YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Mencari Jawaban Terhadap Pertanyaan Mengenai Arti Penderitaan
Dalam setiap bentuk penderitaan, yang dialami oleh manusia, dan sekaligus berdasarkan seluruh dunia penderitaan, tak dapat dielakkan lagi muncul pertanyaan: Mengapa? Ini merupakan suatu pertanyaan mengenai sebab, alasan dan juga mengenai maksud dari penderitaan, dan, secara ringkas, suatu pertanyaan mengenai arti penderitaan. Hal itu tidak hanya menyertai penderitaan manusia, tapi agaknya juga menentukan arti manusiawinya, yang justru membuat penderitaan menjadi penderitaan manusiawi.

Jelaslah bahwa rasa sakit, lebih-lebih rasa sakit jasmani, lazim dalam dunia binatang. Tapi hanya manusia yang menderita yang tahu bahwa dia sedang menderita dan berpikir apa sebabnya. Dan dia menderita secara manusiawi secara lebih mendalam jika dia tidak menemukan suatu jawaban yang memuaskan. Hal ini merupakan suatu pertanyaan yang sulit, justru karena merupakan suatu pertanyaan yang dekat dengan pertanyaan tentang kejahatan. Mengapa ada kejahatan? Mengapa ada kejahatan di dunia ini? Bila kita mengajukan pertanyaan dengan cara ini, kita selalu, sekurang-kurangnya dalam arti tertentu, mengajukan suatu pertanyaan juga tentang penderitaan.

Kedua pertanyaan itu sulit, bila seorang individu mengajukannya pada orang lain, bila satu bangsa mengajukannya kepada bangsa lain, seperti halnya bila seseorang mengajukannya kepada Tuhan. Karena manusia tidak mengajukan pertanyaan ini kepada dunia, meskipun justru dari dunialah datangnya kesengsaraan yang menimpa manusia, tapi manusia mengajukannya kpada Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasaan dunia ini. Dan cukup diketahui orang bahwa sehubungan dengan pertanyaan ini tidak hanya timbul kekecewaan-kekecewaan dan konflik-konflik dalam hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga terjadi manusia sampai kepada titik di mana secara sungguh-sungguh menyangkal Tuhan. Karena sesungguhnya existensi atau adanya dunia membuka mata jiwa manusia terhadap adanya Tuhan, terhadap kebijaksanaan-Nya, kekuasaan dan kebesaran-Nya, tetapi kejahatan dan penderitaan agaknya mengaburkan gambaran tadi, bahkan kadang-kadang secara radikal, lebih-lebih dalam drama sehari-hari dari begitu banyak kesalahan yang tidak mendapat hukuman secara semestinya. Maka situasi semacam ini memperlihatkan - mungkin lebih dari pada yang lainnya - pentingnya pertanyaan mengenai arti penderitaan; hal itu juga memperlihatkan betapa banyaknya perhatian yang harus diberikan baik dalam menangani pertanyaan itu sendiri maupun dengan kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan itu.

Manusia dapat mengajukan pertanyaan ini kepada Tuhan dengan semua emosi hatinya dan dengan pikirannya yang penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Tuhan menunggu pertanyaan dan mendengarkannya, seperti yang kita lihat dalam Perwahyuan Perjanjian Lama. Dalam Kitab Ayub pertanyaan itu telah mendapatkan ungkapan yang sangat hidup.

Kisah mengenai orang yang saleh tadi, yang meski tanpa kesalahannya sendiri, telah dicobai dengan penderitaan-penderitaan yang begitu banyak, telah cukup dikenal. Ayub kehilangan seluruh miliknya, anak-anaknya lelaki dan anak-anaknya perempuan, dan akhirnya dia sendiri ditimpa dengan suatu penyakit yang berat. Dalam keadaan yang mengerikan ini datanglah tiga sahabat lama ke rumahnya, dan masing-masing dari mereka itu mencoba meyakinkan Ayub bahwa karena dia telah ditimpa dengan penderitaan yang begitu beraneka ragam dan begitu mengerikan, dia tentu telah melakukan suatu kesalahan yang serius. Sebab menurut kata mereka, penderitaan selalu menimpa seseorang sebagai hukuman bagi suatu kejahatan. Penderitaan itu dikirimkan oleh Tuhan yang Mahaadil dan mendapatkan pembenarannya dalam tatanan keadilan. Dapat dikatakan bahwa sahabat-sahabat lama Ayub tak hanya ingin meyakinkan dia mengenai pembenaran secara moral terhadap adanya kejahatan, tapi dalam arti tertentu mereka mencoba untuk memberikan pembenaran bagi mereka sendiri mengenai arti moral dari penderitaan. Di mata mereka penderitaan hanya mempunyai suatu arti sebagai suatu hukuman bagi suatu dosa, oleh karenanya hanya pada tingkat keadilan Tuhan, yang membalas kebaikan dengan kebaikan dan membalas kejahatan dengan kejahatan.

