YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Simbol Pelikan dalam Gereja Katolik
oleh: Romo William Saunders *
Simbol ibu pelikan sedang memberi makan anak-anaknya berasal dari suatu legenda kuno sebelum masa Kristiani. Alkisah, pada masa kelaparan, ibu pelikan melukai dirinya sendiri, merobek dadanya dengan paruhnya untuk memberi makan anak-anaknya dengan darahnya agar mereka tidak mati kelaparan. Versi lain dari legenda tersebut mengisahkan ibu pelikan memberi makan anak-anaknya yang mati kelaparan dengan darahnya agar mereka pulih dan hidup kembali, sementara ia sendiri kehilangan nyawanya.  

Dari legenda di atas, kita dapat dengan mudah memahami mengapa Gereja Perdana mengambilnya sebagai lambang Tuhan kita, Yesus Kristus. Pelikan melambangkan Yesus, Penebus kita, yang menyerahkan nyawa-Nya sendiri sebagai silih dan tebusan atas dosa-dosa kita melalui Sengsara dan Wafat-Nya. Kita mati terhadap dosa dan memperoleh hidup baru melalui Darah Kristus. Lagipula, Yesus terus-menerus memberi kita makan dengan Tubuh dan Darah-Nya dalam Ekaristi Kudus.

Tradisi di atas dan juga beberapa lainnya, dapat ditemukan dalam Physiologus (= Legenda Binatang), suatu karya sastra Gereja Perdana yang muncul pada abad kedua di Alexandria, Mesir. Physiologus, yang ditulis oleh seorang pengarang anonim, menceritakan legenda-legenda binatang dengan memberikan tafsiran alegoris (= kiasan) bagi setiap legenda. Sebagai contoh, burung phoenix (= burung hong) yang membakar dirinya hingga mati dan bangkit dari abu pada hari ketiga, melambangkan Kristus yang wafat bagi dosa-dosa kita dan bangkit pada hari ketiga dengan mengaruniakan janji akan kehidupan kekal bagi kita. Unicorn yang hanya mengijinkan dirinya ditangkap dalam pelukan seorang gadis yang suci murni, melambangkan peristiwa inkarnasi.

Dalam Physiologus, legenda pelikan memberi makan anak-anaknya digambarkan sebagai berikut: “Anak-anak pelikan menyerang orangtuanya, dan orangtuanya menyerang balik, lalu membunuh mereka. Tetapi, pada hari ketiga ibu pelikan merobek lambungnya dan mencurahkan darahnya atas anak-anaknya yang telah mati. Dengan demikian, anak-anaknya itu dipulihkan serta dihidupkan kembali. Demikian jugalah Tuhan kita Yesus Kristus bersabda melalui nabi Yesaya: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku.” (Yesaya 1:2). Kita memberontak melawan Tuhan dengan menyembah allah-allah lain selain dari Sang Pencipta. Sebab itu Ia rela merendahkan diri dengan wafat di atas kayu salib, dan ketika lambung-Nya ditikam, mengalirlah darah dan air bagi keselamatan dan kehidupan kekal bagi kita.” Karya sastra tersebut dikenal oleh St. Epifanius, St. Basilus and St. Petrus dari Alexandria, serta populer pada abad pertengahan dan dipakai sebagai sumber acuan simbol-simbol yang dipakai dalam berbagai karya pahat batu dan karya seni lainnya pada masa itu.

Pelikan telah menjadi bagian dari tradisi liturgi kita. Gambar pelikan sedang memberi makan anak-anaknya merupakan karya seni yang populer pada bagian depan altar. Pada masa-masa awal, ketika tabernakel kadang-kadang ditempatkan tergantung di atas altar, tabernakel dibentuk menyerupai seekor burung pelikan.

Yesus Sendiri menampakkan diri kepada St. Gertrude Agung (1256 - 1301) sebagai pelikan berdarah. Ketika St. Gertrude bertanya kepada-Nya, “Tuhanku, apa yang ingin Engkau ajarkan padaku melalui penampakan ini?”, maka Kristus menjawab, “Aku ingin kamu memperhatikan kasih-Ku yang meluap hingga mendorong Diri-Ku memberikan kamu kurnia ini; karena setelah Aku memberikan Diri-Ku sendiri, seakan-akan Aku lebih suka tetap mati di makam, daripada mencabut buah kemurahan-Ku dari jiwa yang mengasihi Aku. Pikirkan pula seperti halnya darah yang keluar dari jantung burung pelikan memberikan kehidupan kepada anak-anaknya, begitu pula jiwa, yang Aku beri makan dengan Santapan sorgawi, memperoleh kehidupan yang tidak akan berakhir.”

Demikianlah, lambang pelikan menjadi tanda pengingat akan Tuhan kita, yang menderita sengsara dan wafat demi memberikan kehidupan kekal bagi kita, dan yang memelihara kita dalam perjalanan ziarah kita dengan Ekaristi Kudus. Semoga lambang tersebut juga menggerakkan kita untuk menunjukkan belas kasihan dan cinta yang rela berkurban kepada semua orang, seperti yang diteladankan-Nya.

* Father William Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Our Lady of Hope Parish in Sterling, Virginia.

sumber : The Symbolism of the Pelican by Fr. William Saunders”; Copyright © 2003 Arlington Catholic Herald
tambahan: Saat-Saat Hening Bersama Hildegard dan Para Wanita Mistik”; Drs A. Widyarto, L.Ph., Servant Publications, 2002
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”