St. Louis dan St. Zélie Martin
LOUIS MARTIN
ZÉLIE GUÉRIN
HIDUP PERKAWINAN & KELUARGA
ZÉLIE WAFAT
ALTAR DAN KURBAN
BEATIFIKASI
LOUIS MARTIN
“Cukuplah engkau memandang wajah Papa untuk mengetahui bagaimana seorang kudus berdoa.”
Louis Joseph Aloys Stanislaus dilahirkan pada tanggal 22 Agustus 1823 di Bordeaux, Perancis dari pasangan Kapten Pierre-Frençois Martin dan Marie-Anne-Fanie Boureau. Sewaktu bayi Louis dibawa ke gereja untuk dibaptis, kebetulan Uskup Agung berada di sana; ia memberkati sang bayi dan mengatakan kepada orangtuanya, “Selamat! Anak ini adalah anak yang ditentukan.”
Keluarga Martin berpindah-pindah seturut tugas. Baru setelah Kapten Martin pensiun pada bulan Desember 1830, mereka menetap di Alençon. Louis menonjol dalam sastra Perancis dan ia cakap melukis. Pada tahun 1842, pemuda Louis mulai belajar cara membuat jam di Rennes, Strasbourg dan Paris. Sebab hatinya merasa terpanggil untuk hidup membiara, Louis pergi ke Biara Agustinian di pegunungan Swiss untuk mohon diperkenankan menggabungkan diri. Prior biara mengatakan bahwa ia tak dapat diterima jika tidak mengenal bahasa Latin. Yakin akan panggilannya, Louis belajar bahasa Latin selama satu tahun hingga penyakit membuatnya tanpa ragu mengerti bahwa Tuhan mempunyai rencana lain baginya. Ia tidak melanjutkan belajar bahasa Latin, melainkan melanjutkan magangnya sebagai pembuat jam.
Setelah cakap dalam pembuatan jam, pada bulan November 1850 Louis membuka tokonya sendiri di Alençon. Ia seorang yang jujur dan adil; ia amat berhati-hati dalam mematok harga yang pantas dan tak pernah mengambil keuntungan secara tak adil dari orang-orang kaya yang menjadi pelanggannya. Usaha Louis maju pesat sehingga ia dapat membuka sebuah toko perhiasan juga. Meski terkadang bisnis menuntut, tapi Louis sangat menghormati hari Minggu dan sama sekali tak mau bertransaksi pada hari Minggu. Tujuh tahun kemudian, ia membeli Pavilion, sebuah rumah mungil di pinggir kota, yang kemudian menjadi tempat retretnya. Selain suka mengunjungi tempat-tempat ziarah, Louis biasa pergi ke sana untuk membaca, berdoa dan memancing. Di taman Pavilion, ia menempatkan sebuah patung Bunda Maria. Louis amat murah hati kepada kaum miskin dan tiada pernah ragu mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan. Demikianlah ia hidup membujang dengan tenang selama nyaris delapan tahun, tanpa keinginan untuk menikah.
ZÉLIE GUÉRIN
“Allah berkenan membuka akal budiku pada usia yang sangat dini dan menanamkan kenangan-kenangan masa kecilku secara mendalam dalam ingatanku. Yesus dalam kasih-Nya mungkin menghendaki agar aku mengetahui betapa ibu yang tiada bandingnya yang telah Ia berikan kepadaku, tetapi yang oleh tangan-Nya bergegas dimahkotai-Nya di surga.”
~ St Theresia, usianya baru 4½ tahun ketika ibunya wafat
Zélie (Azélie-Marie) Guérin dilahirkan di Saint-Denis-sur-Sarthon, dekat Alençon, Perancis pada tanggal 23 Desember 1831 dari pasangan suami isteri Isidore Guérin dan Louise-Jeanne Macé, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Ibunya seorang yang saleh namun sangat keras dalam mendidik kedua puterinya. Dalam sepucuk surat kepada saudaranya, Isidore Guérin, Zélie sendiri menyatakan masa kecil dan masa mudanya “menyedihkan bagai kafan, sebab, jika ibu memanjakanmu, denganku, kau tahu, ia amat keras; ia yang begitu baik tidak mendapati yang benar dalam diriku, sehingga aku menderita sakit hati yang hebat.” Ayahnya seorang yang tegas, namun menunjukkan terlebih banyak kasih dan kelembutan bagi anak-anaknya; ia bahkan rela menjual rumah dan tanah demi pendidikan anak-anaknya.
