![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() Sterilisasi sebagai Kontrasepsi
![]() oleh: Romo William P. Saunders *
![]() Tetangga kami mengatakan bahwa putera-putera mereka beserta isteri mereka (semuanya Katolik dan mengenyam pendidikan di sekolah dasar maupun menengah Katolik), masing-masing dengan dua anak, berencana untuk tidak menambah anak lagi dan guna memastikan hal ini baru-baru ini mereka semua menjalani prosedur operasi untuk mencegah kehamilan. Para suami menjalani vasektomi dan para isteri menjalani tubektomi (= pemotongan saluran telur ke rahim). Teman kami beranggapan bahwa ini merupakan suatu bentuk pencegah kehamilan, dan kami setuju. Bagaimana sesungguhnya ajaran Gereja mengenai hal ini?
~ seorang pembaca di Dumfries
Tak diragukan lagi, pasangan-pasangan di atas jelas bermaksud mengabaikan ajaran Gereja mengenai kontrasepsi dan mereka melakukannya dengan menjalani operasi sterilisasi. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Kesuburan adalah suatu harta, satu anugerah, satu tujuan perkawinan. Dengan memberi kehidupan, suami isteri mengambil bagian dalam ke-Bapa-an Allah” (No. 2398). Sterilisasi melenyapkan kebajikan perkawinan ini, yaitu memperoleh keturunan. Sementara kontrasepsi itu sendiri bertentangan dengan hukum moral, suatu persoalan moral lain di sini adalah tindakan sterilisasi langsung secara sengaja, suatu tindakan yang pada hakekatnya jahat.
Sebelum membahas moralitas sterilisasi, kita pertama-tama patut ingat dasar moral di atas mana ajaran ini dibangun. Tiap-tiap orang adalah sungguh manusia yang berharga yang diciptakan seturut gambar dan citra Allah dengan sekaligus tubuh dan jiwa. Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes) dari Konsili Vatican II menegaskan, “Manusia, yang satu jiwa raganya, melalui kondisi badaniahnya sendiri menghimpun unsur-unsur dunia jasmani dalam dirinya, sehingga melalui unsur-unsur itu mencapai tarafnya tertinggi, dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang Pencipta. Oleh karena itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya; melainkan sebaliknya, ia wajib memandang baik serta layak dihormati badannya sendiri, yang diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir” (No. 14). St Paulus juga mengingatkan bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus (I Korintus 6:19) dan, oleh sebab itu, sepatutnyalah kita tidak merendahkan martabat badani kita dengan membiarkan tubuh ikut ambil bagian dalam tindakan dosa. Di samping itu, dosa yang demikian melukai tubuh Gereja.
Karena itu, kita bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani kita dengan makanan yang layak, istirahat, olah raga dan menjaga kebersihan. Manusia wajib untuk tidak melakukan suatupun yang dengan sengaja melukai tubuh atau fungsi tubuh. Sebagai misal, kadang kala kita minum obat guna memelihara kesehatan tubuh. Tetapi, kita tidak boleh mencelakai tubuh kita dengan mengkonsumsi obat-obatan terlarang atau obat-obatan yang diketahui sebagai berbahaya.
Kadang terjadi seorang harus menjalani operasi. Guna memelihara kesehatan seluruh tubuh yang adalah diri orang itu sendiri, maka suatu organ yang terjangkit penyakit atau tidak berfungsi normal hingga dapat mencelakai tubuh, dapat diangkat atau diperbaiki. Sebagai contoh, operasi untuk mengangkat usus buntu yang akan pecah secara moral sama benarnya dengan operasi untuk mengangkat suatu benjolan yang tampaknya adalah “bakal kanker”. Tetapi, memotong tangan yang sehat walafiat, yang dengan demikian merusakkan tidak hanya bagian tubuh tersebut melainkan juga segala fungsinya, merupakan suatu tindakan pengudungan dan adalah salah secara moral.
Dengan penjelasan ringkas mengenai prinsip-prinsip di atas, sekarang kita berpaling kembali ke sterilisasi. Di sini dibedakan antara sterilisasi langsung dan tidak langsung. Sterilisasi langsung berarti bahwa tujuan dari prosedur yang dilakukan adalah untuk meniadakan fungsi normal dari suatu organ yang sehat demi mencegah kehamilan di masa mendatang. Metode sterilisasi permanen yang paling efektif dan paling sedikit resikonya adalah melalui vasektomi bagi laki-laki dan tubektomi bagi perempuan. Sterilisasi langsung yang demikian merupakan suatu tindakan pengudungan dan karenanya secara moral dianggap salah. Sehubungan dengan cara-cara pengaturan kelahiran yang dilarang, Paus Paulus VI dalam ensiklik Humanae Vitae (1968) menegaskan, “Pula hendaknya dikutuk… adalah sterilisasi langsung, baik pada laki-laki maupun pada perempuan, baik permanen maupun sementara” (No. 14). Katekismus Gereja Katolik juga memaklumkan, “Kecuali kalau ada alasan-alasan terapi yang kuat, amputasi, pengudungan atau sterilisasi dari orang-orang yang tidak bersalah, merupakan pelanggaran terhadap hukum susila” (No. 2297).
