YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Diperanakkan, Bukan Dibuat
Suatu Pandangan Katolik Mengenai Teknologi Reproduksi
oleh: John M. Haas, Ph.D., S.T.L. *


“Dalam fertilisasi in vitro, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan tunduk pada `quality control' dan dibinasakan apabila didapati `cacat'”

Infertilitas atau ketidaksuburan merupakan masalah yang semakin meningkat di Amerika Serikat. Dan seiring dengan itu, sesuai gaya hidup Amerika, terdapat pula peningkatan dalam “industri teknologi reproduksi” untuk menawarkan jalan keluar.

Adalah sah-sah saja, malahan patut dipuji, berusaha menemukan jalan keluar untuk mengatasi infertilitas. Masalah ketidaksuburan menyebabkan kesedihan dan kepedihan mendalam bagi banyak pasangan yang menikah. Sebab anak-anak adalah anugerah mengagumkan suatu perkawinan, adalah sungguh baik berusaha mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi anak-anak dikandung dan dilahirkan.

Kitab Suci penuh dengan kisah para perempuan yang menderita akibat ketidaksuburan. Kepedihan hati yang mereka rasakan akibat tidak dapat mempunyai seorang anak, tak dapat dihapuskan bahkan dengan kasih sayang suami. Dalam Perjanjian Lama Elkana berkata kepada isterinya yang tak dapat mengandung, “Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?” Tentu saja Hana mencintai suaminya, tetapi ia amat rindu melahirkan anak mereka. Kisah-kisah semacam itu dalam Kitab Suci diceritakan guna menunjukkan kuasa Tuhan; sebagian besar berakhir bahagia dengan mengandungnya para perempuan itu, bahkan dalam usia mereka yang telah lanjut. Ada Sara, isteri Abraham dan ibunda Ishak; Hana, isteri Elkana, yang menjadi ibunda Nabi Samuel; dan Elisabet, ibunda Yohanes Pembaptis. Namun demikian, Kitab Suci juga mengatakan kepada kita bahwa ada batas-batas terhadap cara-cara yang dapat diterima untuk mengandung seorang anak. Ingat kisah tentang anak-anak gadis Lot yang tidak menikah, yang berusaha membuat ayah mereka mabuk supaya mereka dapat mengandung anak-anak darinya! Jelas, tidak semua cara dapat dipergunakan untuk mengandung dan mendapatkan anak.

Pada masa kita, banyak teknik dan terapi telah dikembangkan untuk mengatasi ketidaksuburan. Di Amerika Serikat telah muncul suatu “industri” dengan sedikit atau bahkan tanpa ketentuan-ketentuan dari pemerintah atau dari professional demi melindungi kepentingan laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang terlibat di dalamnya. Kepada para perempuan diberikan obat-obatan fertilitas yang dapat menyebabkan mereka mengandung empat, lima atau bahkan enam anak sekaligus, sehingga membahayakan kesehatan diri dan kesehatan bayi-bayinya. Sebagian lainnya, menyediakan telur untuk dibuahi in vitro (dalam sebuah cawan kaca) tanpa menyadari bahwa ini dapat menghantar pada pemusnahan embrio-embrio atau embrio-embrio ini dibekukan untuk keperluan eksperimen di kemudian hari.

Banyak cara yang sekarang dipergunakan untuk mengatasi ketidaksuburan juga mengandung implikasi moral yang besar, dan pasangan suami isteri hendaknya menyadari hal ini sebelum membuat keputusan untuk menggunakannya. Tiap-tiap teknik hendaknya dipertimbangkan masak-masak untuk mengetahui apakah teknik tersebut sungguh dapat diterima secara moral, yaitu apakah teknik itu mengembangkan kebaikan dan kesejahteraan manusia. Segala teknologi ini dengan suatu cara tertentu menyentuh hidup manusia yang tak berdosa.


AJARAN GEREJA

Pada tahun 1987, Kongregasi Ajaran Iman menerbitkan suatu dokumen yang dikenal sebagai Donum Vitae (“Anugerah Hidup”), yang membahas moralitas dari banyak prosedur fertilitas modern. Dokumen ini tidak menghakimi penggunaan teknologi untuk mengatasi ketidaksuburan sebagai salah. Melainkan, di sana disimpulkan bahwa sebagian metode dapat diterima secara moral, sementara yang lainnya - sebab melanggar martabat pribadi manusia dan penetapan perkawinan - adalah amoral. Donum Vitae menegaskan kembali kewajiban untuk melindungi segala hidup manusia apabila pasangan suami isteri mempergunakan berbagai teknologi dalam upaya memperoleh anak. Tanpa mempertanyakan motivasi dari mereka yang mempergunakan teknik-teknik ini, Donum Vitae menunjukkan bahwa orang dapat mencelakai diri sendiri dan yang lainnya juga bahkan sementara mereka berusaha untuk melakukan apa yang baik, yaitu, mengatasi ketidaksuburan. Prinsip dasar yang dipergunakan Gereja untuk mempertimbangkan moralitas dari berbagai sarana untuk mengatasi ketidaksuburan cukup sederhana, bahkan meski penerapannya terkadang sulit.

