YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Pembatalan Perkawinan = Perceraian Katolik?
oleh: Romo William P. Saunders *


Seorang teman Protestan bertanya mengenai pembatalan perkawinan, dan setelah mendengarkan penjelasan saya, ia berkata, “Kedengarannya seperti perceraian Katolik.” Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Annandale

Sebelum membahas masalah pembatalan perkawinan, pertama-tama haruslah kita memiliki pemahaman yang jelas mengenai perkawinan. Ketika orang-orang Farisi mempertanyakan perihal perceraian kepada Tuhan kita, Ia menjawab, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:3-6). Berdasarkan ajaran ini, kita orang-orang Katolik yakin bahwa ketika seorang laki-laki yang dibaptis Kristiani secara sukarela menikahi seorang perempuan yang dibaptis Kristiani, mereka membentuk suatu ikatan sakramental yang tak terceraikan. Jadi, baik perkawinan itu menyangkut dua orang yang dibaptis Katolik, atau dua orang yang dibaptis Protestan, atau dua orang yang dibaptis Orthodox, atau kombinasi di antaranya, maka perkawinan dua orang yang dibaptis Kristiani merupakan suatu sakramen. Ikatan sakramental yang tak terceraikan ini dinyatakan dalam Janji Perkawinan yang saling mereka ikrarkan, “Di hadapan Romo, para saksi, saya … menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa … yang hadir di sini, mulai sekarang menjadi isteri (suami) saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil suci ini” (Ritus Perkawinan). Ikrar ini mengungkapkan kasih yang tetap, eksklusif, setia, saling berkurban dan memberi hidup.  

Di samping itu, janganlah kita pernah lupa bahwa perkawinan adalah sungguh suatu sakramen. Tuhan Sendiri menganugerahkan kepada pasangan rahmat untuk hidup dalam perkawinan. Dengan berpaling kepada Tuhan setiap hari dan memohon pertolongan-Nya, dengan bersukacita dalam rahmat berkat tak terhitung yang saling mereka bagi bersama, pula saling berbagi salib mereka dengan-Nya, suami dan isteri akan memiliki perkawinan yang kokoh. Baru-baru ini, ayah seorang sahabat meninggal dunia; ia telah mengarungi bahtera perkawinan bersama isterinya selama 66 tahun. Bayangkan - 66 tahun perkawinan dengan orang yang sama! Pasangan ini menghadapi rutinitas hidup pada umumnya - perang dan damai, kesulitan dan kesejahteraan ekonomi, kesehatan dan penyakit; mereka mengalami menguburkan salah seorang dari anak kandung mereka sendiri; mereka menghadapi permasalahan pribadi maupun keluarga. Namun demikian, mereka memiliki iman yang kuat dalam Tuhan dan kepercayaan satu sama lain. Mereka tidak pernah kehilangan keyakinan pada janji perkawinan mereka. Iman dan rahmat Tuhan membuat perkawinan mereka kokoh. Orang dapat dengan jujur melihat bahwa “mereka berdua telah menjadi satu”.

Meski demikian, sayangnya, perceraian memang terjadi. Statistik menunjukkan bahwa 50 persen dari seluruh perkawinan di Amerika Serikat berakhir dengan perceraian dalam masa lima tahun perkawinan. Pengadilan negara memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian, bukan sebagai suatu sakramen. Dekrit perceraian menetapkan hak-hak bagi kedua belah pihak, dan sekarang secara sah, mereka yang bercerai dapat menikah kembali secara sipil. Namun demikian, di mata Tuhan dan Gereja, suatu perkawinan yang secara sakramental tak terceraikan telah terjadi, “Perkawinan mendapat perlindungan hukum; karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya” (Kitab Hukum Kanonik, No. 1060). Orang tak dapat menyangkal bahwa pasangan telah saling bertukar janji perkawinan di hadapan Tuhan, keluarga dan sanak saudara, teman dan sahabat, dan sungguh di hadapan segenap Gereja; dan mereka yang menjadi saksi sungguh beranggapan bahwa janji perkawinan saling diucapkan secara sukarela dan tulus - “hingga maut memisahkan kita”. Sebab itu, tak seorang pun dapat berpura-pura bahwa perkawinan itu tidak pernah terjadi dan karenanya bebas menikah kembali.

Karena janji perkawinan saling dipertukarkan di hadapan publik dan berarti “hingga maut memisahkan kita”, maka haruslah ada suatu pernyataan publik yang memaklumkan bahwa janji perkawinan itu tidak mengikat. Gereja dengan tulus berusaha membantu individu-individu yang menderita tragedi perceraian sembari pula menjunjung tinggi ajaran Tuhan kita. Seorang yang bercerai dapat mohon kepada Gereja untuk meninjau kembali perkawinan dan menyelidiki apakah suatu kesepakatan yang sepenuhnya dan sukarela (semaksimal yang dapat diberikan seorang) saling dipertukarkan pada saat perkawinan. Kitab Hukum Kanonik menyatakan bahwa “Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali” (No. 1057.2). Apabila Gereja mendapati adanya suatu cacat dalam kesepakatan pada saat perkawinan, maka suatu Pernyataan Pembatalan Perkawinan akan diberikan. Pernyataan Pembatalan Perkawinan memaklumkan bahwa salah satu atau kedua belah pihak tidak (tidak dapat) memberikan kesepakatan yang sepenuhnya dan sukarela, dan karenanya tidak ada ikatan sakramen yang tak terceraikan. Ya, upacara memang ada, tetapi tidak ada sakramen.