Ketika Zélie berusia tigabelas tahun, keluarganya pindah ke Alençon. Zélie seorang gadis yang cerdas sekaligus religius; ia menempati peringkat pertama dalam sastra Perancis. Di kemudian hari, surat-surat yang ditulisnya membantu kita mengenal karakternya yang kompleks, pandangannya yang tajam terarah ke surga, energi dan kapasitasnya yang luar biasa dalam menunaikan perannya sebagai seorang isteri, ibu dan wanita karir yang berhasil.
Zélie senantiasa merindukan kehidupan religius seperti kakaknya - Marie Louise yang pada tahun 1858 menggabungkan diri di Biara Visitasi di Le Mans dan menjadi Suster Marie-Dosithée. Tetapi ketika mengajukan permohonan ke Biara Suster-suster Puteri Kasih St Vincentius de Paul, Moeder Superior tanpa ragu mengatakan kepadanya bahwa hidup membiara bukanlah kehendak Allah baginya. Zélie bersedih hati atas penolakan ini, namun dengan optimisme yang mengagumkan ia berseru, “Allah-ku, aku akan masuk dalam hidup perkawinan demi memenuhi kehendak-Mu yang kudus. Sebab itu aku mohon berilah aku anak-anak yang banyak agar mereka dapat dikonsekrasikan bagi-Mu.”
Guna mempersiapkan maharnya, Zélie berpaling kepada Bunda Maria dan bertanya bagaimana ia bisa mendapatkan uang. Pada tanggal 8 Desember 1851, ia menerima jawaban dalam bentuk suara batin yang mengatakan, “Buatlah renda Point d'Alençon.” Zélie mengambil kursus; dengan cepat ia menguasai pembuatan renda dan segera memulai usahanya sendiri. Tokonya terkenal dengan kualitas rendanya.
HIDUP PERKAWINAN & KELUARGA
“Allah memberiku seorang ayah dan seorang ibu yang lebih layak akan surga daripada dunia.”
~ St Theresia dari Kanak-kanak Yesus
Suatu hari di bulan April 1858, ketika usianya 35 tahun, Louis menyeberangi Jembatan Saint Léonard. Zélie memperhatikan pemuda yang lewat ini, yang amat mengesankan hatinya. Lagi, terdengar suara batin yang mengatakan, “Dialah yang telah Aku persiapkan bagimu.” Segera ia mendapat tahu bahwa nama pemuda itu adalah Louis Martin. Keduanya kemudian saling berkenalan dan saling jatuh cinta. Tiga bulan kemudian, pada tanggal 12 Juli 1858 pukul 22.00 mereka melangsungkan perkawinan sipil dan dua jam kemudian, pada tanggal 13 Juli, mereka saling menerimakan Sakramen Perkawinan di Gereja Santa Perawan Maria dengan dipimpin Pastor Hurel. Cinta kasih suami isteri dapat kita baca dalam surat-surat mereka. Dalam salah satu surat-suratnya, yang praktis merupakan suatu sintesa dari kasih perkawinan, Louis menandatangani suratnya sebagai berikut: “Suamimu dan sahabatmu yang sejati, yang mengasihimu seumur hidup.” Zélie menanggapinya dengan: “Aku menyertaimu dalam roh sepanjang hari; aku katakan kepada diriku sendiri: Ia sedang melakukan ini dan ini pada saat ini. Aku tak dapat sabar untuk segera bersamamu, Louisku terkasih; aku mengasihimu dengan segenap hatiku, dan aku dapat merasakan betapa kasihku berlipat ganda dengan ketidakhadiranmu; mustahil bagiku untuk hidup jauh darimu.”
Pasangan baru ini tinggal di belakang toko Louis yang besar. Zélie meminta Louis untuk membawa patung Santa Perawan dari taman Pavilion ke rumah mereka. Patung ini menjadi pusat devosi keluarga. Patung ini jugalah yang di kemudian hari tersenyum kepada St Theresia sementara ia sakit parah, sehingga sesudahnya dikenal sebagai “Santa Perawan Tersenyum”.
Sebab Louis dan Zélie keduanya merindukan hidup religius, mereka saling berjanji untuk hidup sebagai saudara dan saudari, seturut teladan St Yosef dan Santa Perawan Maria. Sepuluh bulan lamanya mereka berdua hidup bersama dalam pantang total. Melalui campur tangan bijak dari bapa pengakuan dan didorong kerinduan untuk mempersembahkan anak-anak kepada Tuhan, pada akhirnya mereka memutuskan agar pantang diakhiri.
“Kedua orangtua kami menaruh perhatian yang sangat besar pada keselamatan jiwa-jiwa… tetapi karya apostolik yang terbaik yang kami tahu adalah Propaganda Iman yang untuknya, setiap tahun, orangtua kami memberikan sumbangan yang besar. Adalah semangat yang sama bagi jiwa-jiwa ini yang membuat mereka begitu sangat merindukan seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi seorang misionaris dan anak perempuan yang akan menjadi biarawati” (Positio, Vol.II, h.972).