Donum Vitae mengajarkan bahwa jika suatu intervensi medis diberikan demi menolong atau membantu tindakan kasih suami isteri agar membuahkan kehamilan, maka intervensi itu dapat diterima secara moral; tetapi, jika intervensi medis menggantikan tindakan kasih suami isteri untuk membuahkan kehidupan, maka intervensi macam itu adalah amoral.    


FERTILISASI IN VITRO

Suatu teknologi reproduksi yang oleh Gereja telah dengan jelas dan tegas dinyatakan sebagai amoral adalah fertilisasi in vitro. Sayangnya, sebagian besar umat Katolik kurang memahami ajaran Gereja, tidak tahu bahwa fertilisasi in vitro adalah amoral, dan sebagian telah mempergunakannya dalam upaya mereka untuk mendapatkan anak. Jika suatu pasangan tidak tahu bahwa prosedur ini adalah amoral, maka mereka secara subyektif tidak bersalah atas dosa. Anak-anak yang dikandung melalui prosedur ini adalah anak-anak Allah dan dikasihi oleh orangtua mereka, seperti seharusnya. Sama seperti semua anak, tanpa peduli bagaimana mereka dikandung dan dilahirkan, haruslah dikasihi, disayangi dan diberi perhatian.

Mengapa mengandung seorang anak melalui fertilisasi in vitro adalah amoral, mungkin sulit dipahami dan dimengerti sebab laki-laki dan perempuan yang terlibat didalamnya biasanya terikat dalam perkawinan dan mereka sedang berupaya untuk mengatasi suatu masalah “medis” (yakni infertilitas) dalam perkawinan mereka. Namun demikian, prosedur ini sungguh melanggar martabat manusia dan melanggar tindakan perkawinan, dan karenanya harus dihindari. Tetapi, mengapakah tepatnya, fertilisasi in vitro ini amoral?

Fertilisasi in vitro membuahkan suatu kehidupan baru dalam sebuah cawan petri. Anak-anak yang dibuahkan melalui fertilisasi in vitro terkadang lebih dikenal sebagai “bayi tabung”. Beberapa telur diambil dari ovarium perempuan setelah ia meminum obat-obatan fertilitas yang mengakibatkan matangnya banyak telur sekaligus. Mani diambil dari laki-laki, biasanya melalui masturbasi. Telur dan sperma akhirnya disatukan dalam sebuah cawan kaca, di mana pembuahan terjadi dan kehidupan baru dibiarkan berkembang selama beberapa hari. Dalam kasus yang paling sederhana, embrio-embrio kemudian ditransfer ke dalam rahim ibu dengan harapan bahwa satu akan bertahan hidup dan berkembang hingga saat persalinan.

Jelas, fertilisasi in vitro menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai sarana terjadinya kehamilan, dan bukannya membantu tindakan kasih suami isteri itu mencapai tujuannya yang alami. Kehidupan baru tidak dibuahkan melalui suatu tindakan kasih antara suami dan isteri, melainkan melalui suatu prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para dokter atau ahli medis. Suami dan isteri hanya sekedar sebagai sumber “bahan baku” telur dan sperma, yang kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli sehingga menyebabkan sperma membuahi telur. Tak jarang pula dipergunakan telur atau sperma dari “donor”. Artinya, ayah atau ibu genetik dari anak bisa saja seorang lain dari luar perkawinan. Hal ini dapat menimbulkan situasi yang membingungkan bagi si anak kelak, apabila ia mengetahui bahwa salah satu dari orangtua yang membesarkannya, bukanlah orangtua bilogisnya.

Sesungguhnya, identitas “donor”, entah donor telur atau sperma, tidak akan pernah diketahui, sehingga menghalangi anak mengetahui silsilahnya sendiri. Ini berarti kurangnya pengetahuan akan masalah kesehatan atau kecenderungan dalam masalah kesehatan yang mungkin diwariskan. Hal ini dapat pula menghantar sesama saudara dan saudari saling menikahi, sebab tak seorang pun tahu bahwa sperma yang membuahkan hidup mereka berasal dari “donor” yang sama.

