![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() oleh St. Alfonsus Liguori C.SS.R.
Pujangga Gereja
Bab TIGA
KEKUDUSAN YANG DIPERLUKAN SEORANG IMAM
![]() ![]() I. Kekudusan yang Diperlukan Imam karena Alasan Martabatnya
Hebatlah martabat imamat, tetapi hebatlah pula kewajibannya. Para imam diangkat ke tingkat yang tinggi, tetapi keunggulan ini harus disertai dengan keunggulan keutamaan; jika tidak, bukannya mendapatkan ganjaran, malahan mereka akan mendapatkan penghukuman yang ngeri. “Martabat imamat,” kata St Laurensius Justinian, “memang hebat, tetapi hebat pula beban yang disandangnya. Diangkat ke tingkat kehormatan yang tinggi ini, perlulah para imam menopang dirinya dengan keutamaan yang unggul; jika tidak, sebagai ganti ganjaran yang mulia, mereka akan mendapatkan penghukuman yang ngeri.” Dan St Petrus Chrysologus mengatakan, “Para imam dihormati, tetapi aku katakan bahwa beban juga ditimpakan ke atas pundak mereka.” Kehormatan imamat memang hebat, tetapi hebat pula bebannya; hebat pula pertanggungjawaban yang harus disampaikan imam kepada Tuhan. “Para imam,” kata St Hieronimus, “akan menyelamatkan diri mereka sendiri, tidak dengan martabat mereka, melainkan dengan karya yang dilakukannya sehubungan dengan martabat mereka.”
Setiap umat Kristiani hendaknya sempurna dan kudus, sebab setiap umat Kristiani mengaku mengabdi kepada Allah yang kudus. “Dalam hal ini,” kata St Leo, “menjadi seorang Kristiani berarti menanggalkan manusia duniawi dan mengenakan manusia surgawi. Sebab itu Yesus Kristus bersabda, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Tetapi, kekudusan yang harus dimiliki seorang imam amat berbeda dari kaum awam. “Antara imam dan awam,” kata St Ambrosius, “hendaknya tak ada kesamaan dalam hal bekerja dan berperilaku.” Orang kudus ini menambahkan bahwa karena rahmat yang terlebih berlimpah dianugerahkan kepada imam, maka hidup seorang imam haruslah lebih kudus dari kaum awam. Dan St Isidorus dari Pelusium mengatakan bahwa perbedaan antara kekudusan seorang imam dan seorang awam yang saleh haruslah sebesar perbedaan antara surga dan bumi. St Thomas mengajarkan bahwa setiap orang wajib mengamalkan apa yang pantas bagi status hidup yang telah ia pilih. Dan menurut St Agustinus, seorang, dengan masuk ke dalam status hidup klerikal, mendatangkan bagi dirinya sendiri kewajiban untuk menjadi kudus. Cassiodorus menyebut profesi klerikal sebagai suatu kehidupan surgawi. Thomas à Kempis mengatakan bahwa seorang imam terikat kewajiban untuk lebih sempurna dari kaum awam, sebab imamat adalah yang paling luhur dari segala status hidup. Salvian menambahkan bahwa dalam hal-hal di mana Tuhan menasehatkan kesempurnaan bagi kaum awam, maka Ia menjadikannya kewajiban yang sangat vital bagi para klerus.
Para imam dari Hukum Lama mengenakan di dahi mereka sebuah piringan di mana terukir kata-kata “Sanctum Domino,” agar mereka dapat senantiasa diingatkan akan kekudusan yang harus mereka miliki. Kurban-kurban yang dipersembahkan oleh para imam harus seluruhnya dihabiskan. Dan mengapakah? “Karena,” kata Theodoret, “untuk melambangkan kurban diri imam sepenuhnya bagi Tuhan.” St Ambrosius mengatakan bahwa guna mempersembahkan kurban secara layak, imam haruslah pertama-tama mempersembahkan dirinya sendiri dengan mempersembahkan seluruh keberadaannya kepada Tuhan. Dan Hesychius menulis bahwa sejak masa muda hingga wafatnya, seorang imam haruslah menjadi suatu kurban bakaran kesempurnaan yang sempurna. Sebab itu Tuhan bersabda kepada para imam dari Hukum Lama: Aku telah memisahkan kamu dari orang-orang lain, supaya kamu menjadi milik-Ku. Sekarang, dalam Hukum Baru, Tuhan menginstruksikan kepada para imam-Nya secara jauh lebih tegas untuk menjauhkan diri dari urusan-urusan duniawi agar mereka dapat bekerja hanya demi menyenangkan Tuhan, kepada Siapa mereka telah memberikan diri.
“Seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus,” kata St Paulus, “tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada Komandan-nya.” Dan Gereja yang kudus menghendaki agar mereka yang memasuki sanctuarium dengan menjadi imam, berikrar bahwa mereka tidak akan mengejar hal-hal duniawi, dan memaklumkan bahwa sejak saat itu mereka tidak akan memiliki warisan yang lain selain dari Tuhan. Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku. St Hieronimus mengatakan bahwa busana klerus, pada pokoknya, merupakan panggilan serta tuntutan untuk hidup kudus. Dengan demikian imam hendaknya tidak saja hanya menjauhkan diri dari segala kejahatan, melainkan juga melakukan usaha yang terus-menerus untuk mencapai kesempurnaan. Menurut St Bernardus, hal ini meliputi kesempurnaan yang dapat dicapai dalam kehidupan ini. St Bernardus menangis melihat begitu banyak orang mengejar Tahbisan Suci tanpa memikirkan kekudusan yang diperlukan bagi mereka yang hendak naik ke tingkat yang demikian tinggi. St Ambrosius mengatakan, “Sangat jarang yang dapat mengatakan, `TUHAN, Engkaulah bagian warisanku.' Sangat jarang yang kasihnya bernyala-nyala, atau yang hasratnya berkobar-kobar, atau yang tidak dirasuki oleh kepentingan-kepentingan duniawi.” St Yohanes Penginjil menulis, “Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita.” Dalam menjelaskan kata `kerajaan', Tirinus dan para penafsir lainnya mengatakan bahwa para imam adalah kerajaan Allah: pertama, karena dalam mereka Tuhan meraja dalam hidup ini melalui rahmat, dan kemudian melalui kemuliaan; kedua, karena mereka dijadikan raja-raja untuk meraja atas kejahatan. St Gregorius mengatakan bahwa seorang imam sepatutnya mati bagi dunia dan mati dari segala hasrat, demi menjalani suatu kehidupan yang sepenuhnya ilahi.
Imamat yang sekarang adalah sama dengan yang telah diterima Yesus Kristus dari BapaNya, “Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku.” Maka, sebab itu, kata St Krisostomus, imam adalah wakil Yesus Kristus, ia wajib memiliki sebanyak mungkin kemurnian yang akan memungkinkannya tahan berdiri di tengah para malaikat. St Paulus mendesak bahwa imam haruslah tak bercacat, “Karena itu penilik jemaat [Uskup] haruslah seorang yang tak bercacat.” Dalam kata `uskup', rasul tentu saja memaksudkan imam juga; sebab dari uskup ia langsung melanjutkan ke diakon, tanpa menyebut imam, “Demikian juga diaken-diaken” dst. Sebab itu, ia bermaksud menyertakan imam dalam kata uskup. Ayat ini dipahami dalam makna yang demikian oleh St Agustinus dan St Yohanes Krisostomus, yang dalam membicarakan masalah ini mengatakan, “Apa yang ia katakan mengenai uskup dimaksudkannya juga untuk imam.” Sekarang mengenai kata “tak bercacat” - tak bercela - semua orang tahu, bahwa artinya adalah memiliki segala keutamaan. “Tak bercacat mencakup segala keutamaan,” kata St Hieronimus. Dan dalam menjelaskan kata ini, Cornelius à Lapide mengatakan “tak bercacat dimaksudkan bagi dia yang tidak saja bebas dari segala kejahatan, melainkan juga dihiasi dengan segala keutamaan.”
