YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Apa dan Mengapa Selibat?
oleh: Romo Francis J Peffley
Yesus Tuhan
Tuhan Yesus adalah seorang imam (Ibrani 4:14: “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah”). Ia hidup selibat dan memanggil kita untuk melakukan hal yang sama. Petrus berkata: "Kami ini telah meninggalkan segala kepunyaan kami dan mengikut Engkau." Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orangtuanya atau anak-anaknya, akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Luk 18:28-30).

Abraham diminta untuk mengorbankan anaknya, Ishak (Kej 22). Melalui hidup selibat, seorang imam diminta untuk mengorbankan bukan hanya anaknya, tetapi juga isterinya. Yesus mengajarkan bahwa tidak semua orang dapat hidup selibat, tetapi mereka yang dipanggil baiklah ia melakukannya demi Kerajaan Allah: Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja - ada orang yang membuat dirinya demikian (selibat) karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Mat 19:10-12).

Selibat adalah tanda kebangkitan; kita semua akan hidup selibat di kehidupan yang akan datang. Yesus mengatakan: “Pada waktu kebangkitan, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.” (Mat 22:30). Sesuai dengan teladan Kristus, para imam dipanggil untuk hidup selibat di kehidupan sekarang ini dan di kehidupan yang akan datang. Elia dan Yohanes Pembaptis, dua orang nabi besar, juga hidup selibat. St. Paulus bahkan menganjurkan hidup selibat di antara kaum awam. Ia menulis: “Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mengusahakan perceraian! Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang! Tetapi, kalau engkau kawin, engkau tidak berdosa. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (1Kor 7).

Selibat bukanlah sesuatu yang tidak wajar, melainkan sesuatu yang adikodrati. Selibat adalah karunia khusus dari Tuhan. Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia. Sebagai manusia, Ia hidup sepenuhnya sebagai seorang manusia, dengan memilih hidup selibat. Selibat adalah mengorbankan keindahan hidup perkawinan demi Kerajaan Allah. Selibat bukan untuk orang yang tidak tertarik kepada lawan jenisnya. Tetapi, untuk mereka yang memang tertarik oleh lawan jenisnya. Jika mereka memang tidak tertarik, tidak akan ada pengorbanan untuk tidak menikmati hidup perkawinan. Selibat tidak menarik bagi dunia sekarang ini, karena selibat merupakan pengorbanan, dan pengorbanan bagi Tuhan bukanlah sesuatu yang disukai orang pada masa ini. Namun demikian, pendapat dunia tidaklah meresahkan Tuhan Yesus yang mengatakan: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” (Yoh 18:36)


“Kemurnian bukannya layak dipuji karena dilakukan oleh para martir, tetapi karena kemurnian itu sendiri menjadikan kita martir.” ~ St. Ambrosius


sumber : Romo Francis J. Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”