YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Memilih Wali Baptis yang Tepat
oleh: Romo William P. Saunders *


Apakah yang melatarbelakangi perlunya wali baptis dan bagaimanakah ketentuan Gereja mengenai seorang wali baptis? Saya mengalami kesulitan dalam menemukan wali baptis yang tepat bagi bayi saya yang baru lahir.
~ seorang pembaca HERALD

Peran wali baptis dalam Pembaptisan berawal dari peran penjamin dalam katekumenat, yang berasal dari masa Gereja perdana. Patut diingat bahwa hingga tahun 313, Gereja berada dalam penganiayaan Kekaisaran Romawi dan harus berhati-hati dalam menangani segala hal demi mencegah menyusupnya kaum kafir dan penganiaya. Juga, hingga Abad Pertengahan, Sakramen-Sakramen Inisiasi - Baptis, Penguatan dan Ekaristi - diterimakan sekaligus. Jadi, peran penjamin adalah untuk menjamin ketulusan calon, pada umumnya orang dewasa, yang mohon diperkenankan masuk ke dalam Gereja, sekaligus untuk membantu calon sepanjang katekumenat yang diadakan demi mempersiapkan diri untuk menerima sakramen-sakramen ini, dan membantu calon untuk mengamalkan hidup kristiani. Dalam Baptis Bayi, para penjamin ini juga menyatakan Pengakuan Iman atas nama anak, dan menerima tanggung jawab untuk membimbing anak dalam iman, teristimewa apabila orangtuanya tak dapat memenuhi kewajiban ini. Sekitar tahun 800, ketika baptis bayi menjadi norma, penjamin yang demikian disebut “patrinus” atau “bapa baptis”. Seturut tradisi, kita menyebut penjamin seorang kanak-kanak dalam Pembaptisan sebagai “wali baptis” - “bapa baptis” atau “ibu baptis”; namun demikian, istilah teknisnya tetap “penjamin”.

Menurut Kitab Hukum Kanonik, “Calon baptis sedapat mungkin diberi wali baptis, yang berwajib mendampingi calon baptis dewasa dalam inisiasi kristiani, dan mengajukan bersama orangtua calon baptis bayi untuk dibaptis, dan juga wajib berusaha agar yang dibaptis hidup secara kristiani yang sesuai dengan baptisnya serta memenuhi dengan setia kewajiban-kewajiban yang melekat pada baptis itu” (No. 872). Pernyataan ini dengan jelas menunjukkan asal historis dari peran penjamin.

Untuk menjadi seorang penjamin, seorang harus ditunjuk oleh calon baptis atau orangtuanya atau oleh orang yang mewakili mereka, atau bila mereka itu tidak ada, oleh pastor paroki atau palayan baptis. Penjamin tidak hanya cukup memiliki niat untuk menjadi seorang penjamin, melainkan harus juga memiliki kecakapan untuk melaksanakan tugas itu. Penjamin harus telah berumur genap enambelas tahun, kecuali jika umur lain ditentukan oleh Uskup diosesan, atau pastor paroki ataupun pelayan baptis menilai bahwa kekecualian atas alasan wajar dapat diterima. Penjamin harus seorang Katolik yang telah menerima Sakramen Penguatan dan Sakramen Ekaristi Mahakudus “lagipula hidup sesuai dengan iman dan tugas yang diterimanya.” Di samping itu, penjamin tidak dijatuhi atau dinyatakan ternoda oleh suatu hukuman kanonik. Idealnya, penjamin dalam Pembaptisan juga menjadi penjamin dalam Penguatan. Penting dicatat bahwa ayah atau ibu dari calon yang dibaptis tidak dapat menjadi penjamin. Perlu dicatat juga bahwa persyaratan yang sama berlaku pula bagi penjamin dalam Penguatan. (Bdk Kitab Hukum Kanonik, No. 874)

Secara tegas, seorang yang dibaptis hanya membutuhkan satu penjamin dalam Pembaptisan - laki-laki atau perempuan, tetapi boleh juga dua penjamin, biasanya satu laki-laki dan satu perempuan. Di sini Kitab Hukum Kanonik hendak menghapuskan praktek memiliki banyak penjamin, seperti yang terjadi di beberapa tempat (No. 873). Juga, dalam keadaan darurat, misalnya bahaya kematian, penjamin dapat ditiadakan.

