![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Suara Gembala | Warta eRKa | Yang Menarik & Yang Lucu | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() ![]() Bab XI
![]() Bunda Maria di Kediaman Kayafas
![]() ![]() Santa Perawan senantiasa dipersatukan dengan Putra Ilahinya melalui hubungan batin rohani. Sebab itu, Bunda Maria senantiasa sepenuhnya sadar akan segala yang terjadi pada Yesus. Ia menderita bersama-Nya, serta mempersatukan diri dalam doa Putranya yang tak kunjung henti bagi para pembunuh-Nya. Namun demikian, naluri keibuan mendorongnya untuk memohon dengan sangat kepada Allah Yang Mahakuasa agar penderitaan ngeri itu dijauhkan daripada-Nya, dan agar Putranya diselamatkan dari sengsara yang demikian keji. Betapa ia rindu berada di sisi-Nya. Ketika Yohanes, yang meninggalkan balai pengadilan saat seruan mengerikan itu dimaklumkan, “Ia harus dihukum mati!”, datang ke rumah Lazarus guna menemuinya serta menceritakan secara terinci peristiwa ngeri yang baru saja ia saksikan, Bunda Maria, dan juga Magdalena serta beberapa perempuan kudus lainnya, meminta dengan sangat agar diantarkan ke tempat di mana Yesus menderita sengsara. Yohanes, yang meninggalkan sang Juruselamat hanya demi menghibur dia yang paling dikasihinya sesudah Guru Ilahi-nya, segera memenuhi permintaan mereka. Ia membimbing mereka menyusuri jalan-jalan yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang temaram, dan yang dipadati oleh orang-orang yang bergegas pulang ke rumah masing-masing. Para perempuan kudus itu berkerudung rapat, tetapi isak-tangis yang tak kuasa mereka bendung membuat orang-orang yang berpapasan dengan mereka mengamati mereka dengan heran. Hati para perempuan kudus itu tersayat pilu oleh kata-kata ejekan dan cemooh yang mereka dengar tentang Yesus, yang dilontarkan oleh orang-orang yang ramai membicarakan penangkapan-Nya. Santa Perawan, yang senantiasa melihat dalam roh segala perlakuan biadab yang diderita Putranya terkasih, terus “menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.” Seperti Putranya, ia menderita tanpa membuka mulut. Tetapi, lebih dari satu kali ia sama sekali tak sadarkan diri. Beberapa murid Yesus, yang sedang dalam perjalanan kembali dari rumah Kayafas, melihatnya jatuh pingsan dalam pelukan para perempuan kudus. Tergerak oleh belas kasihan, mereka berhenti untuk memandangnya dengan penuh kasih sayang, serta menyalaminya dengan kata-kata ini, “Salam! Bunda yang berduka - salam, Bunda dari Yang Mahakudus dari Israel, yang paling berduka di antara semua ibunda!” Bunda Maria mengangkat kepalanya, menyampaikan terima kasih setulus hati, dan melanjutkan perjalanan dukanya.
Ketika tiba dekat kediaman Kayafas, duka mereka disegarkan kembali oleh pemandangan akan sekelompok orang yang sedang sibuk bekerja di bawah tenda mempersiapkan salib untuk penyaliban Tuhan kita. Para musuh Yesus telah memberikan perintah bahwa salib harus segera dipersiapkan begitu Ia ditangkap, agar mereka, tanpa ditunda-tunda lagi, dapat melaksanakan hukuman mati. Mereka berharap dapat membujuk Pilatus agar menjatuhkan hukuman mati atas-Nya. Para prajurit Romawi telah mempersiapkan salib bagi kedua penyamun. Para pekerja yang sekarang sedang mempersiapkan salib bagi Yesus sungguh mendongkol dipaksa mengerjakannya sepanjang malam. Mereka tidak berusaha menyembunyikan kedongkolan hati mereka, melainkan meluapkannya dengan kutuk dan sumpah serapah yang paling keji, yang menembusi hati Bunda Yesus yang amat lemah lembut dengan luka yang semakin dalam. Tetapi Bunda Maria berdoa bagi makhluk-makhluk ciptaan yang buta ini, yang tanpa mereka sadari, dengan berbuat demikian mereka telah menghujat Juruselamat yang akan segera wafat demi keselamatan mereka.