Dalam hal ini yang menjadi rujukan adalah ajaran yang terungkap dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang lain, yang memperlihatkan kepada kita penderitaan sebagai hukuman yang diberikan oleh Tuhan kepada dosa-dosa manusia. Tuhan Pemberi Wahyu adalah Pemberi hukum dan Hakim dalam arti tertentu, yang tak dapat ditandingi oleh kuasa duniawi mana pun. Karena Tuhan yang menjadi Pemberi Wahyu terutama adalah Pencipta, dari mana semuanya berasal, bersama dengan existensinya, yang merupakan baiknya ciptaan secara hakiki. Oleh karenanya maka pelanggaran secara sadar dan bebas terhadap kebaikan tadi oleh manusia, tidak hanya mrupakan suatu pelanggaran terhadap hukum tapi sekaligus juga merupakan suatu penghinaan terhadap Pencipta, yang merupakan Pemberi Hukum yang pertama. Pelanggaran semacam itu merupakan suatu dosa, menurut arti yang tepat dari kata ini, yakni secara alkitabiah dan secara teologis. Hukuman diberikan selaras dengan kesalahan moral, yang menjamin tatanan moral dalam arti transenden yang sama dalam mana tatanan tadi diatur oleh kehendak Pencipta dan Pemberi Hukum Tertinggi. Dari sinilah juga dirumuskan kebenaran-kebenaran fundamental dari iman keagamaan, yang juga sama-sama berdasarkan pada wahyu, yaitu bahwa Tuhan adalah Hakim yang adil, yang memberikan anugerah kepada orang yang baik dan menghukum orang yang jahat: “Oleh karena Engkau adil dalam segala-galanya yang telah Kau perbuat kepada kami; benarlah segala pekerjaan-Mu. Segala jalan-Mu adalah lurus, dan benar pulalah segenap keputusan-Mu. Keputusan-keputusan benar telah Kau jalankan dalam segala sesuatunya yang Kau datangkan atas diri kami... sesuai dengan kebenaran dan keadilan telah Kau datangkan semuanya itu oleh sebab segala dosa kami” (Tambahan Daniel 3:27-28).

Pendapat yang dikemukakan oleh teman-teman Ayub menampakkan suatu keyakinan yang juga terdapat dalam kesadaran moral umat manusia: tatanan moral yang obyektip menuntut adanya hukuman untuk pelanggaran, dosa dan kejahatan. Dari segi pandangan semacam ini maka penderitaan nampaknya sebagai suatu “kejahatan yang dapat dibenarkan”. Keyakinan dari orang-orang tadi yang menerangkan penderitaan sebagai suatu hukuman untuk dosa mendapatkan dukungan dalam tatanan keadilan, dan hal ini sesuai dengan keyakinan yang diungkapkan oleh salah seorang teman Ayub: “Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga” (Ayub 4:8).

Tetapi Ayub menantang kebenaran dari prinsip yang mengidentikkan penderitaan dengan hukuman untuk dosa. Dan dia melakukan hal ini berdasarkan pada pendapatnya sendiri. Karena dia sadar bahwa dia tidak patut untuk mendapat hukuman semacam itu, dan kemudian mulai berbicara mengenai kebaikan yang telah ia lakukan selama hidupnya. Pada akhirnya Tuhan sendiri mencela teman-teman Ayub karena dakwaan-dakwaan mereka dan Tuhan mengakui bahwa Ayub tidak bersalah. Penderitaan Ayub adalah penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh seorang manusia pun secara penuh berdasarkan akal budinya.

Kitab Ayub tidak melanggar dasar-dasar tata moral yang transenden, yang berdasarkan pada keadilan, seperti yang diberikan oleh seluruh Perwahyuan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Namun pada saat yang sama Kitab ini dengan tegas memperlihatkan bahwa prinsip-prinsip dari tatanan tadi tidak dapat diterapkan secara eksklusif dan secara dangkal. Memang benar bahwa penderitaan mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan suatu akibat dari suatu kesalahan dan merupakan suatu bentuk hukuman. Tokoh manusia yang saleh, Ayub, merupakan suatu bukti yang khusus mengenai hal ini dalam Perjanjian Lama. Perwahyuan, yang adalah Sabda Allah sendiri, dengan terus terang menyajikan persoalan mengenai penderitaan seorang manusia yang tidak bersalah: penderitaan meski tanpa kesalahan. Ayub tidak dihukum, tidak ada alasan untuk menjatuhkan suatu hukuman kepadanya, meskipun dia telah mengalami suatu percobaan yang berat. Dari kata pengantar Kitab ini nampaklah bahwa Tuhan mengijinkan percobaan tadi sebagai akibat dari provokasi setan. Karena Setan di hadapan Tuhan telah menantang ketulusan dari Ayub: “Apakah Ayub takut akan Allah? … Engkau telah memberkati apa yang dikerjakannya, dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri ini. Tapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapanMu” (Ayub 1:9-11). Dan bila Tuhan setuju untuk mencobai Ayub dengan penderitaan, Dia melakukannya untuk memperlihatkan ketulusan dari Ayub. Penderitaan merupakan suatu uji coba.

