YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Hukuman Mati dan HAM
oleh: Romo Dr. Paul Budi Kleden, SVD

Pada tahun 1998, dalam rangka memperingati HUT ke-50 pendeklarasian Hak-Hak Asasi oleh PBB, ada diskusi tentang perlunya sebuah kodeks yang menetapkan Kewajilban-Kewajiban Asasi Manusia sebagai imbangan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia. Argumentasi dasarnya adalah bahwa manusia tidak hanya mempunyai hak yang melekat pada kemanusiaannya, tetapi juga sejumlah kewajiban yang mesti dilaksanakannya. Keluhuran martabat manusia tidak hanya ditunjukkan oleh kesadaran akan hak-haknya, tetapi juga oleh kesanggupan untuk menerima sejumlah kewajiban sebagai tugas yang mesti dilaksanakan.

Salah satu pemikiran dominan yang disampaikan menanggapi keinginan pendeklarasian kewajiban-kewajiban asasi itu adalah kecemasan bahwa orang akan merangkaikan tuntutan akan hak dengan pelaksanaan kewajiban. Apabila ada kewajiban-kewajiban asasi, maka tidak mustahil akan diambil kesimpulan, bahwa hak asasi seseorang ada dan dijamin selama dia memenuhi kewajiban-kewajiban asasinya. Kegagalan melaksanakan kewajiban-kewajiban asasi dilihat sebagai pengkhianatan terhadap kemanusiaan diri sendiri. Dengan demikian orang tersebut kehilangan pijakan untuk menuntut perlindungan terhadap hak-hak asasinya. Apabila ada kewajiban asasi, maka pelaksanaan kewajiban itu dilihat sebagai ungkapan kemanusiaan seseorang. Tidak melaksanakan kewajiban asasi berarti tidak ada lagi kesadaran diri sebagai manusia. Pelaku kejahatan itu sendiri sudah tidak menghargai dirinya sebagai manusia. Tanpa adanya penghargaan terhadap kemanusiaan di dalam diri sendiri dan tanpa kesadaran akan martabat diri sendiri sebagai manusia, seseorang ketiadaan basis rasional untuk menuntut penghormatan terhadap hak-hak dasarnya.

Dengan pola pikir seperti ini hak-hak asasi manusia dibahayakan, karena hak-hak itu ditentukan oleh kualifikasi dan prestasi dirinya sebagai manusia yang ditunjukkan di dalam kesanggupan memenuhi kewajiban-kewajiban asasinya. Gagal memenuhi kewajiban asasi berarti gagal menjadi manusia, gagal menjadi manusia adalah alasan untuk tidak diperlakukan sebagai manusia.

Pola pikir di atas tampaknya bercokol cukup mendalam pada pikiran banyak orang yang merestui hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat. Disadari atau tidak, konsep pemikiran seperti ini sering melatari sikap orang yang membenarkan tuntutan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat. Karena itu, kita perlu menanggapi secara serius pandangan seperti ini, sebab pemikiran seperti ini mengharuskan kita untuk mempertajam pemahaman kita tentang hak-hak asasi manusia.

Memang ada banyak alasan yang disampaikan oleh kelompok yang mendukung adanya hukuman mati. Misalnya: untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang berpedoman pada prinsip ius talionis (mata ganti mata, hidup ganti hidup); untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan dari seorang warga yang telah menunjukkan dirinya sebagai bahaya besar bagi keamanan seluruh warga melalui tindak kejahatan besarnya; untuk memberikan shock therapy kepada masyarakat yang diperkirakan akan merasa takut untuk melakukan pelanggaran yang sama. Dan satu lagi yang dominan adalah apa yang dikatakan di atas: seorang pelaku kejahatan berat sudah menunjukkan diri bahwa dia bukan manusia. Dia melakukan di luar batas kewajaran sebagai seorang manusia. Sebab itu, dia tidak layak diperlakukan sebagai manusia. “Dia kejam, dia jahat. Dia sudah bukan manusia lagi. Untuk apa kamu masih memperjuangkan hak-haknya?” Betapa sering pertanyaan yang mengungkapkan penolakan atas perlakuan manusiawi terhadap pelaku kejahatan berat ini dialamatkan kepada mereka yang terus memperjuangkan hak-hak asasi orang seperti ini.