Bunda Maria, Yohanes, dan para perempuan kudus melintasi pengadilan bagian luar yang berdampingan dengan tempat tinggal Kayafas. Mereka berhenti di bawah terop pintu gerbang yang menuju ke pengadilan bagian dalam. Hati Bunda Maria bersama Putra Ilahinya dan betapa sangat ingin ia melihat pintu itu terbuka, agar ia beroleh kesempatan untuk memandang-Nya lagi, sebab ia tahu bahwa hanya pintu itu saja yang memisahkannya dari penjara di mana Ia dikurung. Pintu itu akhirnya terbuka juga. Petrus menghambur keluar, wajahnya diselubungi mantolnya, ia meremas-remas tangannya, dan menangis dengan teramat sedihnya. Dengan bantuan sinar suluh, ia segera mengenali Yohanes dan Santa Perawan. Tetapi, melihat mereka hanya semakin memperdalam perasaan sesalnya yang hebat yang telah dibangkitkan oleh tatapan Yesus dalam hatinya. Bunda Maria segera menghampirinya dan berkata, “Simon, katakanlah, aku mohon padamu, bagaimanakah keadaan Yesus, Putraku!” Kata-kata ini serasa mengiris-iris hati Petrus yang paling dalam. Ia bahkan tak sanggup menatap padanya, melainkan memalingkan muka, dan lagi, meremas-remas tangannya. Bunda Maria menghampirinya lebih dekat seraya berkata dengan suara gemetar menahan emosi, “Simon, anak Yohanes, mengapakah engkau tak menjawab aku?” - “Bunda!” jerit Petrus dengan nada duka, “Ya, Bunda, janganlah bertanya padaku - Putramu menderita sengsara lebih dari yang dapat diungkapkan kata-kata: janganlah bertanya padaku! Mereka telah menjatuhi-Nya hukuman mati, dan aku telah menyangkal-Nya tiga kali.” Yohanes datang untuk menanyakan beberapa pertanyaan lagi, tetapi Petrus sekonyong-konyong melarikan diri seolah telah kehilangan akal, ia tidak berhenti sejenak pun hingga tiba di gua di Bukit Zaitun - gua batu di mana jejak-jejak tangan Juruselamat kita secara ajaib tertera di atasnya. Aku percaya inilah gua di mana Adam melarikan diri dan menangis setelah ia jatuh dalam dosa.
Santa Perawan hancur-luluh dalam kesedihan yang hebat mendengar dukacita yang menimpa hati Putra Ilahinya yang penuh belas kasih, mendengar dukacita DiriNya disangkal oleh murid yang pertama-tama mengenali-Nya sebagai Putra Allah yang Hidup. Ia tak kuasa menopang tubuhnya dan jatuh di atas lantai batu, di mana jejak-jejak tangan dan kakinya tertera hingga hari ini. Aku melihat batu-batu itu, yang disimpan di suatu tempat, tetapi saat ini aku tidak dapat mengingatnya di mana. Pintu gerbang tidak lagi tertutup, orang banyak itu membubarkan diri. Ketika Santa Perawan telah siuman kembali, ia mohon agar dibawa ke tempat di mana ia dapat berada sedekat mungkin dengan Putra Ilahinya. Sebab itu, Yohanes membimbingnya, dan juga para perempuan kudus lainnya, ke depan penjara di mana Yesus dikurung. Bunda Maria ada bersama Yesus dalam roh, dan Yesus bersama BundaNya. Tetapi, bunda yang penuh kasih sayang ini begitu ingin mendengar dengan telinganya sendiri, suara Putra Ilahinya. Ia mendengarkan dengan seksama, tetapi yang terdengar bukan hanya erangan-Nya, melainkan juga kata-kata cercaan yang dilontarkan oleh mereka yang di sekelilingnya. Mustahil bagi para perempuan kudus itu untuk tinggal lebih lama lagi di pengadilan tanpa menarik perhatian. Dukacita Magdalena begitu hebat, hingga ia tak sanggup lagi menyembunyikannya. Dan meskipun Santa Perawan, dengan bantuan rahmat istimewa dari Allah yang Mahakuasa, dapat tinggal tenang dan berwibawa di tengah sengsaranya, toh ia pun dikenali orang dan harus mendengar kata-kata cemooh yang keji seperti, “Bukankah ia ini ibunda dari Orang Galilea itu? Putranya pastilah dihukum mati, tetapi tidak sebelum perayaan, kecuali, jika Ia sungguh seorang penjahat besar.”
Bunda Maria meninggalkan pengadilan dan pergi ke perapian di serambi, di mana sejumlah orang masih berdiri di sana. Ketika tiba di tempat di mana Yesus memaklumkan bahwa Ia adalah Putra Allah, dan orang-orang Yahudi yang jahat itu berteriak, “Ia harus dihukum mati!”, lagi, Bunda Maria lemas tak sadarkan diri. Yohanes dan para perempuan kudus menggendongnya pergi dalam keadaan lebih serupa mayat daripada seorang yang hidup. Orang-orang yang berada di sana tak mengatakan sepatah kata pun. Tampaknya mereka terkesima dan takjub, seperti yang akan terjadi di neraka apabila suatu makhluk surgawi lewat.
Para perempuan kudus sekali lagi melewati tempat di mana salib sedang dipersiapkan. Para pekerja tampaknya harus menghadapi banyak kesulitan dalam menyelesaikannya, seperti yang dihadapi para hakim dalam menjatuhkan hukuman mati atas-Nya. Setiap saat mereka harus mengambil kayu-kayu baru, sebab yang ini tidak cocok, dan yang lain pecah. Hal ini berlangsung terus hingga potongan-potongan kayu yang berbeda dipasangkan pada salib, sesuai kehendak Penyelenggaraan Ilahi. Aku melihat malaikat-malaikat yang membantu para pekerja ini untuk meneruskan pekerjaan mereka, dan tidak membiarkan mereka beristirahat hingga seluruhnya diselesaikan dengan cara yang layak dan pantas. Tetapi, ingatanku akan penglihatan ini tidak terlalu jelas.
sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|
![]() |