Selama sebelas abad, mereka semua yang jatuh ke dalam dosa berat sesudah Pembaptisan, dikeluarkan dari imamat. Hal ini kita ketahui dari Konsili Nicea, dari Konsili Toledo, dari Konsili Elvira, dan dari Konsili Karthago IV. Dan jika seorang imam, setelah pentahbisannya jatuh ke dalam dosa, ia dikeluarkan dan dikurung dalam sebuah biara, seperti ditetapkan dalam beberapa kanon. Dalam kanon keenam, dikemukakan alasan berikut: Di atas segalanya, yang dikehendaki Gereja adalah ketidakberdosaan yang sempurna. Mereka yang tidak kudus tidak diperkenankan menyentuh hal-hal yang kudus. Dan dalam beberapa kanon kita membaca: “Sebab para klerus telah menjadikan Tuhan sebagai bagian warisan mereka, maka hendaknya mereka tidak terlibat dalam urusan dunia.” Konsili Trente memaklumkan, “Oleh sebab para klerus dianggap memiliki Tuhan sebagai bagian mereka, maka mereka wajib dengan segala cara mengendalikan seluruh hidup dan tutur kata mereka, seperti dalam berbusana, bertingkah laku, bersikap, berbicara, dan segala hal lainnya, agar tidak memperlihatkan selain dari apa yang saleh dan religius, dan yang selaras dengan ketentuan.” Dari para klerus, Konsili menghendaki kekudusan dalam berbusana, pula dalam berperilaku, berbahasa, dan bertindak. St Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa para imam hendaknya demikian kudus sehingga semua orang dapat memandang mereka sebagai teladan kekudusan; sebab Tuhan telah menempatkan mereka di bumi agar mereka hidup seperti para malaikat, dan menjadi penerang serta guru keutamaan bagi yang lain. Kata klerus, menurut St Hieronimus, berarti seorang yang telah mengambil Tuhan sebagai bagian warisannya.
Hal ini membuat pujangga yang kudus itu mengatakan, “Maka, kiranya seorang klerus memahami makna jabatannya, dan kiranya ia menyelaraskan hidupnya dengan gelar yang disandangnya.” Kiranya para klerus memahami makna dari jabatannya, dan hidup selaras dengannya; dan karena Tuhan adalah bagian warisan mereka, kiranya mereka hidup hanya bagi Tuhan saja, kata St Ambrosius. Imam adalah pelayan yang ditetapkan Tuhan untuk dua tugas yang paling mulia dan paling luhur, yaitu untuk menghormati-Nya dengan kurban dan untuk menguduskan jiwa-jiwa: Setiap imam besar diambil dari antara manusia dan ditahbiskan bagi manusia dalam hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. “Sebab itu,” kata St Thomas, “adalah untuk hal-hal yang berkenaan dengan Tuhan, seorang imam menerima perutusannya, dan sama sekali tidak diperkenankan ia mendapatkan kemuliaan atau kekayaan bagi dirinya sendiri.” Setiap imam dipilih oleh Tuhan, dan ditempatkan di dunia untuk bekerja, bukan untuk mendapatkan kekayaan, ataupun penghargaan, bukan untuk memanjakan diri dalam kesenangan, bukan untuk mensejahterakan keluarganya, melainkan hanya untuk kemuliaan Allah semata. “Imam ditahbiskan demi hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan.” Karenanya, dalam Kitab Suci, imam disebut sebagai milik Allah. Seorang yang bukan milik dunia, bukan milik sanak-saudara, bukan milik dirinya sendiri, melainkan hanya milik Allah, dan yang mencari tak lain selain dari Allah semata. Sebab itu dalam diri para imam hendaknya berlaku kata-kata Daud: “Itulah angkatan orang-orang yang menanyakan Dia, yang mencari wajah-Mu, ya Allah Yakub” Lihatlah angkatan yang hanya mencari Allah saja! Seperti di surga Tuhan telah menunjuk malaikat-malaikat tertentu untuk melayani di tahta-Nya, demikian pula di bumi, di antara manusia, Ia telah menetapkan para imam untuk mendatangkan kemulian bagi-Nya. Karenanya, Ia berkata kepada mereka: Aku telah memisahkan kamu dari orang-orang lain. St Yohanes Krisostomus menulis, “Sebab itu Tuhan telah memilih kita, agar kita dapat hidup seperti para malaikat bersama manusia di bumi.” Dan Tuhan Sendiri mengatakan, “Kepada orang yang karib kepada-Ku Kunyatakan kekudusan-Ku.” “Yaitu,” tambahnya, “Kekudusan-Ku akan dinyatakan melalui kekudusan para pelayan-Ku.”
II. Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Pelayan Altar
St Thomas mengatakan, lebih besarlah kekudusan yang dituntut dari seorang imam daripada dari seorang religius, mengingat tugas-tugas pelayanannya yang paling luhur, terutama dalam mempersembahkan Kurban Kudus Misa. “Karenanya,” tambah pujangga gereja yang kudus itu, “dalam suatu kasus yang sama, seorang klerus yang tertahbis berdosa lebih berat apabila ia melakukan sesuatu melawan kekudusan dalam statusnya, dibandingkan dengan seorang religius yang tidak tertahbis.” Dengarlah petuah terkenal St Agustinus, “Seorang biarawan yang baik sulit menjadi seorang klerus yang baik.” Karenanya, tak seorang pun dapat disebut sebagai seorang klerus yang baik kecuali jika ia melampaui seorang biarawan yang baik dalam hal keutamaan. “Seorang pelayan altar yang sejati,” kata St Ambrosius, “dilahirkan bagi Allah, bukan bagi dirinya sendiri.” Yaitu, seorang imam hendaknya mengesampingkan kenyamanan diri, kepentingan dan kesenangan pribadi; ia hendaknya ingat bahwa sejak saat menerima imamat, ia bukan milik dirinya sendiri, melainkan milik Tuhan; dan bahwa ia wajib melakukan hanya urusan-urusan Tuhan saja. Tuhan dengan jelas menghendaki para imam-Nya murni dan kudus; agar dengan bebas dari segala cela, mereka menghampiri altar untuk mempersembahkan kurban kepada-Nya. Dan, kata Nabi Maleakhi, “Ia akan duduk seperti orang yang memurnikan dan mentahirkan perak; dan Ia mentahirkan orang Lewi, menyucikan mereka seperti emas dan seperti perak, supaya mereka menjadi orang-orang yang mempersembahkan korban yang benar kepada TUHAN.” Dalam Kitab Imamat, Tuhan bersabda, “Mereka itu harus kudus bagi Allah-nya dan janganlah mereka melanggar kekudusan nama Allah-nya, karena merekalah yang mempersembahkan segala korban api-apian TUHAN, santapan Allah mereka, dan karena itu haruslah mereka kudus.”
Jadi, para imam dari Hukum Lama diperintahkan untuk menjadi kudus, sebab mereka mempersembahkan kepada Tuhan dupa dan roti, yang hanyalah lambang dari Sakramen Mahakudus dari altar. Betapa terlebih lagi kemurnian dan kekudusan yang dituntut dari para imam Hukum Baru, yang mempersembahkan kepada Tuhan Anak Domba yang tak bercela, Putra TunggalNya Sendiri? Estius mengatakan bahwa kita tidak mempersembahkan anak lembu atau dupa, seperti yang dilakukan para imam Hukum Lama, “melainkan tubuh Kristus yang tergantung di salib.” Karenanya, Bellarmino mengatakan, “Celakalah kita makhluk-makhluk malang, kepada siapa tugas paling mulia dipercayakan, namun kita begitu jauh dari semangat yang dituntut Tuhan dari para imam Hukum Lama, yang hanyalah sekedar bayangan saja jika dibandingkan dengan kita.” Tuhan memerintahkan bahkan mereka yang mengangkat bejana-bejana kudus harus bebas dari segala cela, “Sucikanlah dirimu, hai orang-orang yang mengangkat