![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() Non-Katolik dan Komuni Kudus
![]() oleh: Romo William P. Saunders *
![]() ![]() ![]() Saya menulis mengenai suatu praragraf di harian The Washington Times (3/30/98, halaman A6) tentang Presiden Clinton dan kunjungannya pada hari Minggu ke Gereja Katolik Regina Mundi di Soweto, Afrika Selatan. Kutipan dari berita tersebut, “Presiden, seorang Southern Baptist, ambil bagian dalam Komuni Katolik, demikian juga Ny. Clinton dan sebagian besar staff Gedung Putih.” Mengapa hal demikian terjadi? Siapa yang mengijinkan kesalahan ini? Tanggapan saya, “Memalukan, memalukan, memalukan.” Bagaimana tanggapan anda mengenai hal ini?
- seorang pembaca di Arlington
Straight Answers menerima banyak telepon dan surat mengenai kejadian ini. The New York Post bahkan mencetak hampir satu halaman penuh foto presiden menerima Komuni Kudus di lidahnya. Mari kita memahami kembali peraturan Gereja Katolik mengenai penerimaan Komuni Kudus.
Salah satu buah terbesar dari Komuni Kudus, sesuai Katekismus No. 1396, ialah bahwa Ekaristi Kudus membangun Gereja: “Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan.” Karenanya, dengan menyambut Komuni Kudus kita sungguh dipersatukan dalam persekutuan umat beriman Katolik yang saling berbagi iman, ajaran-ajaran, tradisi, sakramen, dan kepemimpinan yang sama.
Selanjutnya, Katekismus No. 1415 menegaskan, “Siapa yang hendak menerima Kristus dalam komuni Ekaristi, harus berada dalam keadaan rahmat. Kalau seorang sadar bahwa ia melakukan dosa berat, ia tidak boleh menerima Ekaristi tanpa sebelumnya menerima pengampunan di dalam Sakramen Pengakuan.” Sebagai contoh, seorang Katolik yang tidak taat beribadat, yang lalai ambil bagian dalam Misa atau yang telah menyimpang dari ajaran-ajaran Gereja, tidak berada dalam keadaan rahmat karena dosa berat yang dilakukannya dan karena itu tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus. Seorang Katolik yang berdosa berat tetapi tetap menyambut Komuni Kudus ia berbuat dosa sakrilegi - dosa melanggar hal-hal suci - dan mengakibatkan aib di antara umat beriman. St. Paulus mengingatkan jemaat di Korintus, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu.” (1Kor 11:26-28).
Jika demikian, bagaimana dengan non-Katolik? Sayang sekali, sejak Kristus mendirikan Gereja-Nya atas dasar para rasul, kita telah menyaksikan perpecahan-perpecahan. Perpecahan besar pertama terjadi dengan Gereja-gereja Timur (= Orthodox) pada tahun 1054 dan kemudian disusul dengan Gereja-gereja Protestan yang dimulai sejak tahun 1517. Sementara semua orang Kristen saling berbagi banyak keyakinan yang sama - misalnya, akan Yesus Kristus, akan pembaptisan, dan akan Kitab Suci sebagai Sabda Tuhan - dan dapat saling bekerjasama serta berdoa bersama dalam melaksanakan perutusan Kristus, perbedaan-perbedaan utama dalam keyakinan masih tetap ada, termasuk primat paus, imamat dan hakikat sakramen, termasuk apa itu Ekaristi Kudus. Sungguh, banyak kemajuan telah dicapai sejak Konsili Vatikan II untuk membicarakan perbedaan-perbedaan ini dengan berbagai kelompok Kristen. Namun demikian, perbedaan-perbedaan ini masih “memutuskan keikutsertaan bersama pada meja Tuhan” (Katekismus No. 1398).
Berikut kutipan dari Katekismus Gereja Katolik mengenai Gereja-gereja Timur dan Persekutuan-persekutuan Gereja Protestan (= Reformasi) dalam hubungannya dengan Ekaristi. “Gereja-Gereja Timur, yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, merayakan Ekaristi dengan cinta yang besar. `Sungguhpun terpisah, Gereja-Gereja Timur mempunyai Sakramen-Sakramen yang sejati, terutama berdasarkan suksesi apostolik, imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-Sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita.'” (No. 1399).
“Persekutuan-persekutuan Gereja yang muncul dari Reformasi, yang terpisah dari Gereja Katolik, `terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya' (UR 22). Karena alasan ini, maka bagi Gereja Katolik tidak mungkin ada interkomuni Ekaristi dengan persekutuan-persekutuan ini. `Kendati begitu, bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan, mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus, dan mereka mendambakan kedatangn-Nya kembali dalam kemuliaan' (UR 22)” (No. 1400).