Louis amat bahagia ketika anaknya yang sulung - Marie Louise - dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1860. Louis dan Zélie telah memutuskan untuk memberikan nama Marie pada semua anak mereka demi menghormati Santa Perawan Maria. Anak sulung mereka dikenal dengan nama ini sepanjang hidupnya. Ketika Louis membawa puterinya ke St Pierre de Monsort untuk dibaptis, ia berkata bangga kepada Pastor, “Ini adalah pertama kalinya Pater melihat saya di sini untuk suatu baptisan, tetapi ini bukan yang terakhir!” Puteri sulungnya ini senantiasa menjadi anak yang dikasihinya secara istimewa.
Pada tanggal 8 Desember, pada Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa, tahun yang sama, Zélie memohon anugerah anak yang kedua kepada Santa Perawan. Doanya dikabulkan dan pada tanggal 7 September 1861 Marie Pauline dilahirkan. Selanjutnya, pada tanggal 3 Juni 1863, lahir Marie Léonie dan pada tanggal 13 Oktober 1864 lahir Marie Hélène.
Secara istimewa Louis dan Zélie bersukacita atas kelahiran putera sulung, Marie Joseph Louis, pada tanggal 20 September 1866. Sayang, usianya belum genap lima bulan ketika bayi Joseph meninggal dunia, meninggalkan orangtuanya dalam keadaan amat berduka. Zélie menggencarkan doa memohon seorang putera melalui novena kepada St Yosef; novena ini berakhir pada Hari Raya St Yosef. Tepat sembilan bulan kemudian, 19 Desember 1867, Marie Joseph John Baptiste dilahirkan. Bayi ini lemah, sehingga Zélie tak kunjung henti berdoa agar puteranya diijinkan tinggal di dunia. Namun Tuhan berkehendak lain, delapan bulan kemudian harus Zélie berserah pada kenyataan bahwa Tuhan menghendaki John bagi Diri-Nya.
Pada tanggal 28 April 1869, lahir bagi mereka Marie Céline. Sementara itu, Hélène seorang gadis kecil yang manis dan memikat hati, sekonyong-konyong jatuh sakit parah dan meninggal dunia dalam usia lima tahun. Zélie mengenang peristiwa duka itu, “Aku merasa amat kehilangan atas kematian dua putera kecilku, tetapi aku terlebih lagi menderita kehilangan anak ini.”
Meski Zélie tak putus harapan untuk melahirkan seorang putera, tetapi anaknya yang kedelapan adalah seorang puteri, Marie Mélanie Thérèse, yang hanya bertahan hidup dua bulan. Pada tanggal 2 Januari 1873, lahirlah si bungsu Marie Francoise Thérèse yang sekarang kita kenal sebagai St Theresia dari Kanak-kanak Yesus.
Louis berbahagia di kelahiran setiap anaknya dan berduka ketika tiga dari mereka meninggal dunia semasa bayi; tetapi dukanya yang terdalam adalah ketika Hélène meninggal dunia. Ia patah hati dan bahkan bertahun-tahun kemudian masih sering meratapi kematiannya dalam usia dini. Zélie sendiri menulis, “Ketika aku menutup mata anak-anakku terkasih dan menguburkan mereka, aku merasakan dukacita yang mendalam, namun selalu duka dalam penyerahan diri. Aku tidak menyesali sakit dan kasihku bagi mereka. Sebagian orang mengatakan kepadaku, `Adalah lebih baik jika anak-anak itu tidak pernah dilahirkan,' tetapi aku tak dapat tahan akan perkataan macam ini. Aku pikir bahwa penderitaan dan dukacita tak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan abadi anak-anakku. Mereka tidak hilang untuk selamanya; hidup ini singkat dan penuh penderitaan, dan kita akan bertemu kembali dengan mereka kelak di sana.”
Setiap pagi Louis dan Zélie ikut ambil bagian dalam Misa. Mereka berdua menyambut Komuni Kudus beberapa kali dalam seminggu; sesuatu yang tak lazim pada masa itu. Sepulang gereja, Luois pergi bekerja mengurus bisnis jam dan perhiasan sementara Zélie mulai bekerja mengurus bisnis renda di rumah dengan limabelas pekerja. Ia juga berkecimpung dalam penanaman modal dan meluangkan waktu membaca bulletin bursa efek. Sejalan dengan mengurus bisnis, Zélie mengurus rumah tangga, merawat anak-anak, menulis surat secara rutin kepada kedua puterinya yang tinggal di asrama sekolah mengenai apa-apa yang terjadi di rumah. Ia membuat kue, mengadakan permainan, mengatur pesta dan tamasya bagi keluarga. Ia selalu mempunyai waktu untuk masing-masing anak sebanyak yang mereka butuhkan. Mendidik puteri-puterinya sungguh menguras energi, sebab ia menginginkan hanya yang terbaik bagi mereka masing-masing … menjadi jiwa-jiwa yang kudus!
