suatu keluarga ingin saling bergandengan tangan secara spontan saat Doa Bapa Kami, tetapi imam tidak memiliki hak untuk menetapkan, memerintahkan, atau memaksa umat untuk melakukannya. Kitab Hukum Kanonik (1983) dengan tegas memandatkan, “Dalam merayakan sakramen-sakramen hendaknya ditepati dengan setia buku-buku liturgi yang telah disetujui oleh otoritas yang berwenang; karena itu tak seorang pun boleh menambah, menghapus atau merubah sesuatu dalam hal itu atas kehendaknya sendiri” (Kanon 846.1). (Perlu dicatat bahwa Kanon ini mengulang kembali mandat sebelumnya yang terdapat baik dalam “Konstitusi tentang Liturgi Kudus” (1963) dari Konsili Vatikan Kedua dan “Pedoman Ibadat Ekaristi, No 45 (1967), yang diterbitkan dalam rangka meluruskan penyimpangan-penyimpangan tertentu yang muncul dalam liturgi setelah konsili.) Sebab itu, imam yang menetapkan, memerintahkan, atau memaksa umat untuk saling bergandengan tangan saat Doa Bapa Kami telah melanggar norma-norma yang ditetapkan oleh Gereja.
Gereja juga mengingatkan imam, yang adalah pelayan sakramen dan yang bertindak in persona Christi dalam mempersembahkan Misa, “Imam hendaknya menyadari bahwa dengan menetapkan perubahan ritus-ritus kudus menurut kehendaknya sendiri, ia telah melanggar hak-hak umat beriman dan memasukkan individualisme dan idiosyncracy (= keganjilan, kebiasaan di luar ketentuan) dalam perayaan-perayaan yang menjadi milik Gereja semesta” (Pedoman Ketiga mengenai Implementasi Konstitusi tentang Liturgi Kudus secara Benar, No 1 (1970)). Siapa pun yang duduk di bangku umat jangan sampai merasa dipaksa atau terpaksa bergandengan tangan dengan yang lain saat Bapa Kami;,namun demikian “tekanan dari sesama umat” dapat dengan mudah menghantar orang untuk merasa demikian. Orang hanya perlu membayangkan bagaimana seseorang pastilah merasa terintimidasi oleh umat lainnya jika ia tidak mau bergandengan tangan, entah karena suatu alasan pribadi atau karena suatu alasan lain, misalnya menderita arthritis.
Memang, saling bergandengan tangan saat Doa Bapa Kami tampaknya nyaris menjadi tradisi di beberapa paroki di manapun di seluruh dunia. Walau demikian, haruslah kita ingat bahwa gerakan ini tidak ditetapkan Gereja, melainkan merupakan suatu inovasi terhadap Misa, dan tujuannya adalah untuk membangun rasa persatuan dan kebersamaan, namun demikian gerakan ini dapat pula menimbulkan rasa risih serta tidak nyaman bagi sebagian orang.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
![]() sumber : “Straight Answers: Holding Hands During the Lord's Prayer” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
![]() Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|
![]() |