YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Mengapa Imam Katolik Disebut "Bapa"?
oleh: Romo William P. Saunders *

Saya yakin dalam Injil St Matius ada tertulis Yesus mengatakan, “Janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapa-mu, yaitu Dia yang di sorga.” Saya tidak yakin bahwa Petrus, paus pertama kita, pernah dipanggil “Bapa Petrus.” Bilamanakah Gereja kita mulai menyebut paus sebagai Bapa Suci? Juga, mengapa kita memanggil para imam dengan sebutan “Bapa?”
~ seorang pembaca di Falls Church


Pertanyaan di atas mengacu pada ajaran Yesus yang kita dapati dalam Injil St Matius, ketika Ia mengatakan, “Janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga” (Mat 23:9). Jika diartikan secara harafiah, kita akan bertanya-tanya mengapa kita menggunakan sebutan “Father, Pater, Padre, Romo” yang semuanya berarti “Bapa” sementara Yesus tampaknya melarangnya.

Pertama-tama, kita harus ingat konteks ayat tersebut. Yesus sedang berbicara mengenai kemunafikan ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi - para pemimpin religius yang terpelajar di kalangan bangsa Yahudi. Kristus mencela mereka karena tidak memberikan teladan yang baik; karena menetapkan beban rohani yang berat bagi orang lain dengan bermacam ragam peraturan dan ketentuan; karena kesombongan dalam menunaikan kewajiban mereka, dan karena meninggikan diri dengan mencari tempat-tempat terhormat, gila hormat dan berlagak dengan mengenakan simbol-simbol ibadat. Pada pokoknya, ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi telah lupa bahwa mereka dipanggil untuk melayani Tuhan dan untuk melayani orang-orang yang dipercayakan kepada mereka dengan semangat kerendahan hati dan kemurahan hati.

Berdasarkan konteks itulah Yesus mengatakan untuk tidak menyebut siapapun di bumi ini dengan sebutan “Rabi,” “Bapa,” ataupun “Pemimpin,” dalam arti merebut bagi dirinya sendiri suatu otoritas yang menjadi hak Allah, sembari melalaikan tanggung-jawab dari gelar yang direbutnya itu. Tidak seorang pun boleh mengambil, atau merampas hak istimewa dan penghormatan yang menjadi hak Bapa surgawi. Seperti disabdakan Yesus, hanya Bapa surgawi saja yang adalah Bapa sejati, dan hanya Mesias saja yang adalah pemimpin dan rabi sejati. Senada dengan itu, Yesus bersabda, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Karena otoritas Bapa surgawi dan penghormatan yang menjadi hak-Nya, Yesus dengan bebas menunjuk Bapa Surgawi-Nya sebagai “Bapa”, dan mengajarkan kepada kita berdoa, “Bapa Kami” (Mat 6:9-13).   

Di samping itu, Tuhan Yesus Sendiri mempergunakan sebutan “bapa” untuk beberapa tokoh dalam perumpamaan-Nya: Dalam perumpamaan tentang seorang kaya dan seorang pengemis bernama Lazarus, si kaya berseru dari kedalaman neraka, “Bapa Abraham, kasihanilah aku,” dan penggunaan sebutan “bapa” ini berulang hingga tiga kali (bdk Lk 16:19-31). Orang perlu bertanya, jika Yesus melarang penggunaan sebutan “bapa,” mengapakah Ia mengajar orang banyak dengan suatu perumpamaan di mana tokohnya diberi sebutan yang demikian? Jika Yesus memang benar melarang sebutan ini, maka perbuatan demikian tampaknya bertentangan dan sesungguhnya menyesatkan para pendengar. Hal yang sama terjadi dalam perumpamaan Anak yang Hilang: Sekembalinya ke rumah, anak bungsu yang hilang itu mengatakan, “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa” (bdk Lk 15:11-32). Dari cara Tuhan kita mempergunakan sebutan “bapa” dalam begitu banyak pengajaran, termasuk kala mengulang perintah keempat, Tuhan kita tidak bermaksud melarang memanggil seorang bapa dengan sebutan “bapa”; melainkan Ia melarang penyalahgunakan gelar tersebut.