Anak-anak belajar berdoa sejak usia dini. Zélie selalu memberikan perhatian pada pakaian yang mereka kenakan dan meski sangat mengasihi mereka, ia tidak pernah mau mentolerir tingkah laku yang tidak pantas, kata-kata yang sembarang diucapkan, rewel dalam menyantap makanan yang disajikan atau kesombongan apapun bentuknya. Ia menanamkan kemurahan hati dan semangat kurban bagi yang lain, mengalah agar supaya mendapatkan mutiara-mutiara bagi mahkota mereka. Anak-anak yang telah meninggal dunia dianggap bagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan seturut kesaksian hidup orangtuanya, anak-anak diajar untuk memandang surga sebagai rumah mereka yang sesungguhnya.
Louis senantiasa melakukan segala yang dapat dilakukannya untuk membantu Zélie. Pada bulan April 1870, guna membaktikan lebih banyak waktu untuk membantu bisnis Zélie, Louis menjual bisnisnya sendiri dan bulan Juli 1871 membawa keluarganya pindah ke rumah lama Zélie. Louis mengambil alih keuangan, menangani marketing, pengiriman barang dan bahkan ikut memilih dan menggambar pola renda.
Louis suka melewatkan waktu bersama kelima puterinya dan ia menyenangkan mereka dengan mainan-mainan yang ia buat sendiri bagi mereka. Namun demikian, ia seorang yang tegas, menuntut ketaatan dan mengharapkan ketepatan waktu. Anak-anak menghormatinya karena kasih sayang kepada ayahnya. Louis mempunyai panggilan kesayangan bagi masing-masing anaknya: Marie adalah Permataku, Pauline Mutiaraku, Léonie Hatiku, Céline Pendekarku dan Thérèse Ratu Kecilku.
Ketika Marie terjangkit demam typhus dalam usia tigabelas tahun, Louis tak beranjak dari sisi pembaringan puterinya. Dan demi memohon kesembuhan, ia berziarah dengan berjalan kaki sejauh 15 km ke Basilika Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa dan berpuasa. Keesokan harinya, ketika tiba kembali di rumah, puterinya telah sembuh sama sekali dari sakit secara ajaib.
ZÉLIE WAFAT
“Betapa aku suka senyum Mama dan pandangannya yang mendalam seolah mengatakan:
Keabadian menyukakan dan menarik hatiku, aku akan pergi ke langit yang biru untuk bertemu Tuhan!”
~ St Theresia dari Kanak-kanak Yesus
Pada bulan April 1865, Zélie menulis kepada saudranya, Isidore Guérin, “Kau tahu bahwa ketika aku masih kecil, dadaku tertumbuk pojok meja. Masalah itu tidak diperhatikan, tetapi sekarang aku mengalami pembengkakan kelenjar di dada, yang membuatku khawatir, teristimewa sejak mulai terasa sakit.” Kendati demikian, masalah sakit ini kemudian tidak disebut-sebut lagi hingga sebelas tahun kemudian, di mana keadaannya sudah fatal.
Pada bulan Oktober 1876, dokter menjatuhkan vonis tumor fibrous kepada Zélie. Tak ada operasi maupun obat-obatan yang dapat memberinya harapan sembuh. Malam hari sakit terasa paling hebat dan tubuhnya mati rasa sebelah, membuatnya sulit memejamkan mata. Tetapi, iman Zélie tak tergoyahkan, “Hanya sedikit saja alasan bagiku untuk bergembira menyambut waktu mendatang, tetapi aku seperti kanak-kanak yang tak khawatir akan hari esok; aku selalu berharap akan kebahagiaan!” Louis amat berduka ketika mengetahui isterinya sakit parah tak tersembuhkan. Ia tak lagi pergi memancing, melainkan senantiasa setia mendampingi isterinya. Dalam sakitnya, Zélie tetap setia ikut ambil bagian dalam Misa meski ia nyaris sepanjang waktu harus mengerahkan tenaga menahan sakit agar tak berteriak kesakitan. “Jika Tuhan berkehendak menyembuhkanku, aku akan sangat senang, sebab jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin hidup; sungguh menyedihkan hatiku meninggalkan suami dan anak-anakku. Tetapi sebagian yang lain dari diriku berkata: jika aku tidak disembuhkan, itu karena mungkin lebih baik jika aku pergi.”
