St Anna Wang
Perawan dan Martir
“Pada hari ini Gereja mengucap syukur kepada Allah, yang memberkatinya dan memandikannya dalam terang cahaya kekudusan para putera dan puteri dari Cina. Bukankah Tahun Suci ini merupakan saat yang paling tepat untuk menjadikan kesaksian iman mereka yang gagah berani bersinar kemilau? Anna Wang yang belia, 14 tahun, tegar menghadapi ancaman siksa aniaya yang mendesaknya untuk mengingkari iman. Siap dipenggal kepalanya, ia memaklumkan dengan wajah bersinar, “Pintu surga terbuka bagi semua,” kemudian tiga kali membisikkan nama `Yesus'”.
~ Paus Yohanes Paulus II, Kanonisasi 120 Martir Cina, 1 Oktober 2000
St Anna Wang dilahirkan dalam sebuah keluarga Katolik pada tahun 1886 di Majiazhuang, wilayah Weixian, bagian selatan Provinsi Hebei. Ibunya meninggal dunia saat Anna masih berusia lima tahun. Sejak masih belia, Anna kecil telah menunjukkan karakter yang kuat. Ketika usianya sebelas tahun, keluarganya memaksa Anna untuk menikah, namun dengan gigih Anna menolak. Berikut adalah catatan kemartirannya berdasarkan keterangan para saksi mata.
Pada tanggal 21 Juli 1900, gerombolan bersenjata Boxers tiba di Majiazhuang. Mereka menawan sekelompok umat Kristiani dan mengurung mereka di suatu ruangan yang disebut Ruang Timur di desa Da Ning, Provinsi Hebei. Pemimpin gerombolan menyampaikan ultimatum, “Pemerintah tidak mengijinkan seorang pun memeluk suatu agama asing. Kalian akan dibebaskan jika kalian mengingkari iman kalian di hadapan umum; jika tidak, kalian akan dibunuh. Mereka yang bersedia mengingkari imannya dipersilakan keluar dari ruangan ini menuju Ruang Barat. Seseorang ada di sana untuk membebaskan kalian.” Di antara umat beriman Katolik itu terdapat St Anna Wang, St Lucia Wang-Wang bersama kedua anaknya: St Andreas Wang Tianqing yang berusia sembilan tahun, dan seorang puteri berusia lima tahun. Beberapa saat kemudian, ibu tiri Anna berjalan menuju Ruang Barat. Tetapi, sekonyong-konyong ia berbalik dan merenggut lengan Anna guna membawanya serta. Anna meronta; dengan berpegangan pada tiang pintu, ia berteriak, “Aku percaya pada Tuhan. Aku seorang Katolik. Aku tak mau meninggalkan Gereja! Yesus, tolonglah aku!”
Sementara itu langit semakin gelap. Kawanan Boxers menyalakan beberapa batang lilin yang mereka ambil dari gereja. Kata Anna kepada yang lain, “Lilin-lilin ini diambil dari gereja. Lihatlah, betapa indah terangnya! Namun demikian, kemuliaan surgawi bahkan berjuta-juta kali lebih cemerlang dari terang lilin yang indah ini.” Lalu, Anna memimpin mereka semua dalam ibadat sore, yang menjadi ibadat mereka yang terakhir.
Keesokan harinya, gerombolan Boxers menggiring tawanan ke tempat eksekusi. Setibanya di sana, lagi, Anna memimpin mereka dalam doa dan tobat. Orang banyak non-Kristiani berdiri sekeliling, menonton mereka. Ketika melihat betapa eloknya si kecil St Andreas Wang Tianqing, banyak dari antara mereka yang jatuh hati dan ingin mengadopsinya. Tetapi, ibunya, St Lucia Wang-Wang, segera mendekap erat puteranya dan mengatakan kepada kawanan itu, “Aku seorang Katolik. Puteraku juga seorang Katolik. Bunuhlah kami jika kalian mau; puteraku terlebih dahulu, kemudian aku.” Kawanan itu mengangguk dengan dingin. Andreas kecil dengan senang hati berlutut, membungkukkan badannya, tersenyum memandang ibunya. Kapak yang menebas lehernya segera mengirim kanak-kanak kudus ini ke surga dengan segera. Sesudahnya, dengan brutal Lucia dan puterinya dipenggal kepalanya. Lima perempuan lagi dan seorang bayi berumur sepuluh bulan menjadi martir berikutnya. Dengan keji gerombolan itu merenggut si bayi pada kakinya, melambungkannya ke udara, lalu membelah tubuhnya menjadi dua dan melemparkan mayatnya ke samping mayat ibunya.