Tetapi, bahkan meski telur dan sperma berasal dari suami dan isteri, muncul juga masalah-masalah moral yang serius. Selalu dibuahkan banyak embrio, tetapi hanya embrio-embrio yang menunjukkan pengharapan terbesar untuk berkembang hingga masa persalinan ditanamkan ke dalam rahim. Embrio-embrio lain dibuang begitu saja atau dipergunakan untuk eksperimen. Ini sungguh merupakan pelanggaran berat terhadap hidup manusia. Sementara seorang bayi mungil pada akhirnya dapat dilahirkan melalui prosedur ini, embrio-embrio lain pada umumnya dibinasakan dalam proses.

Fertilisasi in vitro juga menuntut banyak biaya, setidaknya $10,000 per upaya. Lebih dari 90% embrio yang dibuahkan binasa dalam suatu tahapan dalam proses. Dalam keinginan untuk menekan biaya dan memperbesar kemungkinan berhasil, kadang para dokter menanamkan hingga lima atau lebih embrio dalam rahim ibu. Ini akan menghasilkan lebih banyak bayi dari yang diharapkan suatu pasangan. Di Kanada, seorang perempuan melahirkan lima anak yang dibuahkan dari fertilisasi in vitro. Ibu ini menghendaki hanya satu bayi saja, sebab itu ia menggugat dokternya karena “hidup yang salah,” dan menuntut sang dokter membayar biaya membesarkan keempat anak lain yang tak dikehendakinya.

Guna menghindari masalah mengandung dan membesarkan “terlalu banyak” bayi setelah beberapa embrio ditanamkan dalam rahim, para dokter kadang melakukan sesuatu yang secara halus disebut sebagai “reduksi fetus” atau “reduksi selektif”. Di sini mereka memonitor bayi-bayi dalam rahim guna melihat kalau-kalau ada yang cacat atau dinilai sebagai tidak sesehat yang lainnya. Kemudian mereka menyingkirkan bayi-bayi yang “kurang dikehendaki” itu dengan mengisi suatu suntik dengan kalium khlorida, mengarahkan jarumnya ke arah bayi yang “dipilih” dalam rahim dengan bantuan ultrasound, dan kemudian menusukkan jarum ke jantung bayi. Kalium khlorida membunuh bayi dalam beberapa menit saja, dan si bayi akan dikeluarkan dari rahim sebagai “keguguran”. Jika tidak dapat ditentukan satu bayi yang kurang sehat daripada yang lainnya, sebagian dokter sekedar menyingkirkan bayi atau bayi-bayi yang paling mudah dijangkau. Lagi, kita melihat penghancuran tak terkatakan akan nilai hidup manusia yang dapat timbul dari prosedur ini.

Tidak semua orang yang mendapatkan anak melalui fertilisasi in vitro mempergunakan telur atau sperma dari donor, mengambil sperma melalui masturbasi, atau membunuh bayi-bayi “ekstra” yang tak dikehendaki selama proses kehamilan. Walau demikian, masih ada problem moral dengan prosedur itu sendiri. Mengapa?


MENGAPA FERTILISASI IN VITRO ITU SALAH?

Manusia diciptakan seturut gambar dan citra Allah. Sebab itu manusia wajib dihormati sebagai sakral. Tidak pernah boleh manusia dipergunakan sebagai sarana untuk suatu tujuan, bahkan tidak demi memuaskan kerinduan terdalam dari suatu pasangan yang tidak subur. Suami dan isteri melakukan tindakan kasih (“make love”), mereka tidak membuat bayi (“make babies”). Suami dan isteri saling mengungkapkan kasih mereka satu sama lain, dan seorang anak mungkin atau mungkin juga tidak dibuahkan dari tindakan kasih itu. Tindakan perkawinan bukanlah suatu proses produksi, dan anak-anak bukanlah hasil produksi. Seperti Putra Allah Sendiri, kita adalah makhluk-makhluk yang “diperanakkan, bukan dibuat” dan, karenanya, seorang anak memiliki status dan martabat yang sama dengan orangtuanya.

