YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Suara Gembala   |   Warta eRKa   |   Yang Menarik & Yang Lucu   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Kerahiman Ilahi Dalam Jiwaku

BUKU CATATAN I


    PESTA SANTA PERAWAN MARIA BERBELAS KASIH

5 Agustus 1933. Hari ini aku menerima suatu rahmat yang agung dan tak terselami, suatu rahmat batin yang murni, yang untuknya aku akan bersyukur kepada Tuhan sepanjang hidup ini dan sepanjang kekekalan masa…

Yesus mengatakan padaku bahwa aku paling menyenangkan hati-Nya apabila aku merenungkan dukacita Sengsara-Nya; dengan meditasi ini banyak pencerahan dicurahkan ke dalam jiwa. Ia yang ingin belajar kerendahan hati sejati hendaknya merenungkan Sengsara Yesus. Sementara aku merenungkan Sengsara Yesus, aku mendapatkan pemahaman yang lebih jelas akan banyak hal yang sebelumnya tak dapat aku mengerti. Aku ingin menyerupai Engkau, ya Yesus, - Engkau yang disalibkan, yang dianiaya dan yang dihinakan. Yesus, ukirlah dalam hati dan jiwaku, kerendahan hati-Mu Sendiri. Aku mengasihi Engkau Yesus, hingga gila, Engkau yang dihancur-remukkan oleh sengsara seperti digambarkan oleh nabi (bdk Yesaya 53:2-9), seolah orang tak dapat mengenali rupa manusia dalam Engkau oleh sebab dahsyat sengsara-Mu. Dalam keadaan-Mu seperti inilah, ya Yesus, aku mengasihi Engkau hingga gila. Ya Allah yang kekal dan mahakuasa, apakah yang telah ditimpakan kasih atas-Mu? …

11 Oktober 1933 - Kamis. Aku berusaha berdoa Jam Suci, tetapi aku memulainya dengan susah payah. Suatu hasrat tertentu mulai mencabik-cabik hatiku. Akal budiku begitu suram hingga bahkan tak dapat kupahami bentuk-bentuk doa yang paling sederhana sekalipun. Demikianlah berlalu satu jam doa; atau tepatnya pergulatan. Aku memutuskan untuk terus berdoa hingga jam yang kedua, namun penderitaan batinku semakin bertambah - kekeringan dan keputusasaan hebat. Aku memutuskan untuk terus berdoa hingga jam yang ketiga. Pada jam yang ketiga, di mana aku memutuskan untuk berlutut tanpa bantalan, tubuhku mulai menuntut istirahat. Tetapi, aku sama sekali tak menghiraukannya. Aku merentangkan kedua tanganku dan, walau tanpa sepatah kata pun, aku bertahan dalam kehendak belaka. Sejenak kemudian, aku melepaskan cincin dari jariku dan meminta Yesus untuk melihat cincin itu, tanda persatuan kekal di antara kami dan aku mempersembahkan kepada-Nya segala perasaan yang ada padaku pada hari kaul kekal. Beberapa saat sesudahnya, aku merasa hatiku dibanjiri suatu gelombang kasih. Kuasa roh yang tiba-tiba; akal budi beristirahat; dan kehadiran Tuhan merasuki jiwaku. Aku hanya tahu ini: Yesus dan aku. Aku melihat-Nya seperti Ia menampakkan diri segera setelah kaul kekalku, kala aku juga sedang berdoa Jam Suci. Sekonyong-konyong Yesus berdiri di hadapanku, telanjang, sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka, mata-Nya basah oleh airmata dan darah, wajah-Nya rusak dan penuh ludah. Lalu Tuhan berkata kepadaku, “Mempelai perempuan haruslah serupa dengan Pengantin-nya.” Aku memahami benar perkataan ini hingga sedalam-dalamnya. Tak diragukan lagi; keserupaanku dengan Yesus haruslah melalui penderitaan dan kerendahan hati. “Lihatlah apa yang telah menimpa-Ku oleh karena kasih kepada jiwa-jiwa manusia. Puteri-Ku, dalam hatimu Aku menemukan segalanya yang ditolak oleh begitu banyak jiwa bagi-Ku. Hati-Mu adalah peristirahatan-Ku. Seringkali Aku menanti dengan rahmat-rahmat besar hingga akhir doa.”

Suatu ketika, kala aku selesai berdoa Novena kepada Roh Kudus dengan ujud bapa pengakuanku (P Sopocko), Tuhan menjawab, “Aku telah menyatakan dia kepadamu bahkan sebelum para superior mengirimmu ke sini. Seperti engkau bersikap terhadap bapa pengakuanmu, demikianlah Aku akan bersikap terhadapmu. Jika engkau menyembunyikan sesuatu daripadanya, walau rahmat-rahmat-Ku yang terkecil sekali pun, maka Aku juga akan menyembunyikan DiriKu daripadamu, dan engkau akan tinggal seorang diri.” Aku mentaati kehendak Tuhan, dan suatu kedamaian mendalam menguasai jiwaku. Sekarang aku mengerti bagaimana Tuhan membela para bapa pengakuan dan bagaimana Ia melindungi mereka.


    NASEHAT PATER DR. SOPOCKO

Tanpa kerendahan hati, kita tak dapat berkenan kepada Allah. Latihlah ketiga tingkatan kerendahan hati, yaitu, tidak saja orang harus menahan diri dari menjelaskan serta membela diri apabila ditegur sesuatu, melainkan hendaknya ia bersukacita atas penghinaan itu.

Jika hal-hal yang engkau sampaikan kepadaku sungguh berasal dari Allah, maka persiapkanlah jiwamu untuk penderitaan besar. Engkau akan menghadapi pertentangan serta penganiayaan. Mereka akan menganggapmu sebagai seorang yang histeris dan eksentrik, tetapi Tuhan akan mencurahkan rahmat-rahmat-Nya atasmu. Karya-karya Tuhan yang benar selalu menghadapi pertentangan dan ditandai dengan penderitaan. Jika Tuhan hendak menyelesaikan sesuatu, cepat atau lambat Ia akan melakukannya, kendati banyak kesulitan dan hambatan. Sementara itu, dari pihakmu, perlengkapilah dirimu dengan kesabaran yang besar.

Ketika Pater Dr. Sopocko berziarah ke Tanah Suci, Pater Dabrowski, S. J., adalah bapa pengakuan komunitas. Dalam suatu pengakuan ia bertanya apakah aku menyadari tingkat kehidupan (rohani) yang tinggi yang ada dalam jiwaku. Aku menjawab bahwa aku menyadarinya dan tahu apa yang terjadi dalam diriku. Mendengar ini, Pater menjawab, “Janganlah engkau merusakkan apa yang ada dalam jiwamu, Suster, atau mengubah apapun menurut kehendakmu sendiri. Tidak dalam setiap jiwa karunia indah kehidupan rohani yang tinggi dianugerahkan seperti dalam kasusmu, Suster, sebab karunia ini dianugerahkan dalam tingkat yang amat mendalam. Berhati-hatilah untuk tidak menyia-nyiakan rahmat Tuhan yang luar biasa ini; suatu….” (di sini pemikiran terputus).

Namun sebelumnya, imam ini telah membuatku melewati banyak pencobaan. Kala aku mengatakan kepadanya bahwa Tuhan menghendaki hal-hal ini dariku (yaitu lukisan dan penetapan pesta Kerahiman Ilahi, serta pendirian suatu komunitas baru), ia menertawakanku dan menyuruhku untuk datang mengaku dosa pukul delapan malam. Ketika aku datang pada pukul delapan, seorang broeder telah mengunci pintu gereja. Saat kukatakan kepadanya bahwa Pater menyuruhku datang pada waktu itu dan memintanya memberitahu Pater bahwa aku sudah di sana, broeder yang baik itu pergi menyampaikannya. Pater menyuruhnya memberitahukan kepadaku bahwa para imam tidak menerima pengakuan dosa waktu malam demikian. Aku kembali dengan tangan hampa dan tidak pergi mengaku dosa lagi kepadanya, melainkan melakukan adorasi selama satu jam penuh dan melakukan matiraga tertentu untuknya, agar ia dapat memperoleh terang dari Tuhan guna mengenali jiwa-jiwa. Tetapi, karena Pater Sopocko pergi, dan dialah yang menggantikannya, aku terpaksa mengaku dosa kepadanya. Tetapi, jika sebelumnya ia tak bersedia mengenali insirasi-inspirasi batin ini, sekarang ia mewajibkanku untuk setia kepada inspirasi-inspirasi ini. Terkadang, Tuhan membiarkan hal-hal semacam itu terjadi, agar Ia dapat dimuliakan dalam segala hal. Tetapi, dibutuhkan banyak rahmat untuk tidak bimbang dan ragu.


    RETRET TAHUNAN

10 Januari 1934. Yesus-ku, hampir tiba lagi saatnya di mana aku dapat sendiri saja bersama-Mu. Yesus, aku memohon pada-Mu dengan segenap hatiku, nyatakanlah kepadaku apa-apa dalam diriku yang tak menyenangkan hati-Mu dan juga nyatakanlah kepadaku apa-apa yang harus aku lakukan agar lebih menyenangkan hati-Mu. Janganlah menolak permohonanku ini, dan sertailah aku selalu. Aku tahu bahwa tanpa Engkau Tuhan, segala daya upayaku tak banyak berarti. Oh, betapa aku bersukacita atas kebesaran-Mu, ya Tuhan! Semakin aku mengenal-Mu, semakin bernyala-nyala kerinduanku kepada-Mu dan semakin berkobar-kobar hasratku kepada-Mu! Yesus, berilah aku rahmat untuk mengenali diriku sendiri.

Dalam terang ilahi ini aku melihat kelemahan-kelemahan utamaku, yaitu kesombongan dalam bentuk sikapku yang menutup diri dan kurangnya kerendahan hati dalam hubunganku dengan Moeder Superior (Irene).

Terang kedua mengenai hal berbicara. Terkadang, aku terlalu banyak bicara. Suatu hal dapat diselesaikan dengan satu atau dua patah kata sementara aku, aku menghabiskan terlalu banyak waktu untuk itu. Yesus menghendaki aku mempergunakan waktu tersebut untuk mendaraskan doa-doa indulgensi singkat bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Dan Tuhan memperingatkan bahwa setiap kata akan ditimbang pada hari penghakiman.

Terang ketiga mengenai peraturan-peraturan kita. Aku tidak cukup menghindari peristiwa-peristiwa yang dapat membuatku melanggar peraturan, teristimewa dalam hal keheningan. Aku harus bertindak seolah peraturan-peraturan itu ditulis khusus untukku; aku tak peduli bagaimana yang lainnya bertindak, sepanjang aku sendiri bertindak sesuai kehendak Tuhan.