Dalam menyelidiki kasus-kasus ini, Pengadilan Gereja dengan cermat memeriksa keadaan pasangan pada masa perkawinan: usia dan tingkat kedewasaan; adanya pola penyalahgunaan alkohol, obat-obatan atau lainnya; adanya kekejaman secara fisik atau emosional dalam sejarah pribadi dan dalam hubungan mereka; adanya praktek penyimpangan seksual; perselingkuhan; kondisi seputar perkawinan; keterbukaan mereka terhadap anak-anak; adanya sejarah masalah psikologis yang serius atau penyakit mental; adanya perkawinan sebelumnya atau usaha untuk menikah; dan kemampuan untuk masuk ke dalam suatu persatuan yang tetap, setia dan eksklusif. Dalam menyelidiki keadaan-keadaan ini dan bagaimana dampaknya terhadap kemampuan pasangan untuk memberikan suatu kesepakatan yang sepenuhnya dan sukarela, Pengadilan melihat hubungan pasangan selama masa berpacaran, pada masa perkawinan dan hidup mereka dalam perkawinan. Pengadilan juga akan menghubungi saksi-saksi yang mengenal pasangan sepanjang kerangka waktu di atas, dan meminta mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu. Pada intinya, Pengadilan berusaha untuk berbelas kasih dan adil. Di samping itu, segala prosedur dilakukan secara sangat rahasia.

Memang, mendapatkan Pernyataan Pembatalan Perkawinan tidaklah mudah. Prosesnya menyangkut dokumentasi dan wawancara-wawancara yang sungguh membangkitkan kenangan-kenangan yang menyakitkan. Prosesnya juga dapat berlangsung selama duabelas bulan atau lebih, oleh sebab banyaknya kasus yang harus ditangani Pengadilan. Namun demikian, segala proses itu sungguh mendatangkan penyembuhan dan mengakhiri masa lalu yang menyakitkan. Di samping itu, andai dikabulkan, maka Pernyataan Pembatalan Perkawinan mendatangkan kebebasan bagi orang yang sekarang dapat masuk ke dalam suatu perkawinan baru dengan bebas.

Terkadang orang bertanya, “Jika suatu perkawinan dinyatakan batal, apakah ini menjadikan anak-anak mereka tidak sah?” Pernyataan Pembatalan Perkawinan sekedar menyatakan bahwa perjanjian perkawinan tidak ada sejak dari awal, dan sebab itu kedua pihak sekarang bebas untuk menikah. Pernyataan Pembatalan Perkawinan tidak memiliki dampak sipil terhadap legitimasi anak-anak.

Pertanyaan lain muncul sehubungan dengan status seorang-yang-bercerai dalam Gereja. Karana perceraian menyangkut keputusan sipil oleh negara dan tidak diakui oleh Gereja, maka seorang-yang-bercerai tetap dalam kedudukan yang baik dan dapat menyambut sakramen-sakramen. Namun demikian, jika seorang yang bercerai itu menikah kembali tanpa Pernyataan Pembatalan Perkawinan, maka secara tegas saya katakan, suatu tindak perzinahan telah dilakukan: sebab perkawinan yang pertama masih diakui sebagai sah; menikah kembali tanpa pembatalan perkawinan menempatkan orang dalam keadaan dosa berat dan menjauhkannya dari Komuni Kudus. Oleh karena itu, Gereja mendorong seorang yang bercerai, yang berharap suatu hari dapat menikah kembali, untuk segera menemui imam paroki dan mengurus proses pembatalan perkawinan.

Gereja sungguh amat berhati-hati dalam menangani proses pembatalan perkawinan ini. Pada tahun 1968, 338 pembatalan perkawinan dikabulkan di Amerika Serikat; pada tahun 1995, 54.013 dikabulkan. (Pernyataan Pembatalan Perkawinan sebanyak 73.108 diberikan kepada Gereja di seluruh dunia, menunjukkan jumlah yang tidak proporsional di Amerika Serikat). Jangan pernah Gereja memberikan kesan bahwa proses pembatalan perkawinan hanya sekedar suatu permainan yang membebani, stempel sana sini, pergi dari satu meja ke meja lainnya, yang pada akhirnya menghantar orang pada kepastian mendapatkan pembatalan perkawinan. Tidak ada jaminan yang demikian. Janganlah pernah satu pasangan pun masuk ke dalam perkawinan dengan pemikiran, “Baiklah, jika ini tidak cocok, aku akan dapat selalu membatalkannya.” Sebaliknya, haruslah kita mengajarkan serta menjunjung tinggi bahwa perkawinan adalah untuk seumur hidup. Pasangan-pasangan sepatutnya didorong untuk mempersiapkan diri secara rohani untuk memasuki Sakramen Perkawinan dan menjadikan perkawinan mereka suatu perkawinan yang berpusat pada Kristus.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Annulment: A Catholic Divorce?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”