perkakas rumah TUHAN!” “Betapa terlebih lagi,” kata Petrus de Blois, “seharusnya kemurnian para imam yang membawa Yesus Kristus dalam tangan-tangan mereka dan di dada mereka?” “Ia, yang menggenggam dalam tangan-tangannya, bukan saja bejana-bejana emas,” kata St Agustinus, “melainkan juga bejana-bejana di mana wafat Tuhan dikenangkan, haruslah ia murni.” Santa Perawan Maria haruslah kudus dan bebas dari segala noda dosa, sebab ia akan membawa dalam rahimnya, dan juga akan menjadi bunda, dari Inkarnasi Sabda. “Jadi, mengapakah,” kata St Yohanes Krisostomus, “kekudusan tidak dinyatakan dengan lebih terang dari matahari, dalam tangan yang menyentuh daging Tuhan? dalam mulut yang dipenuhi api surgawi? dan dalam lidah yang dimerahkan dengan darah Yesus Kristus?” Imam di altar menempati tempat Yesus Kristus. “Karenanya, imam,” kata St Laurentius Justinian, “wajib menghampiri altar untuk mempersembahkan kurban seperti Yesus Kristus; meneladan sebanyak mungkin dari kemurnian dan kekudusan Yesus Kristus.” Berapa besarkah kekudusan yang dituntut seorang bapa pengakuan dari seorang biarawati, guna memperkenankannya menyambut Komuni Kudus setiap hari? Dan mengapakah kesempurnaan yang sama tidak dituntut dari seorang imam yang mempersembahkan Misa Kudus setiap pagi? “Harus diakui,” demikian pernyataan Konsili Trente, “manusia tak dapat melakukan suatu tindakan pun yang lebih kudus dan mulia dari merayakan Misa.” Sebab itu Konsili yang suci menambahkan bahwa para imam wajib dengan amat seksama mempersembahkan Kurban Kudus ini dengan nurani yang semurni mungkin. “Tetapi,” kata St Agustinus, “betapa mengerikan mendengar bahwa lidah yang memanggil Putra Allah turun dari surga ke bumi, juga berbicara melawan Allah; dan melihat tangan-tangan yang dibasuh dalam darah Yesus Kristus dicemari dengan noda-noda dosa.”
Jika Tuhan menuntut begitu banyak kemurnian dalam diri mereka yang akan mempersembahkan kurban binatang dan roti, dan jika Ia melarang persembahan itu dilakukan oleh dia yang cacat - Setiap orang dari antara keturunanmu turun-temurun yang bercacat badannya, janganlah datang mendekat untuk mempersembahkan santapan Allah-nya - “betapa terlebih lagi,” kata Kardinal Bellarmino, “kemurnian yang dituntut dari mereka yang akan mempersembahkan kepada Tuhan, PutraNya Sendiri, Anak Domba Allah?” St Thomas mengatakan bahwa kata “macula” mencakup segala cacat, “Barangsiapa memiliki kecanduan terhadap suatu kejahatan, tidak diperkenankan menerima Tahbisan Suci.” Dalam Hukum Lama, orang buta, orang timpang, orang kusta, tidak diperkenankan mempersembahkan kurban. Demikian pula janganlah datang untuk melayani-Nya, jika ia buta, jika ia timpang, jika ia bongkok, jika ia berkurap…. “Janganlah ia datang ke mezbah, karena badannya bercacat, supaya jangan dilanggarnya kekudusan seluruh tempat kudus-Ku.”
III. Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Pengantara Allah dan Manusia
Imam hendaknya kudus, karena ia mengemban tugas sebagai penyalur Sakramen-sakramen; dan juga karena ia adalah pengantara (mediator) antara Tuhan dan para pendosa. “Imam berdiri di antara Tuhan dan manusia,” kata St Yohanes Krisostomus, “dengan menyampaikan rahmat-rahmat Tuhan kepada kita, dan dengan menyampaikan permohonan-permohonan kita kepada Tuhan; imam meredakan murka Allah, dan menghindarkan kita dari pukulan-pukulan keadilan-Nya.” Melalui para imam, Tuhan menyampaikan rahmat-Nya kepada umat beriman dalam sakramen-sakramen. Melalui para imam, Tuhan menjadikan kita anak-anak-Nya, dan menyelamatkan kita melalui Pembaptisan: “Sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Melalui para imam, Tuhan menyembuhkan sakit dan bahkan menghidupkan kembali, dengan Sakramen Tobat, para pendosa yang telah mati terhadap rahmat ilahi. Melalui para imam, Tuhan memberi makan jiwa-jiwa, dan memelihara hidup rahmat ilahi dalam diri mereka dengan Sakramen Ekaristi: “Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.” Melalui para imam, Tuhan memberikan kekuatan kepada mereka yang menjelang ajal, guna mengatasi pencobaan-pencobaan neraka, dengan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Singkat kata, St Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa tanpa imam, kita tidak dapat diselamatkan. Menurut St Prosper, para imam disebut para hakim kehendak ilahi. Menurut St Krisostomus, tembok-tembok Gereja. Menurut St Ambrosius, serikat kekudusan, dan menurut St Gregorius Nazianzen, dasar-dasar dunia, dan tiang-tiang iman. Karenanya St Hieronimus mengatakan bahwa imam, dengan daya kekudusannya, harus memikul beban segala dosa dunia. Wahai, betapa beban yang teramat dahsyat! Dan imam harus berdoa untuknya, dan untuk dosa-dosanya di hadapan Tuhan, maka dosa-dosa akan dihapuskan. Karena alasan inilah Gereja yang kudus mewajibkan para imam untuk mendaraskan Ofisi setiap hari, dan merayakan Misa Kudus sekurang-kurangnya beberapa kali dalam setahun. St Ambrosius mengatakan bahwa imam hendaknya tidak pernah berhenti, baik siang maupun malam, untuk berdoa bagi segenap umat manusia. Tetapi, untuk mendapatkan rahmat-rahmat bagi umat manusia, imam haruslah kudus. “Mereka yang adalah pengantara antara Tuhan dan manusia,” kata St Thomas, “haruslah bercahaya di hadapan Tuhan dengan nurani yang baik, dan dengan reputasi yang baik di hadapan manusia.”
St Gregorius mengatakan bahwa akan merupakan suatu kelancangan bagi seorang perantara untuk menghadirkan diri di hadapan seorang raja guna memohonkan pengampunan bagi para pemberontak, sementara ia sendiri dihadapkan dengan dakwaan bersalah atas pengkhianatan. Mereka yang ingin menjadi perantara bagi yang lain, kata orang kudus yang sama, haruslah memiliki penilaian baik dan kepercayaan dari raja; sebab andai raja tidak berkenan kepada mereka, maka perantaraan mereka hanya akan menambahkan murka sang penguasa. Sebab itu, menurut St Agustinus, imam haruslah memiliki kebajikan yang demikian di hadapan Tuhan agar ia dapat memperolehkan bagi orang-orang apa yang, karena kelemahan mereka, tak berani mereka harap untuk menerimanya. Dan Paus Hormisdas mengatakan, “Imam harus lebih kudus dari awam, sebab ia harus berdoa bagi mereka.” Tetapi, St Bernardus dengan berlinang airmata mengatakan, “Lihatlah, dunia ini penuh dengan imam-imam, namun demikian hanya ada sedikit saja pengantara.” Ya, sebab hanya sedikit saja imam yang kudus dan layak menjadi pengantara. Berbicara mengenai para klerus yang buruk, St Agustinus mengatakan, “Tuhan lebih suka mendengar gonggongan anjing daripada mendengar doa-doa para imam yang demikian.”
Pater Marchese, dalam Jurnal Dominikan, menulis bahwa ketika seorang abdi Allah dari Ordo St Dominikus memohon kepada Tuhan untuk berbelas-kasihan kepada manusia demi jasa-jasa para imam, ia mengatakan kepada biarawati tersebut, bahwa karena dosa-dosanya, para imam hanya akan membangkitkan murka daripada meredakan murka Allah.
IV. Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Teladan Umat Beriman
Imam hendaknya kudus; sebab Tuhan telah menempatkan mereka di dunia sebagai teladan keutamaan. Para imam disebut oleh St Yohanes Krisostomus sebagai “Guru Kesalehan'; oleh St Hieronimus, “Penebus Dunia”; oleh St Prosper, “Pintu ke Kota Abadi bagi Segenap Bangsa”; dan oleh St Petrus Chrysologus, “Teladan Keutamaan.” Karenanya St Isidor mengatakan, “Barangsiapa menghantar orang-orang di jalan keutamaan, ia sendiri haruslah kudus dan tak bercacat.” Paus Hormisdas menulis, “Kiranya tak bercacat mereka yang memimpin orang-orang lain guna memperbaiki mereka.” Dan St Denis telah memaklumkan pepatah yang terkenal itu, bahwa hendaknya tak seorang pun berani menjadi pembimbing orang-orang lain, terkecuali jika dengan keutamaan-keutamaannya, ia telah menjadikan diri sungguh berkenan di hadapan Allah.