Tekad. Apapun yang Yesus kehendaki dariku sehubungan dengan hal-hal lahiriah, aku akan segera pergi menyampaikannya kepada para superior. Aku harus berjuang untuk bersikap terbuka dan jujur bagaikan seorang kanak-kanak dalam hubunganku dengan superior.

Yesus mengasihi jiwa-jiwa yang tersembunyi. Sekuntum bunga yang tersembunyi justru yang paling harum semerbak. Aku harus berjuang untuk menjadikan lubuk jiwaku tempat peristirahatan bagi Hati Yesus. Pada saat-saat sulit dan menyakitkan, ya Pencipta-ku, aku melantunkan madah kepercayaan kepada-Mu, sebab tak terbataslah kepercayaanku pada-Mu dan pada belas kasih-Mu!

Sejak saat aku mencintai penderitaan, maka penderitaan tak lagi menjadi penderitaan bagiku. Penderitaan adalah santapan jiwaku setiap hari.

Aku tak akan berbicara dengan seorang tertentu, sebab aku tahu bahwa Yesus tak menyukainya dan bahwa dia tak mendapatkan keuntungan darinya.

Di kaki Tuhan. Yesus yang tersembunyi, Kasih yang Kekal, Sumber Hidup kami, Allah yang Gila, hingga Engkau melupakan DiriMu Sendiri dan hanya mengingat kami. Sebelum menciptakan langit dan bumi, Engkau telah membawa kami di kedalaman Hati-Mu. Ya Kasih, ya kedalaman kerendahan hati-Mu, ya misteri kebahagiaan, mengapakah begitu sedikit orang yang mengenal Engkau? Mengapakah kasih-Mu tak berbalas? Ya Kasih Ilahi, mengapakah Engkau menyembunyikan keelokan-Mu? Ya Allah yang mahakuasa melampaui segala pengertian, semakin aku mengenal-Mu semakin aku tak memahami-Mu, semakin mampu aku memahami kebesaran-Mu. Aku tak iri pada Serafim, sebab ada padaku karunia yang lebih besar yang dianugerahkan dalam hatiku. Mereka dengan terpesona mengagumi-Mu, tetapi Darah-Mu bercampur dengan darahku. Kasih adalah surga yang telah dianugerahkan kepada kami di dunia ini. Oh, mengapakah Engkau menyembunyikan Diri dalam iman? Kasih menyingkapkan selubungnya. Tak ada selubung di hadapan mata jiwaku, sebab Engkau Sendiri telah menarikku ke dalam pelukan kasih rahasia untuk selamanya. Pujian dan kemuliaan bagi-Mu, ya Tritunggal Mahakudus yang tak terpisahkan, Allah yang Esa untuk selama-lamanya dan selama-lamanya!

Tuhan menyatakan kepadaku apa itu kasih sejati dan memberiku pencerahan bagaimana, dalam praktek, membuktikannya kepada Tuhan. Kasih sejati kepada Tuhan adalah melaksanakan kehendak Tuhan; menunjukkan kasih kita kepada Tuhan dalam apa yang kita lakukan; segala perbuatan kita, bahkan yang paling remeh sekalipun, haruslah muncul dari kasih kita kepada Tuhan. Dan Tuhan mengatakan kepadaku, “Anak-Ku, engkau paling menyenangkan hatiku dengan menanggung penderitaan. Baik dalam penderitaan jasmani maupun penderitaan mental, Puteri-Ku, janganlah mencari simpati dari makhluk ciptaan. Aku menghendaki wangi penderitaanmu murni dan tak bercela. Aku menghendaki engkau membebaskan diri, bukan saja dari makhluk-makhluk ciptaan, melainkan juga dari dirimu sendiri. Puteri-Ku, Aku ingin bersukacita dalam kasih hatimu, kasih yang murni, yang perawan, tak bercacat, dan tak bercela. Semakin engkau mencintai penderitaan, Puteri-Ku, akan semakin murni kasihmu kepada-Ku.”

Tuhan memerintahkanku untuk merayakan Pesta Kerahiman Ilahi pada hari Minggu pertama sesudah Paskah. (Hal ini aku lakukan) melalui permenungan batiniah dan matiraga lahiriah, mengenakan ikat pinggangku selama tiga jam dan berdoa tanpa henti demi para pendosa dan demi belas kasihan bagi seluruh dunia. Yesus mengatakan kepadaku, “Mata-Ku beristirahat dengan sukacita atas rumah ini pada hari ini.”  

Aku merasa yakin bahwa misiku tak akan berakhir setelah kematianku, melainkan akan dimulai. Wahai jiwa-jiwa yang bimbang, aku akan menyingkapkan bagi kalian selubung surgawi, guna meyakinkan kalian akan kebajikan Tuhan, agar kalian tak lagi terus melukai Hati Yesus yang termanis dengan ketidakpercayaan. Allah adalah Kasih dan Rahim.

Suatu ketika, Tuhan mengatakan kepadaku, “Hati-Ku tergerak oleh belas kasih yang besar kepadamu, anak-Ku terkasih, apabila Aku melihatmu hancur berkeping-keping karena penderitaan hebat yang engkau tanggung dalam menyesali dosa-dosamu. Aku melihat kasihmu, begitu murni dan begitu tulus hingga Aku memberimu tempat utama di antara para perawan. Engkau adalah kehormatan dan kemuliaan Sengsara-Ku. Aku melihat segala kerendahan hati dalam jiwamu, tak satu pun yang lolos dari pengamatan-Ku. Aku mengangkat ia yang rendah hati bahkan ke tahta-Ku sendiri, sebab Aku menghendakinya demikian.”


    ALLAH YANG ESA DALAM TRITUNGGAL MAHAKUDUS

Aku rindu mengasihi Engkau seperti yang belum pernah dilakukan jiwa manusia sebelumnya; dan walau aku sama sekali malang dan rapuh, namun aku memancangkan jangkar kepercayaanku jauh di kedalaman jurang belas kasih-Mu, ya Tuhan dan Pencipta-ku! Kendati kemalanganku yang hebat, aku tak takut apapun, melainkan berharap melantunkan madah kemuliaan bagi-Mu untuk selamanya. Jangan biarkan suatu jiwa, bahkan yang paling malang sekalipun, menjadi korban ketidakpercayaan; sebab, sepanjang orang hidup, ia memiliki kesempatan untuk menjadi seorang kudus yang besar, sebab begitu besarlah rahmat Allah. Yang perlu kita lakukan hanyalah tidak menentang karya Tuhan.

Ya Yesus, andai saja aku dapat menjadi kabut di hadapan mata-Mu, guna menyelimuti bumi, agar janganlah Engkau melihat kejahatan-kejahatannya yang mengerikan. Yesus, apabila aku melihat dunia dan keacuhannya terhadap Engkau, lagi dan lagi airmataku berderai; tetapi, apabila aku melihat jiwa beku seorang religius, maka hatiku berdarah.

1934. Suatu ketika, kala aku kembali ke bilikku, aku begitu penat letih hingga harus beristirahat sejenak sebelum mulai menanggalkan pakaian; dan ketika aku telah menanggalkannya, salah seorang suster memintaku untuk mengambilkan air panas untuknya. Walau teramat capai, cepat-cepat aku berpakaian kembali dan membawakan air yang dimintanya, meski cukup jauhlah jarak dari bilik ke dapur dan lumpur tebalnya semata kaki.

Saat masuk kembali ke dalam bilikku, aku melihat siborium dengan Sakramen Mahakudus, dan mendengar kata-kata berikut, “Ambillah siborium ini dan bawalah ke tabernakel.” Mulanya aku ragu, tetapi kala aku menghampiri dan menjamahnya, aku mendengar kata-kata ini, “Hampirilah masing-masing suster dengan kasih yang sama seperti engkau menghampiri-Ku; apapun yang engkau lakukan bagi mereka, engkau melakukannya bagi-Ku.” Sekejap kemudian aku mendapati bahwa aku seorang diri saja.

Suatu ketika, setelah adorasi demi tanah air, suatu kepiluan mengiris jiwaku, dan aku mulai berdoa demikian, “Ya Yesus yang Maharahim, aku mohon dengan sangat kepada-Mu dengan perantaraan para kudus-Mu dan teristimewa perantaraan BundaMu terkasih yang merawat-Mu sejak masa kanak-kanak: berkatilah tanah airku. Aku mohon pada-Mu, ya Yesus, janganlah pandang dosa-dosa kami, melainkan pandanglah dengan penuh belas kasih airmata kanak-kanak kecil, karena lapar dan dingin yang mereka derita. Yesus, demi anak-anak yang tak berdosa ini, anugerahkanlah berkat yang aku mohon kepada-Mu bagi tanah airku.” Saat itu, aku melihat Tuhan Yesus; mata-Nya berlinangan airmata, kata-Nya kepadaku, “Kau lihat, puteri-Ku, betapa besar kasih sayangku kepada mereka. Ketahui, merekalah yang menopang dunia.”

Yesus-ku, apabila aku melihat kehidupan jiwa-jiwa ini, aku melihat banyak dari antara mereka yang melayani Engkau dengan kurang percaya. Di waktu-waktu tertentu, teristimewa apabila datang kesempatan untuk menyatakan kasih kepada Tuhan, aku melihat mereka melarikan diri dari medan pertempuran. Suatu kali Yesus bertanya kepadaku, “Apakah engkau, anak-Ku, juga akan bertindak demikian?” Aku menjawab Tuhan, “Oh tidak, Yesus-ku, aku tak akan mundur dari medan pertempuran; bahkan jika peluh yang mematikan bercuruan dari keningku, aku tak akan membiarkan pedang terlepas dari tanganku, hingga aku beristirahat di bawah kaki Tritunggal Mahakudus!” Apapun yang kulakukan, aku tidak mengandalkan kekuatanku sendiri, melainkan mengandalkan rahmat Tuhan. Dengan rahmat Tuhan, suatu jiwa dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang terbesar sekalipun.

Suatu ketika, kala aku sedang bercakap-cakap lama dengan Yesus mengenai murid-murid kita, terdorong oleh kebaikan-Nya, aku bertanya, “Adakah di antara murid-murid kami yang merupakan penghiburan bagi Hati-Mu?” Tuhan menjawab (bahwa) ya ada, “Tetapi kasih mereka lemah, maka Aku menempatkan mereka dalam pemeliharaanmu yang khusus - berdoalah bagi mereka.”