Pandangan seperti ini sudah bermula ketika orang melukiskan tindak kejahatan seseorang sebagai tindakan yang bestialis, tindakan yang cuma ditemukan dalam gerombolan binatang-binatang buas. Logika berpikirnya mengatakan: kalau tindakan itu bestialis, maka berdasarkan prinsip: tindakan adalah ekspresi jati diri, orang lalu berkesimpulan, bahwa subjek yang melakukan tindakan itu adalah juga binatang. Dia direndahkan menjadi binatang, dan karena binatang buas yang membahayakan dibenarkan pembasmiannya, maka ada legitimasi pula untuk mengeliminasi subjek seperti ini melalui penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati atas dirinya.

Menanggapi pola pikir seperti ini perlu diuraikan prinsip pertama dan utama yang menjadi pedoman penting setiap perjuangan membela HAM: bahwa hak-hak ini melekat pada kemanusiaan seseorang, sebelum ada kualifikasi moral dan rasional apa pun. Kemanusiaan seseorang tidak ditentukan oleh kualitas moralnya. Seseorang tetap merupakan seorang manusia, juga ketika moralitasnya patut diragukan karena pelanggaran-pelanggaran yang terbukti. Kenapa demikian?

Adalah benar bahwa manusia merupakan insan moral. Namun moralitas bukanlah sebuah status yang sudah baku dan terberi. Dengan kelahiran sebagai manusia tidak diberikan kepada manusia satu kualitas moral yang sempurna. Sebaliknya, dengan kelahiran sebagai manusia ia mendapat sebuah tugas untuk terus mengkualifikasikan dirinya sebagai makhluk moral. Moralitas adalah sebuah tugas, bukan sebuah pemberian. Yang terberi adalah kemanusiaan, sementara moralitas merupakan sebuah cita-cita yang perlu diwujudkan manusia. Kemanusiaan ada sebagai basis untuk menjadi makhluk yang bermoral.

Apabila kita mengatakan bahwa moralitas adalah sebuah tugas, maka pernyataan ini sebenarnya lahir dari kesadaran bahwa manusia selalu berada dalam bahaya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral. Justru karena itu, moralitas adalah sebuah upaya pengkualifikasian diri, sebuah perjuangan yang terus-menerus. Moralitas seseorang ditunjukkan oleh kesungguhannya untuk menguasai diri sekian sehingga ia bertindak seturut kaidah moral. Namun perjuangan seperti ini tidak pernah dapat meniadakan kemungkinan melakukan kejahatan. Kita dapat mengatakan bahwa termasuk dalam kemanusiaan seseorang adalah bahwa dia dapat juga melakukan kejahatan. Melakukan kejahatan bukanlah sesuatu yang terlepas dari kemanusiaan seseorang. Sebab itu, seseorang yang melakukan kejahatan, apa pun dan betapa pun besarnya kejahatan itu, tidak pernah kehilangan kemanusiaannya.

Berpikir seperti di atas bukan berarti bahwa kita membenarkan tindak kejahatan dan menyepelekan kejahatan seseorang dengan alasan kemanusiaan. Juga dengan pemikiran seperti ini kita tidak menolak setiap bentuk hukuman terhadap penjahat. Kejahatan adalah sebuah pelanggaran dan harus dilihat dan dinilai sebagai pelanggaran. Melalui tindak kejahatannya manusia melanggar apa yang seharusnya menjadi cita-citanya. Namun karena pelanggaran adalah penyimpangan dari apa yang seharusnya menjadi cita-cita, maka hukuman atas pelanggaran itu tidak boleh menghilangkan basis untuk perealisasian cita-cita itu. Menghukum mati seseorang berarti meniadakan kemungkinan utama orang itu untuk kembali berjuang merealisasikan apa yang menjadi tugasnya. Kita memang patut menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang melakukan pelanggaran. Tetapi hukuman itu diberikan selalu dengan tujuan agar orang itu disadarkan dan dimampukan untuk mengenal dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukannya. Hukuman yang dijatuhkan tidak akan pernah sanggup membayar atau memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat. Hukuman hanya mempunyai makna apabila dijalankan untuk menyadarkan orang akan kewajibannya.