Setelah kunjungan ke Lourdes mohon kesembuhan yang tampaknya sia-sia, Zélie menulis, “Jika Santa Perawan tak menyembuhkanku, berarti waktuku telah tiba dan bahwa Allah menghendakiku mendapatkan istirahatku di tempat selain dunia.” Sepuluh hari kemudian Zélie kehilangan suaranya, kedua kakinya membengkak dan kondisinya melemah. Sakramen Pengurapan orang sakit diterimakan kepadanya dan dua hari kemudian, pada tanggal 28 Agustus 1877, Zélie Martin pulang ke rumah Bapa.
ALTAR DAN KURBAN
“Papa mendesak untuk mengatakan kepada kalian, anak-anakku terkasih, bahwa Papa terdorong untuk mengucap syukur dan meminta kalian untuk mengucap syukur kepada Allah, sebab Papa merasa bahwa keluarga kita, meski begitu hina, telah beroleh kehormatan dibilang di antara orang-orang pilihan sang Pencipta.”
~ Beato Louis Martin
Ditinggalkan seorang diri dengan lima orang puteri berusia antara empat hingga tujuhbelas tahun, Louis segera memenuhi keinginan almarhumah isterinya untuk memindahkan keluarga ke Les Buissonnets di Lisieux, agar mereka dekat dengan kerabatnya - Isidore Guérin, seorang apoteker, dan isterinya Céline bersama dua puteri mereka: Jeanne dan Marie.
Di Lisieux, siang hari biasa dilewatkan Louis dengan mengunjungi gereja-gereja dan Sakramen Mahakudus. Sore hari dilewatkan bersama anak-anaknya dengan membaca bacaan dari Tahun Liturgi atau bacaan-bacaan yang sudah dipilih. Louis bercerita dan menyanyi bersama mereka. Acara selalu diakhiri dengan doa keluarga. Bersama Isidore Guérin, Louis membentuk Serikat Adorasi Malam di Lisieux, dan ia juga aktif dalam Serikat St Vincentius de Paul.
Ketika Pauline menyatakan keinginannya untuk masuk Karmel, Louis menanggapi, “Pauline, Papa memberimu ijin untuk masuk Karmel demi kebahagiaanmu, tetapi janganlah berpikir bahwa tak ada pengorbanan dari pihak Papa, sebab Papa amat sangat mengasihimu.” Hatinya pedih kehilangan seorang anak dalam lingkup keluarga, sekaligus bahagia bahwa doa-doanya bersama Zélie agar masing-masing anak dikonsekrasikan kepada Tuhan mulai terpenuhi. Marie Pauline menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Lisieux pada bulan Oktober 1882 dan dikenal sebagai Moeder Agnes dari Yesus.
Meski demikian, teristimewa amat sulit baginya ketika si sulung Marie memohon ijin untuk masuk Karmel juga. Louis terguncang. Ia memandangi puteri kesayangannya dengan airmata berlinang, “Tuhan tidak dapat meminta kurban yang terlebih besar dari ini dariku. Papa pikir engkau tak akan pernah meninggalkan Papa!” Marie menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Lisieux pada bulan Oktober 1886 dan dikenal sebagai Sr Maria dari Hati Kudus.
Ketika kemudian Thérèse meminta ijin untuk masuk Karmel, Louis tidak terkejut, meski puterinya itu baru berusia empatbelas tahun. Louis tahu bahwa walau masih muda, Thérèse mempunyai panggilan sejati dan ia tak hendak menghalangi jalan, malahan ia mempertaruhkan diri dianggap sebagai ayah yang tidak bijak sebab dengan segenap hati membantu puterinya mengupayakan ijin dari otoritas untuk masuk biara dalam usia amat muda. Ia sendiri yang menghantarkan Ratu Kecilnya menghadap Uskup dan bahkan Bapa Suci demi mendapatkan ijin yang diperlukan. Perjuangan mereka membuahkan hasil; pada bulan September 1888, Thérèse dengan ijin khusus diperbolehkan masuk Biara Karmel di Lisieux dalam usia limabelas tahun. Marie-Françoise-Thérèse yang wafat pada tanggal 30 September 1897 inilah yang sekarang kita kenal sebagai St Theresia dari Kanak-kanak Yesus dan dari Wajah Kudus.