Sesungguhnya kita menggunakan sebutan-sebutan ini dalam bahasa sehari-hari: Kita menyebut mereka yang memimpin kita sebagai “pemimpin”; ayah kita, “bapa”; dan para pemimpin agama Yahudi, “rabi”. Teristimewa dalam arti religius, mereka yang melayani Tuhan dan mewakili otoritas-Nya sebagai pemimpin, orangtua dan khususnya imam, wajib dengan penuh kesadaran melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab dari gelar yang disandangnya dengan tekun, rendah hati dan gagah berani. Mempergunakan otoritas ini demi menyombongkan diri adalah sungguh munafik. Di akhir perikop tersebut, Yesus bersabda, “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Sejak masa-masa awali Gereja, kita telah mempergunakan sebutan “Bapa” bagi para pemimpin agama. Uskup, yang adalah gembala komunitas Gereja setempat dan pengajar iman yang otentik, disebut “Bapa.” Dengan demikian, St Petrus kemungkinan juga disapa sebagai “Bapa Petrus,” dalam arti bapa rohani. Kemungkinan sebutan yang demikian didukung oleh pernyataan St Paulus yang menyebut dirinya sebagai seorang bapa rohani. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, St Paulus menulis, “Hal ini kutuliskan bukan untuk memalukan kamu, tetapi untuk menegor kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi. Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu. Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku! Justru itulah sebabnya aku mengirimkan kepadamu Timotius, yang adalah anakku yang kekasih dan yang setia dalam Tuhan.” (1 Kor 4:14-17).  

Hingga sekitar tahun 400, seorang uskup disebut “Papa” yang artinya “Bapa”. Gelar ini kemudian dikhususkan hanya bagi Uskup Roma, penerus St Petrus, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Paus”. Dalam bentuk awal peraturannya, St Benediktus (wafat ± thn 547) mempergunakan sebutan ini untuk para bapa pengakuan rohani, sebab mereka adalah pembimbing jiwa-jiwa. Di samping itu, kata “abbas” yang berarti pemimpin iman dalam komunitas biara, berasal dari kata “abba”, kata Ibrani Aramik yang berarti “Bapa”, tetapi dalam arti yang paling akrab seperti “Papa”. Di kemudian hari, pada Abad Pertengahan, kata “Bapa” dipergunakan untuk menyebut para biarawan pengemis - seperti Fransiskan dan Dominikan - sebab dengan khotbah, pengajaran dan karya-karya karitatif, mereka memberikan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan rohani maupun jasmani segenap anak Allah. Pada masa-masa yang lebih modern, para pemimpin dari komunitas religius pria atau bahkan mereka yang ikut ambil bagian dalam konsili-konsili ekumenis, seperti Konsili Vatikan II, digelari “Bapa.” Di negara-negara yang berbahasa Inggris, sudah menjadi kebiasaan menyebut para imam dengan sebutan “Father”, atau di Indonesia, dengan sebutan “Pater” atau “Romo” yang juga berarti “Bapa”.

Sebagai catatan yang sifatnya pribadi, sebutan “Bapa” bagi saya sungguh bersahaja. Sebagai imam, “Bapa” mengingatkan saya bahwa saya diserahi kepercayaan dengan tanggung-jawab yang berat oleh Tuhan Yesus - yaitu kepercayaan atas umat beriman milik-Nya. Sama seperti seorang bapa memberi makan, membimbing, mengarahkan, mengoreksi, mengampuni, mendengarkan serta menopang anak-anaknya, begitu pulalah yang harus dilakukan seorang imam terhadap anak-anak rohaninya. Imam secara istimewa wajib memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohani mereka yang dipercayakan dalam pemeliharaannya, memberikan kepada mereka makanan surgawi dari Tuhan kita lewat sakramen-sakramen. Ia wajib mewartakan Injil dengan penuh semangat dan keyakinan sesuai ajaran Gereja, mengarahkan segenap umat beriman untuk terus berjalan maju di jalan pertobatan yang menghantar pada kekudusan. Ia wajib mengoreksi mereka yang berbuat dosa, tetapi dengan penuh belas dan kasih. Dengan semangat yang sama seperti seorang bapa terhadap anaknya yang hilang, seorang imam wajib mendamaikan kembali para pendosa yang telah tersesat tetapi mencari jalan pulang kembali kepada Allah. Seperti seorang bapa mendengarkan anaknya, demikian pula seorang imam wajib mendengarkan anak-anak rohaninya, memberikan nasehat dan penghiburan. Seorang imam juga wajib memiliki kepekaan akan kebutuhan jasmani kawanannya - makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan yang layak.

Seorang imam memang hidup selibat, namun demikian sabda Kristus kepada para rasul-Nya sungguh digenapi, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal” (Mrk 10:29-30). Sesungguhnya hidup selibat menjadikan seorang imam bebas untuk menjadi seorang bapa yang murah hati bagi segenap anak-anak rohaninya. Patutlah kita semua berdoa bagi para imam kita, teristimewa para imam yang melayani di paroki kita dan mereka yang baru saja ditahbiskan bagi keuskupan kita, agar dengan rahmat Tuhan mereka dapat berjuang untuk memenuhi tugas tanggung jawab menjadi seorang “Bapa”.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Why Priests Are Called Father” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”