Ya Allah yang agung, aku mengagumi kebajikan-Mu! Engkau adalah Tuan atas keluarga surgawi, walau demikian Engkau sudi membungkuk begitu rendah kepada makhluk-makhluk ciptaan-Mu yang malang. Oh, betapa berkobar-kobar kerinduanku untuk mengasihi Engkau dalam setiap detak jantungku! Seluruh isi bumi tidaklah cukup bagiku, surga terlalu kecil, dan ruang yang tak terbatas tiada artinya; hanya Engkau saja yang mencukupiku, ya Allah yang Kekal! Hanya Engkau saja yang dapat mengisi kedalaman jiwaku. Saat-saat yang paling membahagiakanku adalah saat aku sendiri saja bersama Tuhan-ku. Pada saat-saat ini aku merasakan keagungan Tuhan dan kemalanganku sendiri.

Suatu ketika Yesus berkata kepadaku, “Janganlah terkejut apabila terkadang engkau dituduh secara tidak adil. Aku Sendiri telah terlebih dahulu minum dari piala sengsara yang tak sepatutnya ini demi kasih kepadamu.”

Suatu kali, kala aku begitu tergerak oleh pemikiran akan kekekalan dan misteri-misterinya, jiwaku menjadi ketakutan; dan ketika aku merenungkannya lebih lama lagi, aku mulai khawatir karena berbagai macam keraguan. Lalu, Yesus berkata kepadaku, “Anak-Ku, janganlah takut mengenai rumah Bapa-mu. Serahkanlah segala pertanyaan sia-sia ini pada kebijaksanaan dunia. Aku ingin selalu melihatmu sebagai seorang kanak-kanak kecil. Bertanyalah pada bapa pengakuan mengenai segalanya dengan kesahajaan, dan Aku akan menjawab engkau melalui bibirnya.”

Pada suatu kesempatan, aku melihat seorang hendak melakukan dosa berat. Aku memohon pada Tuhan untuk mengirimkan padaku siksa aniaya yang terbesar, agar jiwa itu dapat diselamatkan. Lalu, sekonyong-konyong aku merasakan sengsara dahsyat mahkota duri di kepalaku. Hal ini berlangsung cukup lama, tetapi orang itu tinggal dalam rahmat Tuhan. Ya Yesus-ku, betapa sangat mudah menjadi kudus; yang diperlukan hanyalah sedikit kehendak baik. Jika Yesus melihat sedikit kehendak baik ini dalam jiwa, maka Ia bergegas memberikan DiriNya Sendiri kepada jiwa, dan tak ada suatupun yang akan dapat menghentikan-Nya, baik kelemahan maupun cacat cela - sama sekali tak ada. Yesus sangat antusias dalam menolong jiwa, dan jika jiwa setia pada rahmat Tuhan, jiwa akan segera mencapai tingkat kekudusan tertinggi yang mungkin bagi ciptaan di dunia ini. Tuhan amat murah hati dan Ia tidak mengingkari rahmat-Nya bagi siapa pun. Sungguh, Ia memberi lebih banyak dari yang kita mohon pada-Nya. Kesetiaan pada inspirasi-inspirasi Roh Kudus - itulah jalan tersingkat.

Apabila jiwa mengasihi Tuhan dengan tulus, jiwa tak perlu takut akan suatupun dalam kehidupan rohani. Biarlah jiwa berserah diri pada karya rahmat, hendaknya jiwa tidak membuat penghalang-penghalang dalam dirinya dalam berhubungan dengan Tuhan.

Ketika Yesus memikatku dengan keelokan-Nya dan menarikku kepada-Nya, kemudian aku melihat apa-apa dalam jiwaku yang tak menyenangkan Yesus dan aku bertekad untuk mengenyahkan, apapun pengorbanannya; dan dibimbing oleh rahmat Tuhan, aku sungguh berhasil mengenyahkannya dengan segera. Ketulusan ini menyenangkan Tuhan, dan sejak saat itu Tuhan mulai menganugerahiku rahmat-rahmat yang lebih tinggi. Dalam kehidupan rohani aku tidak pernah memikirkan; aku tidak menganalisa cara-cara yang digunakan Roh Tuhan dalam membimbingku. Cukuplah bagiku untuk mengetahui bahwa aku dikasihi dan bahwa aku mengasihi. Kasih yang murni memampukanku mengenal Tuhan dan memahami banyak misteri. Bapa pengakuan merupakan seorang bijak bagiku. Kata-katanya sakral bagiku - yang aku maksudkan adalah bapa pembimbing rohani (Pater Sopocko).

Suatu ketika Tuhan mengatakan kepadaku, “Bersikaplah bagaikan seorang pengemis yang tidak menolak jika ia mendapatkan derma lebih (daripada yang ia minta), melainkan berterima kasih dengan penuh rasa syukur. Engkau juga, janganlah menolak dan mengatakan bahwa engkau tak layak menerima rahmat-rahmat yang lebih besar jika Aku menganugerahkannya kepadamu; Aku tahu engkau tidak layak; tetapi bersukacitalah dengan terlebih lagi dan ambillah harta pusaka dari Hati-Ku sebanyak yang dapat engkau tampung, sebab dengan demikian engkau akan lebih menyenangkan-Ku. Satu hal lagi Ku-katakan kepadamu: ambillah rahmat-rahmat ini, bukan saja bagi dirimu sendiri, melainkan juga bagi yang lain, yaitu dengan mendorong jiwa-jiwa yang berhubungan denganmu untuk mengandalkan belas kasih-Ku yang tak terhingga. Oh, betapa Aku mengasihi jiwa-jiwa yang sepenuhnya mengandalkan-Ku. Aku akan melakukan segalanya bagi mereka.”

Saat itu Yesus bertanya kepadaku, “Anak-Ku, bagaimana retret berlangsung?” Jawabku, “Tetapi, Yesus, bukankah Engkau tahu bagaimana retret berlangsung?” “Ya, Aku tahu, tetapi Aku ingin mendengarnya dari bibirmu sendiri dan dari hatimu.” “Ya Guru-ku, apabila Engkau membimbingku, segalanya berjalan baik, sebab itu aku mohon pada-Mu Tuhan, janganlah pernah meninggalkanku.” Yesus menjawab, “Ya, Aku akan besertamu selalu, jika engkau senantiasa bagaikan seorang kanak-kanak kecil dan tak khawatir akan apapun. Aku adalah awal bagimu di sini, maka Aku juga akan menjadi akhir bagimu. Janganlah mengandalkan makhluk ciptaan, bahkan dalam hal yang paling remeh sekalipun, sebab hal ini tak berkenan kepada-Ku. Aku ingin sendiri saja dalam jiwamu. Aku akan menganugerahkan terang dan kekuatan pada jiwamu, dan engkau akan belajar dari wakil-Ku bahwa Aku ada dalam engkau, dan bahwa kebimbanganmu akan lenyap bagaikan kabut dihalau sinar matahari.”

Ya Allah yang Mahabaik, aku rindu mengasihi Engkau seperti yang belum pernah dilakukan siapa pun di dunia! Aku rindu menyembah-mu di setiap saat hidupku dan mempersatukan dengan erat kehendakku dengan kehendak-Mu yang kudus. Hidupku bukannya menjemukan ataupun monoton, melainkan penuh warna-warni bagaikan taman bunga-bungaan yang harum semerbak, hingga tak tahu aku bunga manakah yang harus dipetik terlebih dahulu, lili penderitaan atau mawar kasih kepada sesama atau violet kerendahan hati. Aku tak hendak menyebutkan satu persatu harta pusaka ini yang melimpahi hari-hariku. Sungguh suatu rahmat besar mengetahui bagaimana memanfaatkan waktu sekarang.

Yesus, Terang yang Mahatinggi, sudi anugerahilah aku rahmat mengenali diri sendiri, dan tembusilah jiwaku yang gelap dengan terang-Mu, penuhilah jurang jiwaku dengan DiriMu Sendiri, sebab hanya Engkau (….)

Ya Yesus-ku, Jalan, Kebenaran dan Hidup, aku mohon dengan sangat kepada-Mu jagailah aku agar senantiasa dekat pada-Mu, bagaikan seorang bunda mendekap bayinya, sebab, bukan saja aku ini seorang anak yang tanpa daya, melainkan timbunan kemalangan dan ketiadaan belaka.


    MISTERI JIWA. VILNIUS 1934.

Ketika dalam suatu kesempatan bapa pengakuan memintaku untuk menanyakan kepada Tuhan Yesus makna dua berkas sinar dalam lukisan, aku menjawab, “Baik, aku akan menanyakannya pada Tuhan.”             

Pada waktu doa, aku mendengar kata-kata ini dalam diriku, “Kedua sinar itu melambangkan Darah dan Air. Sinar pucat melambangkan Air yang menguduskan jiwa-jiwa. Sinar merah melambangkan Darah yang adalah hidup jiwa-jiwa…. Kedua sinar ini memancar dari kedalaman belas kasih-Ku saat Hati-Ku yang sengsara dibuka oleh sebilah tombak di atas Salib. Kedua sinar ini melindungi jiwa-jiwa dari murka BapaKu. Berbahagialah jiwa yang tinggal dalam naungannya, sebab tangan keadilan Tuhan tidak akan menimpanya. Aku menghendaki hari Minggu pertama sesudah Paskah dirayakan sebagai Pesta Kerahiman Ilahi.

Mintalah hambaku yang setia (Pater Sopocko) agar pada hari ini ia mewartakan kerahiman-Ku ke seluruh dunia; bahwa siapa pun yang menghampiri Sumber Kehidupan pada hari ini akan dianugerahi penghapusan penuh atas dosa dan penghukuman.

Umat manusia tak akan mendapatkan kedamaian hingga ia berpaling dengan penuh kepercayaan kepada belas kasih-Ku.

Oh, betapa banyak Aku menderita karena ketidakpercayaan suatu jiwa! Jiwa yang demikian mengaku bahwa Aku Kudus dan Adil, namun tidak percaya bahwa Aku penuh Belas Kasih dan tidak percaya akan Kebajikanku. Bahkan para setan memuliakan Keadilan-Ku, tetapi tidak percaya akan Kebajikan-Ku.

Hati-Ku bersukacita dalam gelar Kerahiman ini. Wartakanlah bahwa kerahiman adalah sifat Allah yang paling utama. Segala karya tangan-Ku dimahkotai dengan belas kasih.”