Léonie yang kesehatannya senantiasa rapuh sejak masa kecilnya juga meninggalkan rumah untuk masuk Biara St Klara yang keras. Sayang ia harus pulang karena alasan kesehatan, dan setelah dua kali gagal karena alasan yang sama, pada akhirnya Léonie dapat secara definitif menggabungkan diri dalam Biara Visitasi di Caen pada bulan Januari 1899 dan dikenal sebagai Sr Francoise Thérèse. Léonie Martin digelari Gereja sebagai Abdi Allah dan sejak 2015 dalam proses beatifikasi.
Pada bulan Mei 1888, ketika imam Katedral St Pierre, gereja paroki Louis, memaklumkan bahwa ia memulai suatu pengumpulan dana untuk altar utama, Louis menyumbangkan seluruh jumlah yang diperlukan. Thérèse berkomentar, “Papa baru saja memberikan sumbangan kepada Allah untuk sebuah altar, dan ia sendirilah yang dipilih sebagai kurban untuk dipersembahkan bersama dengan Anak Domba tanpa cela.”
Bulan yang sama Louis pergi ke Alençon. Ia mengunjungi Gereja Santa Perawan Maria di mana ia dan Zélie menikah. Di sana, di hadapan altar ia mempersembahkan dirinya sebagai kurban. Kepada puteri-puterinya ia mengatakan, “Anak-anakku, Papa telah kembali dari Alençon, di mana di Gereja Santa Perawan Maria Papa menerima rahmat yang begitu besar, penghiburan yang begitu rupa, hingga Papa memanjatkan doa ini: `Allah-ku, ini terlalu banyak! Ya, aku terlalu bahagia; tidaklah mungkin pergi ke surga seperti ini, aku ingin menderita sesuatu bagi-Mu! Dan aku mempersembahkan diriku….'” Kata “kurban” tak terluncur dari bibirnya, ia tak berani mengucapkannya, tetapi puteri-puterinya mengerti.
Bulan berikutnya, Juni 1888, Céline menunjukkan kepada ayahnya lukisan Santa Perawan Maria Berdukacita dan St Maria Magdalena yang baru saja selesai dilukisnya. Louis begitu terkesan dan bermaksud membawa Céline ke Paris agar ia dapat belajar dari seorang artis professional. Céline menjelaskan bahwa ia tak ingin belajar di Paris, sebab ia berharap suatu hari nanti dapat mengikuti jejak saudari-saudarinya di Biara Karmel. Tetapi sekarang, ia ingin bersama Papa dan merawat Papa hingga akhir. Dihadapkan pada kurban baru ini, Louis menanggapinya secara mengagumkan, “Mari kita pergi bersama mengunjungi Sakramen Mahakudus untuk mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberiku kehormatan dengan mengambil semua anak-anakku.” Marie Céline kelak menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Lisieux pada bulan September 1894 dan dikenal sebagai Sr Genoveva dari Wajah Kudus.
Sementara itu, kesehatan Louis mulai memburuk. Ia juga mengalami hilang ingatan yang cukup parah. Dalam perjalanan ke Le Havre, ia hilang selama empat hari sebelum akhirnya keluarga menemukannya dalam keadaan bingung. Meski ingin undur diri ke suatu tempat yang tenang dan hidup sebagai pertapa, Louis memutuskan untuk terus menjalankan bisnis demi menjamin tercukupinya kebutuhan puteri-puterinya di masa mendatang. Mengingat sakit ingatannya, keluarga sering khawatir apabila Louis tidak pulang sesuai rencana, teristimewa karena terkadang ia membawa sejumlah besar uang untuk keperluan bisnis.
Kesehatannya yang menurun drastis membuat Louis tampak tua dan letih; ia juga mengalami stroke. Karena sering “menghilang”, atas desakan Isidore, pada bulan Februari 1889 Louis dirawat di Rumah Sakit Jiwa “Bon Sauveur” di Caen. Ia yang begitu disegani dan dihormati tenggelam dalam keterpurukan yang paling ngeri. Ia minum dari “yang paling pahit dan paling hina dari segala piala,” tulis Thérèse. Di sini ia menghabiskan sebagian besar waktu di kapel dan menyambut Komuni Kudus setiap hari. Ia membagikan apa yang ia miliki dengan pasien-pasien lain dan tidak pernah mengeluh meski ia merasa menderita dipisahkan dari keluarga. Kepada dokternya Louis mengatakan, “Aku terbiasa memerintah, dan di sini aku harus taat. Sungguh berat! Tetapi aku tahu mengapa Tuhan mengirimkan pencobaan ini kepadaku. Aku tak pernah dihinakan sepanjang hidupku; aku perlu mengalaminya.”