Dalam fertilisasi in vitro, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan tunduk pada “quality control” dan dibinasakan apabila didapati “cacat”. Dalam taraf paling awal dari keberadaan mereka, anak-anak ini sepenuhnya tunduk pada pilihan sewenang-wenang dari mereka yang mengadakannya. Dalam kata-kata Donum Vitae: “Hubungan antara pembuahan in vitro dan penghancuran yang disengaja embrio-embrio insani terlalu sering terjadi. Hal ini sungguh perlu diperhatikan: Dengan prosedur ini yang tujuannya rupanya berseberangan, kehidupan dan kematian diserahkan kepada keputusan manusia yang dengan demikian membuat dirinya sesukanya menjadi tuan atas hidup dan mati.” Dokumen ini berbicara mengenai “hak setiap orang untuk dikandung dan dilahirkan dalam perkawinan dan melalui perkawinan.” Dalam dan dari perkawinan; pembuahan haruslah terjadi dari tindakan perkawinan yang oleh kodratnya ditujukan kepada keterbukan penuh kasih kepada kehidupan, bukan dari tindakan manipulasi para ahli medis.

Aspek pelecehan manusia dari sebagian prosedur-prosedur ini jelas nyata dalam istilah itu sendiri yang berkenaan dengannya, yakni “industri teknologi reproduksi”. Anak-anak disebut sebagai “produk” pembuahan. Ciri khas fertilisasi in vitro adalah perlakuannya terhadap anak-anak, dalam tahap paling awal keberadaan mereka, yang tidak dianggap sebagai manusia.    


KLONING

Sebagai kelanjutan dari laporan-laporan mengenai kloning domba “Dolly” di Skotlandia, terjadilah peningkatan spekulasi mengenai kloning manusia. Kloning adalah suatu prosedur rumit di mana nukleus dari sel telur dikeluarkan dan diganti dengan nukleus dari sel somatik tubuh, misalnya sel kulit. Sel telur tersebut kemudian diberi aliran listrik dengan kondisi khusus hingga tumbuh menjadi manusia yang identik dengan sel asalnya.

Belum ada seorang pun yang dihasilkan melalui kloning, tetapi banyak ilmuwan yakin bahwa ini hanya tinggal soal waktu saja.

Ada banyak alasan mengapa orang berupaya untuk menghasilkan suatu kehidupan manusia baru melalui kloning. Namun, tak satu pun yang secara moral dapat dibenarkan. Sebagai contoh, suatu pasangan berkehendak untuk mempergunakan suatu sel dari anaknya yang di ambang ajal untuk mengkloning seorang bayi lain sebagai suatu cara untuk “menghidupkan” kembali anaknya. Jelas, ini bukanlah suatu kelanjutan hidup dari anak yang di ambang ajal itu, melainkan mengadakan seorang anak yang baru. Anak yang di ambang ajal itu akan menjadi “leluhur” dari suatu kehidupan baru tanpa ia sendiri menyetujuinya; anak yang baru tidak akan diperlakukan sebagai suatu pribadi yang unik dengan identitasnya sendiri, melainkan sebagai kelanjutan dari suatu pribadi lain.

Seorang, entah laki-laki ataupun perempuan, mungkin berkehendak mendapatkan seorang bayi tanpa harus menikah atau terlibat dengan seorang lain dari lawan jenis. Sebagian mereka yang homoseksual mengatakan bahwa kloning akan merupakan suatu cara sempurna untuk mendapatkan anak, sebab mereka tidak harus menikahi seorang lain dari lawan jenis. Hal ini akan sungguh tidak adil bagi si anak, merenggutnya dari seorang ayah dan ibu alami.

Sebagian lainnya berkeinginan untuk mengkloning diri mereka sendiri, sebab beranggapan bahwa diri mereka begitu cerdas dan hebat sehingga seorang anak dengan sifat-sifat yang mereka miliki akan menjadi suatu anugerah besar bagi masyarakat. Hal ini merupakan suatu tindakan yang sama sekali egois, yang akan juga merenggut anak dari seorang ayah dan seorang ibu. Dalam mengantisipasi bahwa suatu hari kelak kloning manusia mungkin akan diupayakan, Donum Vitae mengatakan, “Juga percobaan dan hipotese yang bermaksud membuahkan manusia tanpa kaitan dengan seksualitas melalui apa yang disebut `pembelahan anak kembar', kloning atau parthenogenese harus dipandang bertentangan dengan hukum moral, karena bertentangan dengan martabat prokreasi insani dan sanggama.”

Yang paling mengerikan dari semua itu, sebagian peneliti hendak mempergunakan kloning untuk membuat manusia semata-mata demi eksperimen dan pembinasaan. Mereka bermaksud menyediakan suplai jaringan-jaringan tubuh yang sesuai secara genetik untuk menangani berbagai macam penyakit, dengan cara membuat embrio-embrio manusia dari sel tubuh pasien, kemudian memanipulasi embrio-embrio yang berkembang ini demi suplai “spare part” mereka. Sebagian bahkan berbicara mengenai mengembangkan kloning-kloning manusia yang secara genetik “tanpa kepala” atau “tanpa otak” sebagai gudang organ tubuh; mereka beragumentasi bahwa makhluk-makhluk yang demikian dapat dieksploitasi demi kebutuhan organ-organ tubuh sebab makhluk-makhluk itu tidak memiliki status sebagai “pribadi”.