Di sini kita perlu berhenti sejenak untuk mencari tahu dengan jelas siapakah yang memiliki kualifikasi sebagai seorang wali baptis Katolik. Seorang Katolik yang tidak mengamalkan iman dengan secara teratur ikut ambil bagian dalam Misa, atau yang berada dalam perkawinan yang tidak sah secara Katolik, membuat dirinya sndiri tidak layak menjadi seorang wali baptis. Juga, apabila seorang beragama Katolik tetapi menentang imannya, misalnya memiliki sikap “Aku seorang Katolik, tetapi …,” dan dengan demikian bukanlah seorang teladan dan saksi iman yang baik, juga membuat dirinya tidak layak. Apabila seorang tidak berjuang untuk menunaikan kewajibannya sendiri dalam Pembaptisan dan Penguatan, maka tidaklah mungkin ia akan menunaikan tanggung jawab untuk membantu orang lain melakukannya.

Sebagai seorang pastor, saya sungguh bingung setiap kali orang datang ke kantor pastoran dan meminta saya menandatangani suatu surat keterangan yang mentayakan bahwa ia adalah seorang Katolik yang taat sementara saya tidak mengenalinya, ia tidak terdaftar dalam paroki dan ia tidak secara rutin ikut ambil bagian dalam Misa. Demi keadilan, saya tidak dapat memenuhi permintaan yang demikian.

Para orangtua hendaknya berusaha mendapatkan orang-orang Katolik yang saleh sebagai wali baptis anak-anak mereka. Sayangnya, tugas ini dapat menjadi sangat sulit pada jaman sekarang ini. Yang terbaik adalah mendapatkannya di antara sanak saudara, bahkan kakek nenek, yang memiliki hubungan darah dengan si anak dan senantiasa memelihara iman mereka. Sahabat dekat juga baik, tetapi kadang kala persahabatan berakhir, meninggalkan si anak tanpa seorang wali baptis yang aktif. Para wali baptis hendaknya adalah orang-orang yang saleh, yang siap sedia untuk menerima tanggung jawab menjadi bagian dari hidup anak baptis sepanjang hidupnya.

Bagaimana jika seorang menghendaki seorang Protestan sebagai penjamin? Secara teknis, hanya orang-orang Katolik yang dapat menjadi wali baptis atau penjamin. Namun demikian, seorang Kristen dari denominasi lain, entah Orthodox atau Protestan, dapat menjadi seorang “saksi Kristiani” (= saksi baptis) dalam Pembaptisan bersama dengan wali baptis Katolik. Alasan bagi pembedaan dan pembatasan ini adalah bahwa wali baptis tidak hanya memikul tanggung jawab atas pendidikan religius dan perkembangan rohani dari orang yang dibaptis, melainkan ia juga mewakili Gereja, yaitu komunitas iman, ke dalam mana seseorang dibaptis. Seorang Kristen non-Katolik, betapapun mungkin kudusnya dia, tidak dapat sepenuhnya menjadi saksi atas keyakinan Gereja Katolik. Demikian pula sebaliknya, seorang Katolik hanya dapat menjadi saksi Kristiani bagi seorang yang dibaptis masuk ke dalam gereja Kristen denominasi lain.

Pada intinya, wali baptis menempati peran istimewa dalam hidup orang yang dibaptis. Sebab itu, setiap orangtua hendaknya memilih wali baptis bukan hanya karena hubungan darah atau persahabatan belaka; melainkan seorang wali baptis haruslah seorang saksi iman yang dapat diandalkan, yang akan membantu anak baptis dalam mencapai keselamatan.

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Selecting the Right Godparents” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”