Setiap minggu, puteri-puterinya menjenguk Louis di Caen hingga ia dapat kembali ke rumah pada bulan Mei 1892. Pada waktu itu stroke Louis telah melumpuhkan kedua kakinya, hingga mereka tidak perlu takut ia menghilang. Dua hari kemudian Louis dibawa mengunjungi puteri-puterinya di Karmel. Ketika dikabarkan bahwa Pauline telah dipilih sebagai Moeder Priorin, Louis menanggapi, “Mereka tidak dapat memilih yang lebih baik.”
Pada tahun 1888 keluarga Guérin mewarisi La Musse, sebuah rumah besar dekat Évreux. Louis menikmati pemandangan indah di sini. Dengan ditemani Céline dan Marie Guérin (masuk Biara Karmel di Lisieux pada bulan Agustus 1895 dan dikenal sebagai Sr Maria dari Ekaristi), Louis merasa berbahagia di La Musse. Kesehatan Louis stabil hingga akhir tahun 1893. Pada bulan Mei 1894, Luois mengalami stroke parah yang melumpuhkan lengan kirinya. Pada bulan Juni ia mendapat serangan jantung yang serius.
Pada bulan berikutnya Louis kembali mendapat serangan jantung yang cukup lama, hingga suatu pagi di hari Minggu pukul 8 keluarga mendapati tubuh Luois telah dingin bagai es. Céline berada di sisi pembaringan ayahnya sembari memanjatkan seruan Yesus, Maria dan Yosef untuk kematian yang bahagia. Luois memandangi wajah puterinya dengan penuh cinta dan terima kasih, lalu menutup mata. Isidore mengambil salib dan menekankannya beberapa kali ke bibir Louis agar ia dapat mengecupnya. Napas Louis makin melemah dan pukul 8.15, pada tanggal 29 Juli 1894, Luois Martin wafat. Isidore dengan terharu mengatakan bahwa belum pernah ia melihat kematian yang terlebih damai dari itu. Jenazah Louis dibawa kembali ke Lisieux dan dimakamkan pada tanggal 2 Agustus 1894 sesudah Misa Requiem di katedral. Kepada saudari-saudarinya di Karmel, Céline menulis, “Papa sudah di surga.”
BEATIFIKASI & KANONISASI
“Aku anggota sebuah keluarga yang kudus; aku harus melampaui standard.”
~ Léonie Martin, Abdi Allah
Pada tahun 1957 proses beatifikasi Louis dan Zélie Martin diajukan bersama. Pada tanggal 26 Maret 1994 Louis dan Zélie Martin dimaklumkan sebagai Venerabilis oleh Paus Yohanes Paulus II. Pada tanggal 19 Oktober 2008, Hari Minggu Misi Sedunia, Louis dan Zélie Martin dibeatifikasi oleh Paus Benediktus XVI di Basilika St Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Lisieux, Perancis. Pada tanggal 18 Oktober 2015 dikanonisasi oleh Paus Fransiskus sebagai pasangan pertama yang dikanonisasi dalam sejarah gereja. Pesta pasangan suami isteri ini dirayakan setiap tanggal 12 Juli, tanggal ulang tahun perkawinan mereka.
Berikut kutipan homili sebagaimana disampaikan Kardinal Jose Saraiva Martins, Mantan Prefek Kongregasi untuk Masalah Santa Santo, mewakili Bapa Suci Paus Benediktus XVI:
… Di antara panggilan dengan mana individu dipanggil oleh Penyelenggaraan Ilahi, perkawinan merupakan salah satu dari yang paling tinggi dan paling luhur. Louis dan Zélie tahu bahwa mereka dapat menjadi kudus, bukan dengan menghindari perkawinan, melainkan melalui, dalam dan dengan perkawinan, dan bahwa mereka menjadi pasangan suami isteri merupakan awal dari suatu pendakian bersama. Pada hari ini Gereja tak hanya merayakan kekudusan putera dan puteri Normandy ini, yang merupakan anugerah bagi kita semua, melainkan mengagumi juga, dalam pasangan Beato dan Beata ini apa yang membuat gaun pengantin Gereja menjadi terlebih indah dan cemerlang.
Kasih suami isteri Louis dan Zélie merupakan suatu gambaran murni dari kasih Kristus bagi Gereja-Nya, dan juga suatu gambaran murni dari kasih yang cemerlang yang tanpa cacat atau kerut, melainkan kudus dan tak bercela (Efesus 5:27) sebagaimana Gereja mengasihi Mempelai-nya, Kristus. Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Efesus 1:4).