Dalam alur argumentasi ini kita menempatkan perlunya apa yang disebut sebagai kodeks kewajiban-kewajiban asasi manusia. Adanya tuntutan akan pemenuhan kewajiban-kewajiban dasar bersumber dari kesadaran dan pengalaman bahwa manusia memang sering tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukannya. Karena ada kemungkinan untuk tidak melakukannya, maka kita perlukan sebuah rumusan yang mewajibkan dan kita perlu membentuk instansi-instansi yang memperhatikan pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu. Kita tidak akan mewajibkan orang untuk melakukan sesuatu, apabila manusia dari kodratnya hanya memiliki kemungkinan untuk melakukan sesuatu itu, jika tidak ada alternatif untuk melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu kita sampaikan sebagai kewajiban, agar di tengah situasi konkrit yang memungkinkan seseorang untuk tidak melakukan kewajiban itu, dia tetap memilih melaksanakan kewajibannya. Namun pelaksanaan kewajiban itu hanya mungkin selama kemanusiaan seseorang diakui dan dipertahankan. Sebab itu, pelanggaran dalam menjalankan kewajiban asasi tidak pernah dapat menjadi alasan untuk meniadakan kemanusiaan itu melalui hukuman mati yang dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap seorang pelaku kejahatan.

Juga dalam gerak pemikiran yang sama kita tempatkan tanggung jawab moral masyarakat. Sebagai perwujudan sebuah ideal moral, masyarakat harus tetap mempertahankan penghargaan yang tak tergoyahkan pada keluhuran martabat manusia. Kewajiban masyarakat adalah menciptakan kondisi untuk menyadarkan seseorang akan tanggung jawabnya dan dengan demikian akan hakikat dirinya sebagai makhluk yang bermoral. Masyarakat melaksanakan peran ini apabila dia tetap berpegang teguh pada keluhuran martabat kemanusiaan seorang penjahat dan tidak melepaskannya bersama dengan kejahatan yang dilakukannya. Dengan tetap berpegang pada martabat manusia seorang penjahat, masyarakat menyodorkan kepada orang tersebut apa yang seharusnya dia lakukan. Untuk mempertahankan manusia sebagai makhluk bermoral, mayarakat tidak boleh mendegradasikan seorang penjahat ke tingkat binatang buas.

Dengan pendegradasian semacam ini masyarakat membatalkan dasar tuntutan tanggungjawab si penjahat itu sendiri. Apabila dia sudah disamakan dengan binatang, maka dia tidak mempunyai lagi kewajiban yang sama seperti kewajiban seorang manusia. Kalau demikian, sebenarnya tidak ada alasan untuk menuntut orang seperti ini melakukan kewajiban seorang manusia dan menghukumnya dengan alasan kegagalannya memenuhi kewajiban seorang manusia. Sebaliknya, dengan tetap mempertahankan dan menghormati kemanusiaannya, masyarakat tetap menghidupkan ideal kemanusiaan di hadapan orang seperti ini dan mendorongnya untuk memenuhi tuntutan moralnya. Konsistensi penghargaan masyarakat terhadap martabat manusia sepatutnya ditunjukkan dengan sikap tetap menghargai martabat manusia yang sudah melakukan banyak pelanggaran.

Penghormatan terhadap HAM pada umumnya hanya dapat ditegakkan apabila masyarakat konsisten dengan sikap ini, juga ketika berhadapan dengan para pelaku kejahatan. HAM didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak ini tidak diberikan oleh negara, dan karena itu tidak dapat juga dicabut oleh negara. Di samping karena negara dan masyarakat tidak mempunyai hak untuk mencabut hak hidup seseorang, termasuk di dalamnya seorang pelanggar HAM, sikap menolak hukuman mati justru dapat mendorong budaya kehidupan yang menanamkan dan meneguhkan sikap menghormati keluhuran martabat manusia secara keseluruhan. Masyarakat dan negara menjadi promotor penegakan HAM, apabila negara dan masyarakat berani menghapus hukuman mati. Menolak hukuman mati adalah bukti kesadaran akan keluhuran martabat manusia, dan akan mendorong perluasan kesadaran ini.


Sumber: Serikat Sabda Allah Provinsi Ende; www.svdende.org