Akhirnya, satu-satunya yang tinggal hanyalah Anna seorang. Berlutut menghadap gereja di desa Wei, ia menjalin jari-jemari kedua tangannya dan berdoa keras-keras sementara kedua matanya mengarah ke surga. Ia tampak bercahaya dan agung. Sekonyong-konyong, seolah ia telah diangkat ke surga; seolah ia tak lagi berada di dunia ini. Bukannya tampak bagaikan seorang yang hendak dihukum mati, malahan ia tampak bagaikan tengah menikmati suatu perayaan agung. Kepala gerombolan amat terkejut melihatnya. Kapak telah diayun, namun terhenti di udara. Ia maju menghampiri Anna dan mendesaknya, “Tinggalkan Gerejamu sekarang!” Tenggelam dalam doa yang khusuk, Anna tak mendengarnya. Laki-laki itu mengetuk keningnya, sekali lagi bertanya apakah ia bersedia menyangkal imannya. Anna terlonjak kaget dan meloncat ke belakang seraya berteriak, “Jangan sentuh!” Sesudah tenang kembali, Anna berkata, “Aku seorang Katolik. Tak akan pernah aku mengingkari Tuhan-ku. Lebih baiklah aku mati.” Sang pemimpin yang dalam hatinya kagum atas keberanian gadis belia ini berusaha membujuknya lagi, “Jika engkau menyangkal imanmu, aku berjanji akan menikahkanmu dengan suatu keluarga yang kaya raya sehingga engkau boleh berbahagia sepanjang hidupmu.” Dengan penuh wibawa Anna menjawab, “Aku tak akan pernah meninggalkan agamaku. Lagipula, aku telah dipertunangkan dengan Dia di desa Wei.”
Murka pemimpin pun bangkit, sehingga ia merobek bahu kiri Anna; sekali lagi ia bertanya, “Apakah engkau mau meninggalkan Gerejamu?” “Tidak!” Maka kapak diayunkan dan segera menebas lengan kirinya. Anna masih berlutut, mengedangkan tangannya; dengan tersenyum tenang ia berkata, “Pintu surga terbuka,” lalu mengatakan, “Yesus, Yesus, Yesus!” Dalam sekejap kepalanya menggelinding ke atas tanah, sementara jiwanya yang murni bagai merpati terbang membubung tinggi ke surga, ke rumah Mempelai Surgawi-nya. Seorang saksi mata mengatakan, “Sungguh aneh. Setelah Anna Wang dipenggal kepalanya, tubuhnya masih tegak berlutut dan tidak roboh ke tanah hingga seorang dari kawanan itu menendangnya.” Seorang saksi lain, Ny Wang Lau, 80 tahun, seorang Katolik yang saleh, jujur dan dapat dipercaya, memberikan kesaksian, “Ketika Anna Wang wafat sebagai martir, aku melihatnya naik ke surga, mengenakan gaun biru dan hijau dengan sebuah mahkota bunga di atas kepalanya. Ia kelihatan sangat, sangat cantik.”
Setelah eksekusi, gerombolan Boxer mengumpulkan mayat kesepuluh martir (nama-nama martir yang lain tak diketahui), lalu menimbunnya dengan tanah. Lima belas bulan kemudian, pada tanggal 6 November 1901, umat beriman menggali kembali kubur para martir agar dapat memakamkannya dengan pantas. Mereka sungguh terkejut serta takjub saat mendapati bahwa jenazah para martir tidak membusuk, melainkan tampak seolah hidup. Semua yang hadir memuji Tuhan karena mukjizat yang terjadi.
Pemakaman kembali para martir ini berlangsung khidmad dan khusuk. Umat beriman menganggap Anna sebagai seorang santa dan berdoa mohon perantaraannya untuk berbagai mukjizat penyembuhan. Banyak doa dikabulkan Tuhan dengan perantaraan Anna. Suatu mukjizat juga bahwa segenap anggota keluarga Anna sendiri akhirnya bertobat. Neneknya, yang dulu memperlakukan Anna dengan buruk, menjadi seorang Katolik yang amat saleh dan meninggal dengan kudus. Ibu tirinya yang murtad, kembali ke dalam pelukan Gereja. Ayahnya juga kembali menjadi seorang Katolik yang saleh. Saat ayahnya di kemudian hari menjadi buta, ia berdoa mohon kesembuhan dengan perantaraan puterinya; namun doanya tidak dikabulkan, Ayahnya menerima sebagai kehendak Allah agar ia melakukan lebih banyak penitensi semasa di dunia demi kebaikan jiwanya.
Pada tanggal 17 April 1955, Anna Wang dibeatifikasi oleh Paus Pius XII. Pada tanggal 1 Oktober 2000, St Anna Wang, bersama ke-119 martir Cina lainnya, dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II.
“St Anna Wang, St Lucia Wang-Wang, St Andreas Wang Tianqing, dan segenap martir Cina yang kudus, sudilah berdoa bagi Gereja yang dianiaya di Cina! Berilah kami semua kegagahan seperti yang engkau miliki dalam menyatakan serta mengamalkan iman kami secara terbuka. Amin.”
Sumber: 1. “Missionary Figures: There Will Be Saints Among The Children”; The Holy See; www.vatican.va; 2. “St. Anna Wang, St. Lucia Wang-Wang and St. Andrew Wang Tianqing”; The Cardinal Kung Foundation; www.cardinalkungfoundation.org" www.cardinalkungfoundation.org; 3. berbagai sumber
|