… Tetapi, apakah rahasia keberhasilan mereka dalam mengamalkan hidup sebagai orang-orang Kristen? Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah-mu (Mikha 6:8). Louis dan Zélie, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hidup dengan rendah hati di hadapan Allah dalam mencari kehendak Allah; Tuan, beritahukanlah kehendak-Mu kepada kami. Mereka mencari kehendak Allah. Mereka haus untuk mengetahui kehendak Allah. Mereka mencintai kehendak Allah. Mereka menerima kehendak Allah tanpa prasangka, tanpa menawar atau bahkan yang lebih parah, menolak. Dan demi memastikan bahwa mereka mengikuti kehendak Allah yang benar, mereka berpaling kepada Gereja, guru ahli mengenai kemanusiaan, dan kepada ajaran-ajarannya. Tak ada suatu aspek pun dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan publik mereka yang tidak dalam keselarasan sempurna dengan ajaran-ajaran Gereja, dalam era mereka maupun dalam era kita.
Sebab bagi Tuan dan Nyonya Martin, apa yang menjadi hak kaisar dan apa yang menjadi hak Allah sangatlah jelas. “Tuhan Allah-ku yang utama dilayani,” kata St Yoana dari Arc. Keluarga Martin menjadikan itu sebagai motto keluara mereka. Penyerahan total pasangan ini pada kehendak Allah sungguh luar biasa. Ketika penderitaan menjamah hidup mereka, reaksi spontan mereka adalah selalu menerima kehendak Allah. Nyonya Martin kerap mengatakan: “Allah adalah Tuan. Ia melakukan apa yang Ia kehendaki.” Tuan Martin menggemakan perkataan isterinya ketika mengatakan: “Allah terlebih dahulu dilayani.” Suami dan isteri, mereka melayani Allah dalam mereka yang miskin, bukan karena kemurahan hati, bukan karena rasa keadilan sosial, melainkan hanya karena dalam kaum miskin mereka mengenali Yesus. Melayani kaum miskin adalah melayani Yesus, adalah memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:24-40). …
Louis dan Zélie mewakili anugerah bagi pasangan-pasangan suami isteri dari setiap masa dengan hormat dan keharmonisan yang menandai kasih mereka selama sembilanbelas tahun. Zélie mengungkapkannya ketika ia menulis kepada Louis: “Aku tak dapat hidup tanpamu, Louis sayang.” Dan suaminya menanggapi, “Aku suamimu dan sahabatmu yang kasihnya adalah milikmu untuk selamanya.” Mereka dengan gagah berani mengamalkan janji setia perkawinan yang mempersatukan mereka, untuk saling setia dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit; untuk saling mencintai dan saling menghormati seumur hidup.
Louis dan Zélie mewakili anugerah bagi para orangtua: Sebagai pelayan kasih dan kehidupan, mereka melahirkan sembilan orang anak bagi Tuhan. Di antara anak-anak ini, secara istimewa kita mengagumi Thérèse.
Louis dan Zélie mewakili anugerah bagi mereka semua yang kehilangan pasangan hidup. Selalu sulit orang menerima kenyataan bahwa dirinya menjadi duda. Louis menghadapi wafat isterinya dengan iman dan kemurahan hati, memilih pindah ke Lisieux demi kebaikan anak-anaknya, meski ia sendiri lebih suka tinggal di Alençon.
Louis dan Zélie mewakili anugerah bagi mereka semua yang menghadapi penyakit dan kematian. Zélie wafat karena kanker. Hidup Louis berakhir setelah serangkaian stroke yang melumpuhkan. Dalam dunia modern kita yang berupaya menyembunyikan diri dari kematian, mereka mengajarkan kepada kita untuk berani menghadapinya dengan penyerahan diri kepada Allah.
Akhirnya, saya mengucap syukur kepada Tuhan, dalam Hari Misi Sedunia yang ke-82 ini, sebab Louis dan Zélie memberikan kepada kita suatu contoh teladan dari sebuah rumah tangga yang misionaris. Itulah sebabnya Bapa Suci menghendaki beatifikasi dilangsungkan pada hari ini yang merupakan hari berharga bagi Gereja Semesta, untuk mempersatukan guru Louis dan Zélie dengan murid Thérèse, puteri mereka, yang adalah Pelindung Misi dan Pujangga Gereja.
… Saudara dan saudariku, semoga keluarga-keluarga kalian, paroki-paroki kalian, komunitas-komunitas religius kalian di sini di segenap penjuru dunia, juga menjadi rumah-rumah tangga para kudus dan misionaris, sebagaimana rumah tangga pasangan suami isteri Beato Louis dan Beata Zélie Martin. Amin.
Sumber: 1.“Therese of Lisieux”; www.sttherese.com; 2.“Saint Therese of Lisieux: A Gateway”; www.thereseoflisieux.org; 3. berbagai sumber
Diperkenankan menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”
|