“Jika menurut pandangan Uskup diosesan ada situasi darurat yang mendesak, imam-imam Katolik boleh menerimakan Sakramen-Sakramen Pengakuan, Ekaristi dan Urapan Orang Sakit juga kepada orang-orang Kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, bila mereka sendiri secara sukarela memintanya, asalkan mengenai Sakramen-Sakramen itu mereka memperlihatkan iman Katolik serta berada dalam disposisi yang baik” (No. 1401).
Pengecualian di atas dilakukan dalam keadaan darurat dan luar biasa (bdk Kitab Hukum Kanonik No. 844). Misalnya, ketika seorang jemaat Gereja Orthodox tidak dapat menghubungi suatu Gereja Orthodox untuk pelayanan sakramen-sakramen. Contoh lain misalnya ketika seorang Protestan yang secara pribadi percaya akan hakikat sakramen-sakramen Katolik meminta pelayanan Komuni Kudus dalam keadaan bahaya maut, atau kasus-kasus lain dengan kepentingan darurat serta mendesak, dan tidak dapat menghubungi seorang pendeta Protestan. Namun demikian, pengecualian terhadap peraturan Gereja yang berlaku bagi kasus-kasus individual tidak dapat diartikan sebagai ketentuan umum, dan bahwa pelaksanaannya secara cermat ditetapkan oleh uskup setempat.
Mengenai mereka yang tidak dibaptis, misalnya jemaat Yahudi atau Muslim, Gereja Katolik menyambut mereka untuk ambil bagian dalam doa bersama, tetapi tidak dapat mengundang mereka untuk menerima sakramen. Ketentuan ini jelas, karena sakramen-sakramen pada hakikatnya berhubungan dengan keyakinan iman akan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
Kita wajib tetap berdoa agar perpecahan-perpecahan yang memisahkan umat beriman Kristiani segera dipulihkan. Hingga perbedaan-perbedaan ini dipulihkan kembali, dan demi saling menghormati keyakinan satu sama lain, suatu “interkomuni” yang sesungguhnya dalam Ekaristi Kudus tidak dapat terjadi.
Dengan pemahaman ini, kita kembali kepada kejadian seperti yang dipertanyakan di atas. Clinton adalah seorang penganut Southern Baptist yang biasa menghadiri kebaktian di Foundry Methodist Church di Washington bersama isterinya (yang, saya yakin, seorang Methodist). Mereka tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik Roma dan dengan demikian tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus. Lagipula, keyakinan moral mereka akan beberapa pokok persoalan secara terang-terangan bertolak-belakang dengan keyakinan Katolik Roma, misalnya dukungan nyata mereka terhadap aborsi, termasuk partial birth abortion yang terkutuk itu. Kenyataan yang demikian menghalangi bahkan seorang Katolik untuk menyambut Komuni Kudus.
Clinton mengenyam pendidikan di Georgetown University, di mana pastilah ia mengenal kekatolikan; para pejabat protokol seharusnya tahu peraturan-peraturan Gereja, dan karena mereka telah ikut menghadiri Perayaan Misa sebelumnya, keluarga Clinton seharusnya tahu dan tidak ikut menyambut Komuni Kudus.
Imam selebran Misa juga seharusnya lebih tahu. Menyadari kehadiran orang-orang bukan Katolik di antara umatnya, imam seharusnya dengan penuh pengertian menjelaskan peraturan-peraturan Gereja sebelum membagikan Komuni Kudus, seperti yang biasa dilakukan para imam ketika merayakan Misa Perkawinan atau Misa Pemakaman. Bagaimanapun, ketika Clinton maju ke altar, seharusnya imam memberkati presiden dan isteri tanpa memberikan Ekaristi Kudus. Lebih baik ambil resiko mempermalukan orang yang tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus daripada mengakibatkan skandal di antara umat beriman yang mengagungkan Sakramen Mahakudus dan menganggap bahwa menyambut Komuni Kudus merupakan suatu hak istimewa.
Sejujurnya, di sinilah letak tragisnya: Entah dilakukan karena kecerobohan atau demi kepentingan politik, kejadian ini sungguh merupakan suatu skandal - bagi umat Katolik yang secara terus-menerus mempertahankan ajaran iman melawan serangan para politikus Washington; bagi para katekumen yang tengah berjuang dalam keputusan mereka untuk masuk dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik serta melewatkan berbulan-bulan guna mempersiapkan diri menyambut Sakramen Ekaristi; dan bagi umat Katolik yang menderita yang tidak dapat menyambut Komuni Kudus karena perkawinan mereka yang cacat dan sedang berjuang untuk memperbaiki perkawinan mereka. Ya, bagi semua pihak yang terlibat, peristiwa seperti ini sungguh memalukan, memalukan, memalukan!
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
![]() sumber : “Straight Answers: Non-Catholics and Communion” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1998 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
![]() Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|
![]() |