Namun demikian, sterilisasi tak langsung secara moral diperkenankan. Di sini operasi, atau suatu prosedur, misalnya pengobatan atau terapi radiasi, tidak ditujukan untuk meniadakan fungsi normal dari suatu organ yang sehat atau untuk mencegah kehamilan; melainkan tujuan langsungnya adalah untuk mengangkat atau memperbaiki suatu organ yang sakit. Sayangnya, operasi atau terapi yang demikian dapat “secara tak langsung” mengakibatkan pasien menjadi steril. Sebagai contoh, jika seorang perempuan didiagnosa menderita kanker rahim, maka prosedur hysterectomy (= operasi pengangkatan rahim) adalah sah secara moral. Dampak langsungnya adalah untuk membuang organ yang terjangkit penyakit dan memelihara kesehatan tubuh perempuan tersebut; dampak tak langsungnya adalah bahwa ia akan menjadi steril dan tak akan pernah lagi dapat mengandung anak. Hal yang sama berlaku juga apabila salah satu indung telur perempuan atau salah satu testis laki-laki menderita kanker atau berfungsi tidak sebagaimana mestinya sehingga membahayakan keseluruhan tubuh. Patut dicamkan, bahwa untuk dapat dibenarkan secaral moral, operasi atau prosedur haruslah sungguh mengandung nilai pengobatan dan muncul dari suatu kebutuhan medis yang sebenarnya.
Yang terakhir, perhatian lebih lanjut perlu diberikan sehubungan dengan peran negara dalam masalah ini. Paus Pius XI dalam ensiklik Casti connubii (1930) memperingatkan, “Sebab ada sebagian orang yang, karena teramat berambisi mencapai tujuan-tujuan egenetika, tak hanya memberikan nasehat-nasehat tertentu yang bermanfaat demi lebih menjamin orang untuk memperoleh kesehatan prima dan keturunan yang sehat dan kuat jasmani di masa mendatang, … tetapi juga menempatkan egenetika melampaui segala tujuan lainnya dari tata hidup yang lebih tinggi; dan dengan otoritas publik bermaksud untuk melarang perkawinan bagi mereka semua yang, menurut norma-norma dan dugaan ilmu mereka, mereka pikir akan menghasilkan keturunan yang cacat dan tidak sempurna karena pewarisan genetik, bahkan meski orang-orang ini secara alamiah pantas memasuki jenjang perkawinan. Mengapakah, mereka bahkan menghendaki orang-orang yang demikian, bahkan bertentangan dengan kehendak orang-orang ini sendiri, agar dikucilkan dari hukum alam melalui operasi para dokter…. ” Paus Pius XI sesungguhnya menyampaikan suatu nubuat dalam ajarannya ini, sebab segera sesudahnya dunia menjadi saksi atas program egenetika Nazi Jerman yang meliputi juga sterilisasi besar-besaran terhadap mereka yang dianggap “tak dikehandaki”. Dalam dunia kita, berbagai pemerintahan sipil masih mempertimbangkan gagasan sterilisasi demi mengatasi masalah kesejahteraan sosial. Kita mungkin mencapai point di mana perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan menekan individu-individu dengan sejarah genetik tertentu agar disterilisasi daripada beresiko memiliki anak-anak yang mungkin berkebutuhan khusus.
Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) mengingatkan kita akan ancaman-ancaman yang “diprogramkan secara ilmiah dan sistematis” melawan kehidupan. Beliau melanjutkan, “… Di samping itu de facto kita menghadapi `persengkokolan obyektif melawan hidup', yang bahkan melibatkan lembaga-lembaga internasional, yang sekarang juga sibuk mendorong dan menjalankan kampanye-kampanye, untuk di mana-mana membuka peluang bagi kontrasepsi, sterilisasi dan pengguguran. Pantang disangkal pula, bahwa media massa sering terlibat dalam persekongkolan itu, dengan mempercayai kebudayaan, yang menggambarkan penggunaan kontrasepsi, sterilisasi dan penggururan serta bahkan eutanasia sebagai tanda kemajuan dan kejayaan kebebasan, sedangkan pendirian-pendirian yang tanpa syarat mendukung hidup dilukiskannya sebagai musuh-musuh kebebasan dan kemajuan” (No. 17).
Pada intinya, ajaran Gereja Katolik dalam masalah ini menghormati martabat individu, baik pribadi maupun tindakannya.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Church in Potomac Falls.
![]() sumber : “Straight Answers: Sterilization as Contraception” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
![]() Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|
![]() |