INTERVENSI YANG DAPAT DITERIMA SECARA MORAL UNTUK MENGATASI KETIDAKSUBURAN

Sejumlah intervensi yang diperkenankan secara moral dapat dipergunakan untuk mengatasi ketidaksuburan. Sebagai contoh, operasi dapat dilakukan untuk mengatasi penyumbatan tuba dalam sistem reproduksi laki-laki atau perempuan, yang menghalangi terjadinya pembuahan. Obat-obatan fertilitas juga dapat dipergunakan, dengan peringatan bahwa kehamilan kembar banyak dapat membahayakan ibu dan bayi-bayinya. Ada pula banyak cara mengenali ritme reproduksi alami demi memperpesar kemungkinan terjadinya kehamilan. Institut Paus Paulus VI di Creighton University di Omaha, Nebraska telah berhasil gemilang dalam membantu pasangan-pasangan mengatasi ketidaksuburan dengan mempergunakan metoda-metoda alami.

Sebagian besar teolog menganggap prosedur yang dikenal sebagai LTOT, atau Lower Tubal Ovum Transfer, secara moral diperkenankan. LTOT menyangkut memindahkan telur istri melewati penyumbatan dalam tuba fallopi (= saluran telur) sehingga tindakan perkawinan dapat menghasilkan kehamilan. Suatu metoda lain, yang secara moral lebih kontroversial, disebut GIFT, atau Gamete Intra-Fallopian Transfer. GIFT menyangkut mendapatkan sperma suami dari tindakan perkawinan dan mengambil sebuah telur dari ovarium isteri. Telur dan sperma ditempatkan dalam suatu tabung kecil dengan dipisahkan oleh suatu gelembung udara, isi tabung kemudian disuntikkan ke dalam tuba fallopi isteri dengan harapan akan terjadi pembuahan. Sebagian teolog menganggap ini sebagai pengganti tindakan perkawinan, dan karenanya amoral. Sebagian teolog lainnya menganggap GIFT sebagai suatu cara dalam membantu tindakan perkawinan, dan karenanya diperkenankan. Karena otoritas mengajar Gereja - Paus dan para uskup - belum memberikan penilaian perihal GIFT, maka pasangan-pasangan Katolik bebas untuk memilih ataupun menolaknya sesuai dengan bimbingan hati nurani masing-masing. Tetapi apabila di kemudian hari otoritas mengajar Gereja menilai prosedur ini sebagai amoral, GIFT hendaknya tidak lagi dipergunakan.

Gereja menaruh belas kasih yang besar kepada mereka yang menderita ketidaksuburan. Namun demikian, demi kasih kepada segala hidup manusia dan hormat terhadap integritas hubungan perkawinan, Gereja mengajarkan bahwa sebagian sarana untuk mengupayakan terjadinya kehamilan adalah tidak licit. Sebagian dari sarana-sarana ini sesungguhnya mencakup pembinasaan hidup manusia yang tidak berdosa, atau memperlakukan hidup manusia sebagai sarana bagi suatu tujuan atau suatu “hasil produksi”. Sarana-sarana ini sungguh melanggar martabat pribadi manusia.

Di Amerika, kita memiliki kecenderungan untuk berpikir bahwa kita dapat mengatasi segala masalah dengan “teknologi” yang tepat. Tetapi, anak-anak tidak dihasilkan oleh teknologi atau diproduksi oleh suatu industri. Anak haruslah berasal dari tindakan kasih antara suami dan isteri, dalam kerjasama dengan Tuhan. Tak seorang manusia pun dapat “menciptakan” gambar dan citra Allah. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan bahwa manusia adalah “rekan kerjasama” Allah dalam penciptaan. Anak adalah buah dari tindakan kerjasama di antara suami, isteri, dan Tuhan Sendiri. Sebagai kesimpulan akhir, anak-anak seharusnyalah diperanakkan, bukan dibuat.


* Dr. Haas is President of the National Catholic Bioethics Center, Boston, Massachusetts and a consultant to the NCCB Committee for Pro-Life Activites.
sumber : “Begotten Not Made: A Catholic View of Reproductive Technology” by by John M. Haas, Ph.D., S.T.L.
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”