Wahai Kasih yang Kekal, aku rindu agar segenap jiwa-jiwa yang Engkau ciptakan mengenal-Mu. Aku ingin menjadi imam, agar aku dapat berbicara tanpa henti mengenai belas kasih-Mu kepada jiwa-jiwa berdosa yang tenggelam dalam keputusasaan. Aku ingin menjadi misionaris dan menghantar terang iman kepada bangsa-bangsa barbar guna memaklumkan Engkau kepada jiwa-jiwa; aku rindu dipakai sehabis-habisnya demi mereka dan mati sebagai martir, seperti Engkau telah wafat bagi mereka dan bagiku. Ya Yesus, aku tahu benar bahwa aku dapat menjadi imam, misionaris, pengkhotbah, dan bahwa aku dapat mati sebagai martir, dengan mengosongkan diri sepenuhnya dan menyangkal diri demi kasih kepada-Mu, ya Yesus, dan kasih kepada jiwa-jiwa baka.

Kasih sejati dapat mengubah hal-hal kecil menjadi besar; hanya kasih yang memberi nilai pada tindakan dan perbuatan kita. Semakin murni kasih kita, semakin sedikitlah nyala api penderitaan dalam diri kita, dan penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan bagi kita; penderitaan akan menjadi sukacita! Dengan rahmat Tuhan, aku telah menerima disposisi batin begitu rupa hingga aku tak pernah merasa sebahagia saat aku menderita bagi Yesus, yang aku kasihi dengan setiap detak jantungku.

Suatu ketika, saat aku menderita hebat, aku meninggalkan pekerjaanku dan melarikan diri pada Yesus, memohon pada-Nya agar memberiku kekuatan. Setelah suatu doa yang amat singkat, aku kembali pada pekerjaanku dengan penuh semangat dan sukacita. Kemudian, salah seorang suster (mungkin Sr Justine) mengatakan padaku, “Pastilah engkau mendapatkan banyak penghiburan hari ini, Suster; engkau tampak begitu berseri-seri. Pastilah Tuhan tak memberimu penderitaan, melainkan penghiburan-penghiburan semata.” “Engkau salah besar, Suster,” jawabku, “sebab semakin aku menderita, justru semakin besar sukacitaku; dan jika aku sedikit menderita, sedikit pula sukacitaku.” Namun demikian, jiwa itu membuatku mengerti bahwa ia tak dapat memahami perkataanku. Aku berusaha menjelaskan kepadanya bahwa apabila kita banyak menderita, kita memiliki banyak kesempatan untuk menunjukkan kepada Tuhan bahwa kita mengasihi-Nya; sebaliknya, apabila kita sedikit menderita, kita memiliki sedikit kesempatan untuk menunjukkan kepada Tuhan kasih kita; dan apabila kita tak menderita sama sekali, kasih kita tidak besar dan tidak pula murni. Dengan rahmat Tuhan, kita dapat mencapai tingkat di mana penderitaan akan menjadi sukacita bagi kita, sebab kasih dapat mendatangkan hal-hal yang demikian dalam jiwa-jiwa yang murni.  

Ya Yesus-ku, satu-satunya pengharapanku, aku bersyukur kepada-Mu atas buku yang telah Engkau buka di hadapan mata jiwaku. Buku itu adalah Sengsara-Mu yang Engkau derita demi kasih kepadaku. Dari buku inilah aku belajar bagaimana mengasihi Tuhan dan jiwa-jiwa. Dalam buku ini ditemukan harta pusaka yang tak habis-habisnya. Ya Yesus, betapa sedikit jiwa-jiwa yang memahami Engkau dalam kemartiran kasih-Mu ini! Oh, betapa dahsyat kobaran api kasih termurni yang membakar Hati-Mu Yang Mahakudus! Berbahagialah jiwa yang dapat memahami kasih Hati Yesus!

Adalah kerinduan hatiku yang terbesar agar jiwa-jiwa mengenali Engkau sebagai kebahagiaan kekal mereka, agar mereka percaya akan kebajikan-Mu dan memuliakan belas kasih-Mu yang tak terhingga.

Aku mohon pada Tuhan untuk menganugerahiku rahmat agar kodrat manusiawiku kebal dan mampu menahan pengaruh-pengaruh yang terkadang berusaha menarikku dari semangat peraturan kita dan dari peraturan-peraturan kecil. Pelanggaran-pelanggaran kecil ini bagaikan kutu-kutu kecil yang berusaha merusak kehidupan rohani dalam diri kita, dan pastilah mereka akan berhasil merusakkannya jika jiwa, walau sadar akan pelanggaran-pelanggaran kecil ini, namun meremehkannya. Aku tak melihat suatupun yang remeh dalam kehidupan religius. Tak mengapa jika terkadang aku menjadi korban kejengkelan dan ejekan, sepanjang semangatku tetap selaras dengan semangat peraturan, kaul dan statuta religius.

Ya Yesus-ku, sukacita hatiku, Engkau tahu hasrat dan kerinduan hatiku. Aku ingin tersembunyi dari pandangan orang bagaikan orang yang hidup, namun tidak hidup. Aku rindu hidup murni bagaikan sekuntum bunga liar; aku rindu kasihku senantiasa tertuju pada-Mu, bagaikan kuntum bunga yang senantiasa terarah pada matahari. Aku rindu harum semerbak dan kesegaran bunga-bunga hatiku senantiasa diperuntukkan bagi-Mu saja. Aku rindu hidup di bawah tatapan ilahi-Mu, sebab Engkau saja yang dapat memuaskanku. Apabila aku bersama-Mu, Yesus, aku tak takut apapun, sebab tak suatupun dapat mencelakaiku.

1934. Suatu ketika dalam Masa Prapaskah, aku melihat seberkas besar terang dan seberkas besar kegelapan di atas biara dan kapel. Aku melihat pertarungan antara dua kekuatan ini….

1934. Kamis Putih. Yesus mengatakan, “Aku menghendaki engkau mempersembahkan dirimu bagi para pendosa, teristimewa bagi jiwa-jiwa yang telah kehilangan pengharapan akan belas kasih Tuhan.”  


    TUHAN DAN JIWA-JIWA. PENYERAHAN DIRI.

Di hadapan langit dan bumi, di hadapan segenap paduan suara malaikat, di hadapan Santa Perawan Maria tersuci, di hadapan segenap kuasa surgawi, aku memaklumkan kepada Allah Tritunggal Mahakudus bahwa pada hari ini, dalam persatuan dengan Yesus Kristus, Penebus jiwa-jiwa, aku dengan senanghati mempersembahkan diriku bagi pertobatan orang-orang berdosa, teristimewa mereka yang telah kehilangan pengharapan akan belas kasih Tuhan. Penyerahan diri ini meliputi kesediaanku menerima, dengan penyerahan diri total pada kehendak Allah, segala penderitaan, ketakutan dan kengerian yang meliputi para pendosa. Sebagai ganti, aku memberikan kepada mereka segala penghiburan yang diterima jiwaku dari persatuanku dengan Tuhan. Singkat kata, aku mempersembahkan segalanya bagi mereka: Misa Kudus, Komuni Kudus, silih, matiraga, doa-doa. Aku tak akan gentar menghadapi pukulan, pukulan keadilan ilahi, sebab aku bersatu dengan Yesus. Ya Tuhan-ku, dengan cara ini aku hendak menjadi silih bagi-Mu demi jiwa-jiwa yang tak percaya akan kebajikan-Mu. Aku berharap melampaui segala pengharapan pada samudera belas kasih-Mu. Ya Tuhan-ku dan Allah-ku, Engkau bagianku - bagianku untuk selama-lamanya; aku tak mendasarkan tindak penyerahan diri ini pada kekuatanku sendiri, melainkan pada kekuatan yang mengalir dari jasa-jasa Yesus Kristus. Setiap hari aku akan mengulangi tindak penyerahan diri ini dengan mendaraskan doa berikut yang telah Engkau Sendiri ajarkan kepadaku, Yesus, “Darah dan Air, yang telah memancar dari Hati Yesus sebagai sumber kerahiman bagi kami, Engkaulah andalanku!”

S. M. Faustina dari Sakramen Mahakudus - Kamis Putih, dalam Misa Kudus, 29 Maret 1934. “Aku ikut ambil bagian dalam Engkau dalam karya penebusan umat manusia. Engkau penghiburanku di saat ajal.”

Ketika aku mendapatkan ijin dari bapa pengakuan (Pater Sopocko) untuk melakukan tindak penyerahan diri, segera aku mengerti bahwa hal ini menyenangkan Tuhan, sebab segera saja aku mulai merasakan pengaruh-pengaruhnya. Dalam sekejap jiwaku menjadi bagaikan suatu jiwa yang kering, penuh sengsara dan gelisah. Segala macam hujat dan kutuk mendera telingaku. Ketidakpercayaan dan keputusasaan menguasai jiwaku. Inilah keadaan orang-orang yang malang, yang aku ambil alih dan timpakan ke atas diriku. Pada mulanya, aku teramat sangat takut dengan hal-hal yang mengerikan ini, tetapi dalam (kesempatan) pengakuan pertama, jiwaku damai kembali.

Suatu kali, ketika aku keluar biara untuk menerima Sakramen Tobat (Gereja St Mikhael), secara kebetulan bapa pengakuanku (Pater Sopocko) yang mempersembahkan Misa. Selang beberapa saat, aku melihat Kanak-kanak Yesus di altar, dengan penuh sukacita dan canda mengulurkan kedua tangan-Nya kepada imam. Tetapi, sesaat kemudian imam mengambil Kanak-kanak yang elok ini dalam tangannya, memecahkan-Nya dan memakan-Nya hidup-hidup. Seketika itu timbul perasaan tidak suka kepada imam karena telah melakukan hal ini kepada Yesus, tetapi segera diberikan pencerahan kepadaku mengenainya dan aku mengerti bahwa imam ini sangat berkenan kepada Allah.

Suatu ketika, kala aku mengunjungi pelukis (Eugene Kazimieroqski) yang melukis gambaran Yesus dan melihat bahwa lukisan itu tidak seagung Yesus, aku merasa sangat sedih, tetapi aku menyembunyikannya dalam lubuk hati. Ketika kami telah meninggalkan rumah sang pelukis, Moeder Superior (Irene) tinggal di kota guna menyelesaikan beberapa masalah, sementara aku pulang ke rumah seorang diri. Segera aku menuju kapel dan banyak mencucurkan airmata. Aku bertanya kepada Tuhan, “Siapakah kiranya yang akan dapat melukis Engkau seagung Engkau sendiri?” Lalu, aku mendengar kata-kata berikut, “Keagungan lukisan ini bukan terletak pada indahnya warna ataupun goresan kuas, melainkan dalam rahmat-Ku.”

Kala aku pergi ke kebun suatu siang, malaikat pelindungku mengatakan, “Berdoalah bagi mereka yang menghadapi ajal.” Maka, seketika itu juga aku mulai mendaraskan rosario bersama para pekerja kebun bagi mereka yang menghadapi ajal. Setelah rosario, kami mendaraskan berbagai macam doa bagi mereka yang di ambang maut. Selesai berdoa, murid-murid mulai berceloteh gembira di antara mereka. Kendati kegaduhan yang mereka timbulkan, aku mendengar kata-kata ini dalam jiwaku, “Berdoalah untukku!” Tetapi, karena tak dapat mengerti perkataan ini dengan baik, aku menjauh beberapa langkah dari para murid, sembari memikirkan siapakah gerangan yang kiranya memintaku untuk berdoa. Lalu, aku mendengar kata-kata ini, “Aku, Suster….” Suster ini berada di Warsawa sementara aku, pada saat itu, berada di Vilnius. “Berdoalah untukku hingga aku memintamu berhenti. Aku sedang menghadapi sakrat maut.” Segera aku mulai berdoa dengan khusuk untuknya, (menghadirkan diri) di hadapan Hati Yesus yang sedang meregang nyawa. Suster tak membiarkanku beristirahat, dan aku terus berdoa dari (pukul) tiga hingga lima sore. Pukul lima, aku mendengar kata-kata, “Terima kasih!” dan aku mengerti bahwa ia telah meninggal dunia. Tetapi, dalam Misa Kudus keesokan harinya, aku terus berdoa dengan khusuk bagi jiwanya. Siang hari, sebuah kartu pos datang mengabarkan bahwa Suster … telah meninggal dunia pada saat dan waktu itu. Aku tahu bahwa tepat pada waktu yang sama itulah ia mengatakan kepadaku “Berdoalah untukku.”               

Bunda Allah, jiwamu dibenamkan ke dalam samudera kepahitan; pandanglah anakmu dan ajarkanlah kepadanya bagaimana menderita dan bagaimana mengasihi sementara menderita. Kokohkanlah jiwaku agar sengsara jangan sampai menghancurkannya. Bunda segala rahmat, ajarilah aku untuk hidup dalam (kuasa) Allah.

Suatu ketika, Bunda Allah mengunjungiku. Ia bersedih hati; matanya terarah ke bawah. Ia membuatku mengerti bahwa ia ingin mengatakan sesuatu, namun demikian, pada saat yang sama, seolah ia tak ingin mengatakannya kepadaku. Kala aku memahami hal ini, aku mulai memohon pada Bunda Allah untuk mengatakannya dan memandangku. Saat itulah, Bunda Maria menatapku dengan seulas senyum yang hangat dan mengatakan, “Engkau akan mengalami penderitaan tertentu karena suatu penyakit dan para dokter; engkau akan juga banyak menderita karena lukisan itu, tetapi janganlah takut akan suatupun.” Keesokan harinya aku jatuh sakit dan menderita hebat, tepat seperti yang dikatakan Bunda Allah kepadaku. Tetapi, jiwaku telah siap menanggung penderitaan. Penderitaan adalah rekan setia hidupku.

Ya Tuhan-ku, ya satu-satunya pengharapanku, aku sepenuhnya mengandalkan Engkau, dan aku tahu bahwa aku tidak akan dikecewakan.

Kerapkali aku merasakan kehadiran Tuhan sesudah Komuni Kudus dalam suatu cara yang istimewa dan nyata. Aku tahu Tuhan ada dalam hatiku. Dan kenyataan bahwa aku merasakan-Nya dalam hatiku tidak mempengaruhiku dalam melakukan tugas kewajiban. Bahkan saat aku menghadapi masalah-masalah yang sangat penting, yang menuntut perhatian penuh, aku tidak kehilangan kehadiran Allah dalam jiwaku, dan aku bersatu erat dengan-Nya. Bersama Dia aku bekerja, bersama Dia aku berekreasi, bersama Dia aku menderita, bersama Dia aku bersukacita; aku hidup dalam Dia dan Dia dalam aku. Aku tak pernah sendirian, sebab Dia selalu menyertaiku. Ia hadir bagiku setiap saat dan waktu. Keakraban kami sungguh teramat mesra, melalui persatuan darah dan hidup.

9 Agustus 1934. Adorasi malam setiap hari Kamis. Aku melakukan adorasi dari pukul sebelas hingga tengah malam. Aku mempersembahkannya demi pertobatan para pendosa yang keras hati, teristimewa mereka yang telah kehilangan pengharapan akan belas kasih Tuhan. Aku merenungkan betapa banyak Tuhan telah menderita dan betapa dahsyat kasih yang telah Ia buktikan kepada kita, sementara itu, pada kenyataannya kita masih tidak mau percaya bahwa Tuhan mengasihi kita begitu rupa. Ya Yesus, siapakah gerangan yang dapat memahami ini? Alangkah menderitanya Juruselamat kita! Bagaimanakah Ia dapat membuktikan kasih-Nya kepada kita, jika bahkan wafat-Nya pun tak dapat meyakinkan kita? Aku mengundang segenap penghuni surga untuk bersatu denganku dalam memohon pengampunan kepada Tuhan atas kedurhakaan jiwa-jiwa tertentu.     

Yesus membuatku tahu betapa doa-doa silih sangat menyenangkan-Nya. Ia mengatakan kepadaku, “Doa yang dipanjatkan oleh suatu jiwa yang rendah hati dan penuh kasih memadamkan murka BapaKu dan mendatangkan samudera rahmat.” Setelah adorasi, tengah perjalanan kembali ke bilikku, aku dikepung oleh sekawanan anjing-anjing hitam raksasa yang melonjak-lonjak dan menyalak ribut, berusaha mencabik-cabikku. Aku tahu bahwa mereka bukan anjing, melainkan setan. Satu di antaranya berbicara penuh murka, “Karena engkau telah merenggut begitu banyak jiwa-jiwa dari kami malam ini, maka kami akan mencabik-cabikmu hingga berkeping-keping.” Aku menjawab, “Jika itu adalah kehendak Allah yang Maharahim, perbuatlah yang kalian kehendaki, aku memang pantas menerimanya, sebab aku adalah yang paling malang dari segenap pendosa, sementara Tuhan senantiasa Kudus, adil dan belas kasih-Nya tak terhingga.” Sebagai tanggapan atas kata-kata ini, para iblis serentak menjawab, “Marilah kita lari, sebab ia tidak sendirian; Yang Mahakuasa bersamanya!” Dan mereka lenyap bagaikan debu, bagaikan deru jalanan, sementara aku meneruskan langkahku ke bilik tanpa suatu gangguan, sembari melanjutkan Te Deum dan merenungkan belas kasih Allah yang tak terhingga dan tak terselami.

12 Agustus 1934. Sakit tiba-tiba - penderitaan maut. Bukan kematian yang menghantar ke kehidupan yang sesungguhnya, melainkan mencicipi penderitaan sakrat maut. Walau menghantar kita pada kehidupan kekal, kematian tetap menakutkan. Tiba-tiba aku jatuh sakit, napasku tersengal-sengal, hanya kegelapan di hadapan mataku, kedua kaki dan tanganku kaku - dan aku tercekik hebat. Bahkan sesaat saja rasa tercekik itu terasa sangat lama…. Juga datang ketakutan yang aneh, kendati kepercayaanku. Aku rindu menerima Sakramen Terakhir, namun sungguh teramat sulit mengakukan dosa-dosaku, walau aku bertekad untuk melakukannya. Orang tidak tahu apa yang ia katakan; tak menyelesaikan suatu perkataan, dan mulai dengan yang lainnya.

Oh, kiranya Tuhan menjauhkan setiap jiwa dari menunda-nunda pengakuan hingga saat-saat terakhir! Aku mengerti kuasa dahsyat dari kata-kata imam yang diucapkan ke atas jiwa orang yang sakit. Kala aku bertanya kepada bapa rohaniku apakah aku akan siap berdiri di hadapan Tuhan dan apakah aku akan dapat tenang, aku menerima jawaban ini, “Engkau akan dapat sepenuhnya tenang, tidak hanya sekarang ini, melainkan setiap kali sesudah pengakuan dosa mingguan.” Alangkah besarnya rahmat ilahi yang menyertai perkataan imam ini. Jiwa merasakan kekuatan dan keberanian menghadapi pertempuran.

Ya Kongregasiku, bundaku, alangkah manisnya hidup dalam engkau, tetapi terlebih lagi manis mati dalam engkau!

Sesudah menerima Sakramen Terakhir, aku merasa jauh lebih baik. Aku tinggal sendiri. Hal ini berlangsung selama setengah jam lamanya, dan lalu datanglah serangan yang lain; tetapi serangan ini tidaklah parah oleh karena campur tangan dokter.

Aku mempersatukan penderitaanku dengan penderitaan Yesus serta mempersembahkannya demi diriku sendiri dan demi pertobatan jiwa-jiwa yang tidak percaya akan kebajikan Tuhan. Sekonyong-konyong, bilikku dipenuhi sosok-sosok hitam yang penuh angkara murka dan dengki kepadaku. Satu dari antara mereka berkata, “Terkutuklah engkau dan Ia yang ada dalam engkau, sebab engkau mulai menyiksa kami bahkan di neraka.” Segera setelah aku mengatakan, “Dan Sabda sudah menjadi daging dan tinggal di antara kita,” sosok-sosok ini lenyap secepat kilat dalam deru.

Hari berikutnya, aku merasa lemah tak berdaya, tetapi aku tak mengalami penderitaan lebih lanjut. Setelah Komuni Kudus, aku melihat Tuhan Yesus seperti aku melihat-Nya dalam salah satu adorasi. Tatapan mata Tuhan menembusi hatiku, dalam dan semakin dalam, bahkan tak setitik debu pun luput dari perhatian-Nya. Aku berkata kepada Yesus, “Yesus, aku pikir Engkau akan membawaku.” Yesus menjawab, “Kehendak-Ku belum sepenuhnya digenapi dalam dirimu; engkau masih harus tinggal di dunia, tetapi tak lama. Aku puas dengan kepercayaanmu, tetapi kasihmu haruslah lebih berkobar. Kasih murni mendatangkan kekuatan bagi jiwa di saat-saat menjelang ajal. Saat Aku dalam sakrat maut di atas salib, Aku tidak memikirkan DiriKu Sendiri, melainkan para pendosa yang malang, dan Aku berdoa bagi mereka di hadapan BapaKu. Aku menghendaki saat-saat terakhirmu sepenuhnya serupa dengan saat-saat terakhir-Ku di atas salib. Hanya ada satu harga dengan mana jiwa-jiwa ditebus, yaitu dengan penderitaan yang dipersatukan dengan Sengsara-Ku di atas salib. Kasih murni memahami perkataan ini; kasih duniawi tak akan pernah memahaminya.”

1934. Pada hari Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, aku tidak ikut ambil bagian dalam Misa Kudus; ibu dokter tak mengijinkan. Tetapi, aku berdoa dengan khusuk dalam bilikku. Tak lama berselang, aku melihat Bunda Allah, sungguh cantik rupawan tak terlukiskan. Ia berkata kepadaku, “Putri-Ku, yang aku minta darimu adalah doa, doa dan sekali lagi doa, bagi dunia dan teristimewa bagi tanah airmu. Selama sembilan hari berturut-turut terimalah Komuni Kudus sebagai silih dan persatukanlah dirimu erat-erat dengan Kurban Kudus Misa. Selama sembilan hari ini engkau akan berdiri di hadapan Allah sebagai kurban persembahan; senantiasa dan di mana pun; sepanjang waktu dan di segala tempat, baik siang maupun malam, apabila engkau terjaga, berdoalah dalam roh. Dalam roh orang dapat senantiasa tinggal dalam doa.”

Suatu ketika Yesus mengatakan kepadaku, “Tatapan-Ku dalam lukisan ini seperti tatapan-Ku dari atas Salib.”

Suatu kali, bapa pengakuan (Pater Sopocko) menanyakan di manakah tulisan seharusnya ditempatkan, sebab tak cukup ruang dalam lukisan. Aku menjawab, “Aku akan berdoa dan menyampaikan jawabnya minggu depan.” Kala aku meninggalkan kamar pengakuan dan lewat di depan Sakramen Mahakudus, aku menerima pemahaman batin mengenai tulisan itu. Yesus mengingatkanku akan apa yang telah Ia katakan pertama kali kepadaku, yaitu bahwa ketiga kata ini harus diperlihatkan dengan jelas, “Yesus, Engkau Andalanku” (“Jezu, Unfam Tobie”). Aku mengerti bahwa Yesus menghendaki seluruhnya ditampilkan dalam lukisan, tetapi Ia tak memberikan perintah langsung mengenai hal ini seperti yang dinyatakan-Nya mengenai ketiga kata tersebut.

“Aku menawarkan kepada manusia suatu timba dengan mana hendaknya mereka terus-menerus datang menimba rahmat-rahmat dari sumber belas kasih. Timba itu adalah lukisan dengan tulisan, `Yesus, Engkau Andalanku'” Ya Kasih termurni, merajalah dengan segenap kuasamu dalam hatiku dan tolonglah aku untuk melaksanakan kehendak-Mu yang kudus dengan taat setia!

Menjelang akhir retret selama tiga hari, aku melihat diriku sendiri sedang berjalan di sepanjang jalan setapak yang tak rata. Terus-menerus aku tersandung; aku melihat sosok orang yang terus mengikutiku dan menopangku. Aku tidak senang akan hal ini dan meminta orang itu untuk pergi meninggalkanku, sebab aku ingin berjalan sendiri. Tetapi sosok itu, yang tak dapat aku kenali, tak hendak meninggalkanku barang sekejap. Aku menjadi tak sabar, berbalik dan mendorongnya agar pergi dariku. Saat itulah aku melihat bahwa sosok tersebut adalah Moeder Superior (Irene), dan pada saat yang sama aku melihat bahwa ia bukan Moeder Superior, melainkan Tuhan Yesus, yang menatap tajam padaku dan membuatku mengerti betapa menyakitkan hati-Nya apabila aku tidak melakukan, bahkan dalam perkara-perkara yang paling remeh sekalipun, kehendak superiorku, “yang adalah kehendak-Ku” (kata Yesus). Aku mohon ampun pada Tuhan dan mencamkan peringatan itu dalam hatiku.

Suatu ketika, bapa pengakuan memintaku untuk berdoa bagi intensinya, dan aku mulai berdoa novena kepada Bunda Allah. Dalam novena terdapat rumusan doa, “Salam Ratu Tersuci,” yang didaraskan sembilan kali. Menjelang akhir novena, aku melihat Bunda Allah dengan Bayi Yesus dalam buaiannya, dan aku juga melihat bapa pengakuan berlutut di kaki Santa Perawan dan berbicara dengannya. Aku tak tahu apa yang dikatakan bapa pengakuan kepadanya, sebab aku sibuk bercakap dengan Bayi Yesus, yang turun dari gendongan BundaNya dan menghampiriku. Tak henti-hentinya aku mengagumi keelokan-Nya. Aku mendengar sedikit dari perkataan Bunda Allah kepadanya (bapa pengakuan), tapi tidak semua. Yang terdengar olehku adalah kata-kata berikut, “Aku bukan saja Ratu Surga, melainkan juga Bunda Belas Kasih dan Bundamu.” Saat itu Santa Perawan merentangkan tangan kanannya yang menggenggam mantol dan menudungi imam dengan mantolnya. Penglihatan pun berakhir.

Oh, betapa besar rahmat memiliki seorang pembimbing rohani! Orang lebih cepat maju dalam keutamaan-keutamaan, melihat kehendak Allah dengan lebih jelas, melaksanakannya dengan lebih setia, dan menapaki jalan yang pasti serta bebas bahaya. Pembimbing tahu bagaimana menghindari bebatuan yang dapat mencelakai jiwa. Tuhan menganugerahiku rahmat ini, pasti, tetapi terlebih lagi aku bersukacita melihat bagaimana Tuhan menempatkan kehendak-Nya dalam kehendak pembimbingku. Akan aku ceritakan satu dari sekian ribu peristiwa yang aku alami. Seperti biasa, suatu sore aku mohon pada Tuhan Yesus agar memberiku point-point untuk meditasi keesokan harinya. Aku menerima jawaban ini, “Renungkanlah Nabi Yunus dan perutusannya.” Aku mengucap syukur kepada Tuhan, tetapi mulai berpikir dalam hati bagaimana berbedanya topik ini dari yang lainnya. Dengan segenap jiwa aku berjuang untuk merenungkannya, dan aku mendapati diriku sendiri dalam diri sang nabi, dalam hal bahwa seringkali aku juga berusaha mengajukan dalih-dalih kepada Tuhan, mengatakan bahwa orang lain akan dapat melakukan kehendak-Nya yang kudus lebih baik (daripada yang dapat kulakukan), dan aku gagal memahami bahwa Tuhan dapat melakukan segalanya dan bahwa kemahakuasaan-Nya akan semakin nyata jika alatnya memiliki banyak cacat cela. Tuhan membuatku mengerti dengan jelas hal ini melalui cara berikut. Siang itu, ada penerimaan Sakramen Pengakuan bagi komunitas. Kala aku menyampaikan pada bapa rohani ketakutan yang meliputiku karena misi yang dipercayakan Tuhan kepadaku, bahwa aku hanyalah alat yang canggung, bapa rohani menjawab bahwa, suka tidak suka, haruslah kita melaksanakan kehendak Tuhan, dan ia mengambil Nabi Yunus sebagai contoh. Setelah pengakuan dosa, aku terheran bagaimana bapa pengakuan tahu bahwa Tuhan telah menyuruhku untuk merenungkan Nabi Yunus; padahal jelas aku tak mengatakan hal ini kepadanya. Lalu, aku mendengar kata-kata berikut, “Ketika imam bertindak atas nama-Ku, ia tidak bertindak dari dirinya sendiri, melainkan Aku yang bertindak melalui dia. Kehendaknya adalah kehendak-Ku.” Aku dapat melihat bagaimana Yesus membela wakil-wakil-Nya. Yesus Sendiri yang berkarya melalui tindakan-tindakan mereka.

Kamis. Ketika aku mulai berdoa Jam Suci, aku hendak menenggelamkan diriku dalam sakrat maut Yesus di Taman Zaitun. Lalu, aku mendengar suara dalam jiwaku, “Renungkanlah Misteri Inkarnasi.” Sekonyong-konyong, Bayi Yesus muncul di hadapanku, sungguh elok bermandikan cahaya. Yesus mengatakan betapa Allah bersuka atas kesahajaan dalam suatu jiwa. “Walau keagungan-Ku melampaui batas pengertian, Aku mempersatukan diri hanya dengan mereka yang kecil. Aku menuntut darimu roh yang bagaikan seorang kanak-kanak.”

Sekarang aku mengerti dengan jelas bagaimana Tuhan bertindak melalui bapa pengakuan dan betapa Ia setia pada janji-janji-Nya. Dua minggu yang lalu, bapa pengakuan menyuruhku merenungkan kanak-kanak rohani ini. Sesuatu yang agak sulit pada mulanya, tetapi bapa pengakuan, tanpa menghiraukan kesulitan-kesulitanku, menyuruhku untuk terus merenungkan kanak-kanak rohani. (Katanya,) “Dalam praktek, kanak-kanak rohani ini haruslah menyatakan diri demikian; seorang kanak-kanak tidak khawatir akan masa lampau ataupun masa mendatang, melainkan memanfaatkan waktu sekarang. Aku hendak menekankan kanak-kanak rohani seperti ini dalam dirimu, Suster, dan aku menggarisbawahinya dengan tegas.” Aku dapat melihat betapa Tuhan menghormati kehendak bapa pengakuanku. Pada masa itu Ia tidak menampakkan diri kepadaku sebagai seorang Guru dalam kepenuhan daya dan kedewasaan manusiawi, melainkan sebagai seorang Kanak-kanak kecil. Allah yang melampaui segala pengertian membungkuk rendah kepadaku dalam rupa seorang Kanak-kanak kecil.

Tetapi, mata jiwaku tidak berhenti pada penampilan ini. Walau Engkau mengambil rupa seorang Kanak-kanak kecil, aku melihat dalam Engkau Tuan atas segala tuan yang kekal dan tak terhingga, yang disembah roh-roh murni, siang maupun malam, dan kepada Siapa hati para Serafim bernyala-nyala dengan api kasih termurni. Ya Kristus, ya Yesus, aku ingin melampaui mereka dalam mengasihi Engkau! Aku mohon maaf kepada kalian, wahai roh-roh murni, atas kelancanganku memperbandingkan diriku dengan kalian. Aku, jurang kemalangan ini, ngarai kemalangan ini, dan Engkau, ya Tuhan, yang adalah jurang belas kasih yang tak terselami, menelanku bagaikan terik matahari menelan setetes embun! Tatapan kasih-Mu akan mengisi jurang manapun. Aku tenggelam dalam sukacita atas kebesaran Tuhan. Melihat keagungan Tuhan sudah lebih dari cukup untuk membuatku berbahagia sepanjang kekekalan masa!  

Suatu ketika, kala aku melihat Yesus dalam rupa seorang kanak-kanak kecil, aku bertanya, “Yesus, mengapakah Engkau sekarang mengambil rupa seorang kanak-kanak saat Engkau bersatu denganku? Kendati demikian, aku masih melihat dalam Engkau Allah yang tak terhingga, Tuhan dan Pencipta-ku.” Yesus menjawab bahwa hingga aku belajar kesahajaan dan kerendahan hati, Ia akan bersatu denganku sebagai seorang kanak-kanak kecil.

1934. Dalam Misa Kudus, ketika Tuhan Yesus ditahtakan dalam Sakramen Mahakudus, aku melihat dua berkas sinar memancar dari Hosti Terberkati, seperti yang dilukiskan dalam gambar, satu berwarna merah dan yang lain berwarna pucat. Sinar-sinar itu menembusi masing-masing suster dan mereka yang ada dalam bimbingan kami, tetapi tidak semuanya dengan cara yang sama. Pada sebagian dari mereka, kedua sinar ini nyaris tak kelihatan. Hari itu adalah hari terakhir retret anak-anak.

22 November 1934. Dalam suatu kesempatan, pembimbing rohani (P Sopocko) menyuruhku untuk melihat dengan seksama ke dalam diriku dan memeriksa adakah aku memiliki kelekatan terhadap suatu obyek atau makhluk ciptaan tertentu, atau bahkan kelekatan pada diriku sendiri, atau apakah aku terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan kosong, “sebab segala hal ini,” (katanya) “menghalangi jalan Tuhan Yesus yang menghendaki kebebasan penuh dalam membimbing jiwamu. Tuhan cemburu atas kita dan menghendaki kita mengasihi-Nya saja.”

Kala aku mulai melihat jauh ke dalam diriku, aku tak mendapati kelekatan pada suatupun, tetapi seperti dalam segala hal yang menyangkut diriku, juga dalam perkara ini, aku takut dan tak percaya pada diriku sendiri. Lelah letih karena pemeriksaan batin yang seksama ini, aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus dan dengan segenap hati bertanya kepada Yesus, “Yesus, Mempelai-ku, Tambatan hatiku, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau saja dan bahwa aku tak mengasihi yang lain selain Engkau; tetapi Yesus, jika aku terikat pada sesuatu yang bukan Engkau, aku mohon pada-Mu, Yesus, dengan kuasa kerahiman-Mu, biarlah maut yang tiba-tiba menimpaku, sebab aku lebih suka mati seribu kali daripada tidak setia pada-Mu, bahkan dalam hal yang paling remeh sekalipun.”     

Saat itu, sekonyong-konyong Yesus berdiri di hadapanku, tanpa aku tahu darimana datangnya, kemilau dengan keelokan yang tak terkatakan, mengenakan jubah putih, dengan tangan terangkat, dan Ia mengucapkan kata-kata ini kepadaku, “Puteri-Ku, hatimu adalah tempat peristirahatan-Ku, sukacita-Ku. Di dalamnya Aku mendapati segala yang begitu banyak jiwa menolak memberikannya pada-Ku. Katakanlah ini pada wakil-Ku.” Sekejap kemudian, aku tak melihat apapun, tetapi segenap samudera penghiburan meliputi jiwaku.

Aku tahu sekarang bahwa tak suatupun dapat menghalangi kasihku kepada-Mu, Yesus, baik penderitaan maupun kemalangan, baik api maupun pedang, bahkan maut itu sendiri. Aku merasa lebih kuat dari segala hal itu. Tak suatupun dapat dibandingkan dengan kasih. Aku mengerti bahwa hal-hal yang paling sepele sekalipun, yang dilakukan oleh jiwa yang mengasihi Tuhan dengan tulus, memiliki nilai yang sangat besar di mata-Nya yang kudus.

5 November 1934. Suatu pagi, ketika aku bertugas membukakan pintu gerbang biara bagi orang-orang kita yang mengantarkan kiriman, aku mampir sebentar ke dalam kapel kecil guna mengunjungi Yesus dan memperbaharui intensi-intensi hari itu. “Hari ini, Yesus, aku persembahkan kepada-Mu segala penderitaan, matiraga dan doa-doa bagi intensi Bapa Suci, agar beliau menyetujui Pesta Kerahiman Ilahi. Tetapi, Yesus, ada satu hal yang ingin kusampaikan kepada-Mu; aku sangat heran bahwa Engkau menyuruhku berbicara mengenai Pesta Kerahiman Ilahi ini, sebab mereka mengatakan bahwa sudah ada pesta untuk itu, jadi, mengapakah aku harus berbicara mengenainya?” Dan Yesus menjawab, “Dan siapakah yang tahu perihal pesta itu? Tak seorang pun! Bahkan mereka yang seharusnya mewartakan kerahiman-Ku dan mengajarkannya pada semua orang, seringkali mereka sendiri tidak tahu menahu mengenainya. Itulah sebabnya mengapa Aku menghendaki lukisan itu diberkati secara khidmad pada hari Minggu Pertama sesudah Paskah; Aku menghendaki lukisan itu dihormati secara umum agar setiap jiwa dapat mengetahuinya. Berdoalah novena bagi intensi Bapa Suci. Novena ini meliputi tigapuluh tiga seruan, yaitu pengulangan doa singkat - yang telah Aku ajarkan kepadamu - kepada Kerahiman Ilahi.”

Penderitaan adalah harta pusaka yang paling berharga di dunia ini; penderitaan memurnikan jiwa. Dalam penderitaan kita mengenali siapa sahabat kita yang sejati.

Kasih sejati diukur dengan thermometer penderitaan. Yesus, aku bersyukur kepada-Mu atas salib-salib kecil setiap hari, atas pertentangan terhadap daya upaya dan usahaku, atas masa-masa sulit dalam hidup bersama, atas maksud-maksud baikku yang disalahtafsirkan, atas penghinaan oleh yang lain, atas perlakuan kasar yang kami terima, atas kecurigaan-kecurigaan yang tanpa alasan, atas kesehatan yang rapuh dan tenaga yang terkuras, atas penyangkalan diri, mati terhadap diri sendiri, atas kurangnya penghargaan dalam segala hal, atas kacaunya segala rencanaku.

Aku bersyukur kepada-Mu, Yesus, atas penderitaan-penderitaan batin, atas roh yang kering, atas terror, ketakutan, dan kebimbangan, atas kegelapan dan malam batin yang kelam, atas godaan dan berbagai pencobaan, atas siksaan yang teramat sulit digambarkan, teristimewa bagi mereka yang tak akan pernah dapat memahaminya, atas saat ajal dengan pergulatannya yang dahsyat dan segala kepahitannya.

Aku bersyukur kepada-Mu, Yesus, Engkau yang terlebih dahulu minum dari piala kepahitan sebelum Engkau memberikannya kepadaku dalam bentuk yang jauh lebih ringan. Aku menempelkan bibirku pada piala kehendak-Mu yang kudus ini. Kiranya segala sesuatu terjadi seturut kehendak-Mu; kiranya segala yang telah ditetapkan oleh kebijaksanaan-Mu sebelum segala abad, terjadi atasku. Aku hendak minum dari piala hingga tetes yang terakhir, tanpa mencari tahu mengapa. Dalam kepahitan terletak sukacitaku, dalam ketakberdayaan terletak pengharapanku. Dalam Engkau, ya Tuhan, semuanya baik, semuanya adalah karunia dari Hati kebapakan-Mu. Aku tak hendak memilih penghiburan daripada kepahitan, atau kepahitan daripada penghiburan, melainkan aku bersyukur kepada-Mu, ya Yesus, atas segalanya! Sukacitaku adalah menatap lekat Engkau, ya Allah yang tak terpahami! Rohku tinggal dalam tempat-tempat kediaman misterius ini, di sanalah aku merasa di rumah. Aku mengenal dengan sangat baik tempat kediaman Mempelai-ku. Aku merasa tak setetes darah pun dalam diriku yang tak terbakar oleh kasih kepada-Mu.

Ya Keelokan Semula Jadi, siapa pun yang pernah mengenal Engkau tak akan dapat mengasihi yang lain. Aku dapat merasakan jurang jiwaku yang tak berdasar, dan tak suatupun yang akan dapat mengisinya hingga penuh selain dari Tuhan Sendiri. Aku merasa bahwa aku tenggelam dalam Dia bagaikan sebutir pasir tenggelam dalam samudera luas.

20 Desember 1934. Suatu sore, kala aku masuk ke dalam bilikku, aku melihat Tuhan Yesus ditahtakan dalam monstrans di langit terbuka, begitulah tampaknya. Di kaki Yesus, aku melihat bapa pengakuanku, dan di belakangnya sejumlah besar rohaniwan tertinggi gereja, mengenakan jubah seperti yang belum pernah aku lihat selain dalam penglihatan ini; di belakang mereka, kelompok-kelompok religius dari berbagai macam ordo, dan di belakangnya lagi aku melihat serombongan besar orang yang begitu banyak hingga melampaui penglihatanku. Aku melihat kedua sinar yang memancar dari Hosti, seperti dalam lukisan, keduanya erat bersatu, tapi tidak saling bercampur; dan berkas-berkas sinar itu menembusi kedua tangan bapa pengakuan, lalu menembusi tangan-tangan para klerus, dan dari tangan mereka kepada orang banyak, dan lalu kedua sinar kembali kepada Hosti… dan saat itu aku melihat diriku sendiri berada kembali dalam bilik yang baru saja aku masuki.

22 Desember 1934. Ketika aku berkesempatan pergi mengaku dosa dalam pekan itu, kebetulan aku tiba di sana saat bapa pengakuan sedang mempersembahkan Misa Kudus. Pada bagian ketiga dari Misa, aku melihat Bayi Yesus, sedikit lebih kecil dari biasanya, dan dengan perbedaan ini: Ia mengenakan jubah ungu, sementara biasanya Ia mengenakan jubah putih.

24 Desember 1934. Malam Natal. Sepanjang Misa pagi, aku merasakan kedekatan dengan Tuhan. Meski aku nyaris tak menyadarinya, rohku tenggelam dalam Tuhan. Sekonyong-konyong, aku mendengar kata-kata ini, “Engkau adalah tempat tinggal kesukaan-Ku; RohKu beristirahat dalam engkau.” Sesudah kata-kata ini, aku merasa Tuhan memandang ke kedalaman lubuk hatiku; menyadari kemalanganku, aku merendahkan diri dalam roh dan memuji belas kasih Allah yang tak terhingga, bahwa Allah yang Mahatingi sudi menghampiri kemalangan yang demikian.

Saat Komuni Kudus, sukacita memenuhi jiwaku. Aku merasa aku bersatu erat dengan Allah. Kemahakuasaan-Nya melingkupi seluruh keberadaanku. Sepanjang hari itu aku merasakan kedekatan dengan Tuhan dalam suatu cara yang istimewa; dan walau tugas kewajiban sepanjang hari itu menghalangiku untuk pergi ke kapel walau sejenak saja, tak sekejap pun waktu berlalu tanpa aku bersatu dengan Tuhan. Aku merasakan-Nya dalam diriku secara lebih nyata dari sebelumnya. Tak-henti-hentinya aku menyapa Bunda Allah dan masuk ke dalam rohnya, aku memohon padanya agar ia berkenan mengajariku kasih sejati kepada Allah. Lalu aku mendengar kata-kata ini, “Aku hendak menyingkapkan rahasia kebahagiaanku kepadamu malam ini pada waktu Misa Kudus.”

Kami bersantap malam sebelum pukul enam. Kendati segala sukacita dan suara gaduh yang mengiringi acara makan bersama serta saling bertukar ucapan pengharapan, tak sekejap pun aku kehilangan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Sesudah santap malam, kami bergegas mnyelesaikan tugas kami, dan pukul sembilan aku dapat pergi ke kapel untuk bersembah sujud. Aku diijinkan untuk berjaga sementara menanti Misa Tengah Malam. Aku bersukacita mendapatkan jam bebas dari pukul sembilan hingga tengah malam. Dari pukul sembilan hingga sepuluh, aku mempersembahkan adorasiku bagi kedua orangtua dan seluruh keluargaku. Dari pukul sepuluh hingga sebelas, aku mempersembahkannya bagi intensi bapa pembimbing rohaniku; pertama-tama mengucap syukur kepada Tuhan sebab telah memberiku pertolongan yang besar dan kelihatan ini di dunia, seperti yang telah Ia janjikan; dan juga aku memohon pada Tuhan agar menganugerahkan kepadanya terang yang diperlukan agar ia dapat mengenali jiwaku serta membimbingku seturut kehendak Allah yang baik. Dari pukul sebelas hingga duabelas, aku berdoa bagi Gereja yang kudus dan para klerus, bagi para pendosa, bagi karya misi dan bagi rumah-rumah biara kami. Aku mempersembahkan segala indulgensi bagi jiwa-jiwa di api penyucian.

Jam Duabelas, 25 Desember 1934.

Misa Tengah Malam. Begitu Misa Kudus dimulai, aku segera merasakan suatu permenungan batin yang mendalam; sukacita memenuhi jiwaku. Saat Persembahan, aku melihat Yesus di altar, elok tak terlukiskan. Sepanjang waktu, sang Bayi terus memandangi setiap orang seraya merentangkan kedua tangan-Nya yang mungil. Saat Konsekrasi, Kanak-kanak Kudus tidak memandang ke kapel, melainkan ke surga. Setelah Konsekrasi, Ia memandang kami kembali, namun sekejap saja, sebab Ia dipecah-pecahkan dan disantap oleh imam dengan cara seperti biasanya. Celemek baju-Nya sekarang berwarna putih. Keesokan harinya, aku melihat hal yang sama, dan juga pada hari yang ketiga. Sulit bagiku untuk mengungkapkan sukacita jiwaku. Penglihatan berulang di ketiga Misa dengan cara yang sama seperti yang pertama.

1934. Kamis pertama sesudah Natal. Aku sama sekali lupa bahwa hari itu adalah hari Kamis, jadi aku tidak melakukan sembah sujud. Pukul sembilan malam aku langsung pergi ke kamar bersama para suster yang lain. Tetapi sungguh aneh, aku tak dapat tidur. Aku merasa bahwa aku belum melakukan sesuatu yang seharusnya aku lakukan. Dalam hati, aku mengingat-ingat kembali segala tugas kewajibanku, tetapi tak ingat akan suatu yang terlupakan. Ini berlangsung hingga pukul sepuluh. Jam sepuluh, aku melihat Wajah Sengsara Yesus. Yesus mengatakan ini kepadaku, “Aku telah menanti untuk berbagi Sengsara-Ku denganmu, sebab siapakah yang dapat memahami penderitaan-Ku lebih baik daripada mempelai-Ku?” Aku mohon ampun pada Yesus atas sikapku yang dingin. Merasa malu dan tak berani menatap Tuhan Yesus, melainkan dengan hati penuh sesal, aku memohon pada-Nya untuk memberiku sepotong duri dari mahkota-Nya. Ia mengatakan bahwa Ia akan mengabulkan permohonanku ini, tetapi esok hari; dan seketika penglihatan pun berakhir.

Pagi hari, saat meditasi, aku merasakan sepotong duri yang menyengsarakan di kepala sebelah kiri. Penderitaanku itu berlangsung sepanjang hari. Aku terus-menerus merenungkan bagaimana Yesus dapat menanggung sengsara akibat begitu banyak duri yang dijadikan mahkota-Nya. Aku mempersatukan penderitaanku dengan penderitaan Yesus dan mempersembahkannya bagi para pendosa. Pukul empat, kala aku datang untuk adorasi, aku melihat salah seorang dari orang-orang yang ada dalam bimbingan kami menghina Tuhan dengan sangat melalui dosa pikiran yang tidak murni. Aku juga melihat seorang tertentu yang menjadi sumber dosanya. Jiwaku diliputi ketakutan, dan aku memohon pada Tuhan demi Sengsara Yesus, untuk merenggutnya dari kemalangan yang mengerikan itu.

Yesus menjawab bahwa Ia akan menganugerahkan itu kepadanya, bukan karena dia, melainkan karena permohonanku. Sekarang aku mengerti betapa penting kita berdoa bagi orang-orang berdosa, dan teristimewa bagi mereka yang ada dalam bimbingan kita.

Hidup kita adalah sungguh hidup yang apostolik; aku tak dapat membayangkan seorang religius yang tinggal di salah satu biara kita, yaitu dalam komunitas kita, yang tak memiliki semangat apostolik. Kerinduan akan keselamatan jiwa-jiwa hendaknya berkobar-kobar dalam hati kita.

Allah-ku, betapa manisnya menderita demi Engkau, menderita dalam relung-relung hati yang paling rahasia, yang paling tersembunyi, terbakar bagai suatu kurban persembahan yang tak diperhatikan oleh siapa pun, murni bagai kristal, tanpa penghiburan ataupun belas kasihan. Rohku berkobar-kobar dalam kasih yang aktif. Aku tak menyia-nyiakan waktu dengan bermimpi. Aku mendayagunakan setiap waktu yang datang silih berganti, sebab waktu sekarang ada dalam kuasaku. Masa lampau bukan lagi milikku, masa mendatang bukan pula kepunyaanku; jadi, dengan segenap jiwa aku berusaha mempergunakan waktu sekarang.

4 Januari 1935. Bagian pertama Moeder Borgia. Pada bagian ini, Moeder menekankan hidup dalam iman dan kesetiaan dalam hal-hal kecil. Di tengah bagian, aku mendengar kata-kata ini, “Aku menghendaki kalian semua lebih beriman pada masa sekarang ini. Betapa besar sukacitaku akan kesetiaan mempelai-Ku dalam hal-hal yang paling kecil dan remeh.” Lalu aku menatap salib dan melihat kepala Yesus berpaling ke ruang makan, bibir-Nya bergerak-gerak.

Ketika aku menyampaikan hal ini kepada Moeder Superior, ia menjawab, “Kau lihat, Suster, betapa Yesus menghendaki agar hidup kita adalah hidup yang penuh iman.”

Saat Moeder pergi menuju kapel sementara aku tinggal untuk membereskan ruangan, aku mendengar kata-kata ini, “Katakan kepada segenap suster bahwa Aku menghendaki mereka hidup dalam semangat iman kepada para superior pada masa sekarang ini.” Aku mohon bapa pengakuan untuk membebaskanku dari tugas ini.

Sementara aku berbicara kepada seorang tertentu yang semestinya melukis gambar itu, tetapi karena alasan-alasan tertentu tidak melakukannya, aku mendengar suara ini dalam jiwaku, “Aku menghendaki dia agar lebih taat.” Aku mengerti bahwa daya upaya kita, tak peduli betapa pun hebatnya, tidak berkenan kepada Tuhan jika tidak dimeterai dengan ketaatan; yang aku maksudkan adalah suatu jiwa religius. Ya Tuhan, betapa mudahnya mengenali kehendak-Mu dalam biara! Bagi kami para religius, kehendak Tuhan dinyatakan dengan jelas di depan mata kami mulai pagi hingga petang; dan di saat-saat kebimbangan, ada pada kami para superior, melalui siapa Tuhan berbicara.


1934 - 1935. Malam Tahun Baru. Aku diijinkan untuk tidak tidur, tetapi berdoa di kapel. Salah seorang suster telah memintaku untuk mempersembahkan satu jam adorasi baginya. Aku mengatakan ya dan berdoa baginya selama satu jam. Sepanjang jam itu, Tuhan membuatku mengerti betapa jiwa ini sungguh berkenan kepada-Nya.

Aku mempersembahkan jam kedua adorasi bagi pertobatan orang-orang berdosa, dan aku berusaha secara khusus mempersembahkan silih kepada Tuhan atas segala penghinaan yang dilakukan terhadap Tuhan pada saat ini. Betapa dahsyat Tuhan telah dihinakan!

Aku mempersembahkan jam ketiga bagi pembimbing rohaniku. Aku berdoa dengan khusuk mohon terang baginya dalam suatu masalah tertentu.

Dan akhirnya, jam berdentang duabelas kali, jam terakhir dalam tahun. Aku mengakhirinya dalam Nama Tritunggal Mahakudus, dan aku juga memulai jam pertama dari Tahun Baru dalam Nama Tritunggal Mahakudus. Aku memohon kepada masing-masing dari ketiga Pribadi agar memberkatiku dan, dengan penuh kepercayaan, aku menyongsong Tahun Baru yang pastilah tidak akan lepas dari penderitaan.

bersambung ...

Sumber: “The Divine Mercy in My Soul” by St Faustina Kowalska

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”