Kitab Ayub bukanlah kata terakhir mengenai hal ini dalam Perwahyuan. Dalam arti tertentu hal itu merupakan suatu pralambang bagi Kesengsaraan Kristus.

Tapi dari dirinya sendiri Kitab Ayub merupakan suatu bukti yang cukup mengapakah jawaban terhadap pertanyaan mengenai arti penderitaan tidak boleh hanya dikaitkan pada tatanan moral semata-mata, yang berdasarkan pada keadilan saja. Jawaban semacam ini merupakan suatu alasan yang fundamental dan transenden dan sah adanya, tapi pada saat yang sama agaknya bukan tidak hanya tidak memuaskan dalam menghadapi kasus-kasus seperti penderitaan yang dialami oleh seorang manusia yang adil seperti Ayub, tapi malahan agaknya seolah-olah meremehkan dan memiskinkan penderitaan yang menimpa seseorang yang tidak bersalah, tapi tidak diberikan pemecahan terhadap persoalan ini.

Dalam Perjanjian Lama kita sudah melihat ada suatu orientasi yang mulai mengatasi konsep, menurut mana penderitaan mempunyai suatu arti tidak hanya sebagai suatu hukuman bagi dosa, sejauh ditekankan pada saat yang sama nilai pendidikan dari penderitaan sebagai suatu hukuman. Dengan demikian dalam penderitaan yang diberikan oleh Tuhan pada Umat Terpilih terdapat suatu ajakan untuk memperoleh belas kasih-Nya, yang memberikan perbaikan agar supaya mereka bertobat: “... hukuman-hukuman ini tidak bermaksud untuk membinasakan bangsa kita tapi untuk memperbaikinya” (2 Makabe 6:12).

Dengan demikian dimensi pribadi dari hukuman diteguhkan. Menurut dimensi ini, hukuman mempunyai arti bukan hanya karena berfungsi untuk membalas kejahatan obyektip terhadap pelanggaran dengan kejahatan lainnya, tapi pertama-tama dan terutama karena menciptakan kemungkinan untuk membangun kembali kebaikan dalam subyek yang menderita.

Ini merupakan salah satu segi yang penting dari penderitaan. Hal itu secara mendalam berakar dalam seluruh Perwahyuan dari Perjanjian Lama dan lebih-lebih dalam Perjanjian Baru. Penderitaan harus berfungsi untuk pertobatan yaitu untuk membangun kembali kebaikan dalam subyek, yang dapat mengenal belas kasih ilahi dalam panggilan untuk bertobat tadi. Maksud dari pertobatan ialah untuk mengalahkan kejahatan, yang dalam berbagai bentuknya masih ada dalam diri manusia. Maksudnya juga untuk memperkuat kebaikan baik dalam diri manusia sendiri maupun dan dalam hubungannya dengan orang-orang lain dan lebih-lebih dengan Tuhan.

Tapi untuk melihat jawaban yang benar terhadap pertanyaan “mengapa ada penderitaan,” kita harus melihat pada perwahyuan mengenai kasih ilahi, yang merupakan sumber terdalam dari makna setiap hal yang ada. Kasih juga merupakan sumber yang terkaya dari arti penderitaan, yang selalu tetap merupakan suatu misteri: kita sadar akan tidak cukupnya dan tidak memadainya penjelasan-penjelasan kita. Kristus menyebabkan kita masuk dalam misteri ini dan untuk menemukan “mengapa ada penderitaan,” sejauh kita dapat menangkap keluhuran kasih ilahi.

Untuk menemukan arti terdalam dari penderitaan, sesuai dengan sabda Tuhan yang diwahyukan, kita harus membuka diri kita lebar-lebar terhadap subyek manusia dalam kemampuannya yang beraneka macam.

Lebih-lebih kita harus menerima cahaya Perwahyuan tidak hanya sejauh hal itu mengungkapkan tatanan keadilan yang transenden tapi juga sejauh Perwahyuan itu menyinari tatanan tadi dengan Kasih, sebagai sumber definitip dari tiap hal yang ada. Kasih juga merupakan sumber yang paling penuh dari jawaban terhadap pertanyaan mengenai arti penderitaan. Jawaban ini telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia dalam Salib Yesus Kristus.


Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II
Salvifici Doloris, Penderitaan yang Menyelamatkan
11 Februari 1984

dikutip dari : “Salvifici Doloris”; diterjemahkan oleh J. Hadiwikarta Pr; Seri Dokumen Gerejawi No. 29; Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI