![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Suara Gembala | Warta eRKa | Yang Menarik & Yang Lucu | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() ![]() Bab XLV
![]() Perkataan Kelima, Keenam dan Ketujuh Yesus dari atas Salib ~ Wafat-Nya
![]() Terang berangsur-angsur pulih, dan wajah Tuhan kita yang pucat pasi kehabisan tenaga mulai terlihat kembali. Tubuh-Nya menjadi jauh lebih pucat karena banyaknya darah yang tercurah. Aku mendengar Yesus berseru, “Aku diperas bagaikan anggur yang dikilang dalam tempat pemerasan anggur. DarahKu akan tercurah habis hingga air yang keluar, tetapi anggur tak akan lagi dibuat di sini.” Aku tidak yakin apakah Yesus sungguh mengucapkan kata-kata ini, sehingga dapat didengarkan oleh orang-orang lain, atau apakah kata-kata ini sekedar jawaban atas doa batinku. Sesudahnya, aku mendapatkan suatu penglihatan sehubungan dengan kata-kata ini, dalam penglihatan itu aku melihat Yafet membuat anggur di tempat ini.
Yesus nyaris tak sadarkan diri; lidah-Nya kering kerontang, dan Ia berkata, “Aku haus!” Para murid yang berdiri sekeliling Salib memandang kepada-Nya dengan tatapan duka mendalam. Lagi Yesus berkata, “Tak dapatkah engkau memberi-Ku sedikit air?” Dengan perkataan-Nya ini Ia membuat mereka mengerti bahwa tak seorang pun yang akan mencegah mereka melakukannya sepanjang masa kegelapan. Yohanes diliputi rasa sesal dan menjawab: “Tak terpikirkan oleh kami untuk melakukannya, ya Tuhan.” Yesus mengucapkan beberapa patah kata lagi, yang artinya adalah: “Sahabat-sahabat-Ku dan teman-teman-Ku juga telah melupakan Aku, mereka tidak memberi-Ku minum, dengan demikian genaplah apa yang tertulis mengenai Aku.” Rasa diabaikan ini sangat menyedihkan hati Yesus. Para murid lalu menyerahkan sejumlah uang kepada para prajurit agar mengijinkan mereka memberi Yesus sedikit minum. Para prajurit menolak, tetapi mereka mencelupkan bunga karang ke dalam anggur asam dan empedu, dan hendak memberikannya kepada Yesus, ketika kepala pasukan, Abenadar, yang hatinya tergerak oleh belas kasihan, mengambil bunga karang dari tangan para prajurit, memeras empedunya, menuangkan anggur asam segar ke dalam bunga karang, memasangkannya pada sebatang buluh, menempatkan buluh di ujung sebilah tombak, dan menyerahkannya kepada Yesus agar Ia minum. Aku mendengar Tuhan kita mengatakan beberapa hal lain, tetapi yang aku ingat hanyalah perkataan ini: “Apabila suara-Ku tak lagi terdengar, maka mulut orang-orang mati akan terbuka.” Sebagian dari mereka yang hadir berteriak, “Ia menghujat lagi!” Tetapi Abenadar menyuruh mereka diam.
Akhirnya, saat Tuhan kita tiba; pergulatan maut-Nya dimulai; keringat dingin mengaliri sekujur tubuh-Nya. Yohanes berdiri di kaki Salib; ia menyeka kaki Yesus dengan kain pundaknya. Magdalena meringkuk di atas tanah dalam dukacita yang begitu hebat di belakang Salib. Santa Perawan berdiri di antara Yesus dan penyamun yang baik, dengan ditopang oleh Salome dan Maria Kleopas; mata sang Bunda menatap lekat wajah Putranya yang di ambang ajal. Yesus lalu berkata, “Sudah selesai,” dan mengangkat kepala-Nya, Ia berseru dengan suara nyaring, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan RohKu.” Kata-kata ini, yang Ia ucapkan dengan suara yang jelas dan bergetar, menggema melintasi surga dan bumi; dan sekejap kemudian, Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan RohNya. Aku melihat jiwa-Nya dalam rupa sebuah meteor yang cemerlang, menembusi bumi di bawah kaki Salib. Yohanes dan para perempuan kudus jatuh rebah ke atas tanah (= prostratio). Kedua mata Abenadar terus terpaku menatap wajah Tuhan kita yang telah rusak sama sekali. Kepala pasukan ini sepenuhnya dikuasai oleh segala yang telah terjadi. Ketika sesaat sebelum wafat, Tuhan kita memaklumkan kata-kata terakhir-Nya dengan suara nyaring, bumi berguncang dan bukit karang Kalvari terbelah, membentuk suatu jurang yang dalam antara Salib Tuhan kita dengan salib Gesmas. Suara Tuhan - suara yang khidmad dan dahsyat - menggema ke seluruh jagad raya; memecahkan keheningan senyap yang kala itu membungkam alam. Segalanya telah usai. Jiwa Tuhan kita telah meninggalkan tubuh-Nya; seruan terakhir-Nya menyesakkan dada dengan kengerian. Bumi yang bergoncang menghaturkan sembah sujud kepada Pencipta-nya; pedang dukacita menembusi hati mereka yang mengasihi-Nya. Saat ini adalah saat rahmat bagi Abenadar; kuda tunggangannya gemetar di bawah pelananya; hati Abenadar tersentuh hebat; terkoyak bagaikan bukit karang. Ia melemparkan tombaknya jauh-jauh, menebah dadanya sembari berseru nyaring, “Terpujilah Allah Yang Mahatinggi, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Sungguh, Orang ini adalah Putra Allah!” Kata-katanya ini membuat banyak dari antara para prajurit menjadi percaya; mereka mengikuti jejaknya dan dipertobatkan pula.
Sejak saat itu Abenadar menjadi seorang manusia baru; ia menyembah Allah yang benar, dan tak lagi mengabdi para musuh. Ia menyerahkan baik kuda maupun tombaknya kepada seorang bawahannya yang bernama Longinus, yang sesudah menyampaikan beberapa patah kata kepada para prajurit segera menunggangi kudanya dan mengambil alih pimpinan. Abenadar lalu meninggalkan Kalvari, melintasi Lembah Gihon menuju gua-gua di Lembah Hinnom, di mana para murid bersembunyi. Abenadar memaklumkan wafat Tuhan kita kepada mereka, lalu bersama-sama mereka pergi ke kota guna menemui Pilatus. Segera sesudah Abenadar memberikan kesaksian iman di hadapan publik akan keallahan Kristus, sejumlah besar prajurit mengikuti jejaknya, juga sebagian dari mereka yang menonton, dan bahkan segelintir kaum Farisi. Banyak orang menebah dada mereka, menangis dan pulang ke rumah; sementara yang lain mengoyak pakaian mereka dan menaburkan abu di atas kepala; semuanya dicekam ketakutan dan kengerian. Yohanes bangkit berdiri; beberapa perempuan kudus yang ada dekat sana menghampiri Santa Perawan dan membimbingnya pergi dari kaki Salib.
Ketika Yesus, Tuhan atas hidup dan mati, menyerahkan jiwa-Nya ke dalam tangan BapaNya, dan membiarkan maut menguasai tubuh-Nya, tubuh kudus ini gemetar dan sepenuhnya pucat pasi; luka-luka tak terhitung banyaknya, yang berlumuran darah beku, tampak bagaikan bilur-bilur hitam; pipi-Nya semakin cekung, hidungnya semakin tirus, dan kedua mata-Nya, yang kabur karena darah, tetap setengah terbuka. Ia mengangkat kepala-Nya yang lunglai, yang masih bermahkotakan duri, sekejap saja, lalu menjatuhkannya lagi dalam sengsara yang hebat; sementara bibir-Nya yang kering dan pecah-pecah, hanya sebagian terkatup, memperlihatkan lidahnya yang bengkak dan berdarah. Pada saat ajal, kedua tangan-Nya yang diregangkan paksa dengan paku-paku, terbuka dan kembali ke ukurannya yang normal, begitu pula lengan-lengan-Nya; tubuh-Nya menjadi kaku, berat beban tubuh-Nya sekarang bertumpu pada kaki, lutut-Nya tertekuk, dan kaki-Nya sedikit terpelintir ke satu sisi.
Sungguh malang, adakah kata-kata yang mampu mengungkapkan dukacita dahsyat Santa Perawan? Kedua matanya terkatup rapat, bayangan maut meliputi wajahnya; ia tak mampu berdiri, melainkan roboh ke atas tanah, tetapi segera tubuhnya dibangkitkan dan ditopang oleh Yohanes, Magdalena dan yang lainnya. Sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada Putranya terkasih - Putra yang dikandungnya dari Roh Kudus, daging dari dagingnya, tulang dari tulangnya, hati dari hatinya - tergantung di atas kayu salib di antara kedua penyamun; tersalib, hina, dijatuhi hukuman mati oleh mereka yang hendak diselamatkan-Nya dengan kedatangan-Nya ke dunia. Saat ini, amat tepatlah dikatakan bahwa Santa Perawan adalah “ratu para martir”.
Matahari masih tampak redup dan berselimut kabut; sepanjang masa gempa bumi, udara pengap dan panas, tetapi kini berangsur-angsur segar dan bersih kembali.
Kira-kira pukul tiga sore ketika Yesus wafat. Kaum Farisi pada mulanya amat cemas dengan adanya gempa; tetapi setelah goncangan pertama berakhir, mereka segera pulih dan mulai melemparkan batu-batu ke dalam jurang, berusaha mengukur kedalaman jurang menggunakan tali. Namun demikian, ketika mendapati bahwa mereka tak dapat mencapai dasarnya, mereka mulai tercenung, menyimak dengan seksama keluh-kesah para peniten yang meratap dan menebah dada mereka, lalu meninggalkan Kalvari. Banyak di antara mereka yang hadir di sana sungguh dipertobatkan, sebagian besar kembali ke Yerusalem diliputi ketakutan. Para prajurit Romawi disiagakan di pintu-pintu gerbang dan di bagian-bagian utama kota guna mencegah kemungkinan terjadinya huru-hara. Cassius tinggal di Kalvari bersama sekitar limapuluh prajurit. Para sahabat Yesus berdiri sekeliling Salib, memandangi Tuhan kita dan meratap-tangis; banyak di antara para perempuan kudus yang telah pulang ke rumah mereka, semuanya diam membisu diliputi duka.
sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|
![]() |