Dan menurut St Gregorius, khotbah-khotbah imam yang hidupnya tidak mendidik, hanya mendatangkan kemuakan dan tak menghasilkan buah. St Thomas menambahkan, “Untuk alasan yang sama sia-sialah segala pelayanan rohani imam yang demikian.” Berbicara mengenai imam Allah, St Gregorius Nazianzen menulis, “Imam haruslah terlebih dahulu bersih sebelum ia dapat membersihkan yang lain; ia haruslah terlebih dahulu datang kepada Tuhan sebelum ia dapat menghantar yang lain datang kepada-Nya; ia haruslah terlebih dahulu menguduskan diri sendiri sebelum ia dapat menguduskan yang lain; ia haruslah terlebih dahulu menjadi terang sebelum ia dapat menerangi yang lain.” Tangan yang akan membasuh noda dan kotoran orang lain haruslah tak tercemar, kata St Gregorius. Di lain kesempatan ia mengatakan bahwa obor yang tidak menyala tidak dapat menyalakan obor yang lain. Dan St Bernardus mengatakan, bagi imam yang tidak tahu mengasihi, bahasa kasih adalah sesuatu yang aneh dan asing. Imam ditempatkan di dunia sebagai cermin, di mana awam hendaknya mematut diri: “kami telah menjadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia.” Karenanya, berbicara mengenai para klerus, Konsili Trente mengatakan, “Yang lain mengarahkan mata kepada mereka seperti pada cermin, dan mendapatkan dari sana apa yang harus diteladani.” Filipus sang Abbas biasa mengatakan bahwa para imam dipilih untuk membela umat manusia, tetapi untuk maksud ini martabat mereka saja tidaklah cukup; kekudusan hidup juga penting.
Konsekuensi Praktis
Doktor Apgelic, merenungkan segala yang telah dikatakan mengenai kekudusan yang diperlukan dalam imamat, menulis bahwa untuk melaksanakan Tahbisan Suci secara layak, dituntut lebih dari sekedar keutamaan biasa. Lagi, katanya, “Mereka yang membaktikan diri untuk merayakan misteri-misteri ilahi haruslah sempurna dalam keutamaan.” Di lain kesempatan ia mengatakan, “Untuk melaksanakan tugas ini secara layak, dituntut kesempurnaan batin.” Para imam haruslah kudus, agar mereka dapat mendatangkan kemuliaan, dan bukan kecemaran, kepada Tuhan yang adalah Tuan yang mereka layani: “Mereka itu harus kudus bagi Allah-nya dan janganlah mereka melanggar kekudusan nama Allah-nya.” Adakah seorang menteri negara terlihat bersenang-senang di tempat-tempat hiburan umum, kerap kali mendatangi bar, bergaul dengan para pembuat onar, berbicara dan bertindak dengan perilaku yang dianggap mendatangkan cela bagi raja? Adakah seorang pelayan negara yang demikian menyenangkan tuannya? Dari para imam yang bergelimang dosa, yang adalah pelayan-pelayan-Nya, Yesus Kristus mendapat cela. St Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa mengenai para imam yang hidup dalam dosa, orang-orang kafir akan berkata, “Tuhan macam apakah yang dimiliki mereka yang melakukan hal-hal yang demikian itu? Apakah Ia membiarkan mereka jika Ia tidak menyetujui tingkah laku mereka?”
Andai orang-orang Cina, orang-orang India, melihat seorang imam Yesus Kristus melewatkan hidup penuh skandal, mereka mungkin akan berkata, bagaimana mungkin kita dapat percaya bahwa Allah yang diwartakan imam-imam yang demikian adalah Allah yang sejati? Andai Ia adalah Allah yang sejati, bagimana mungkin Ia dapat tahan dengan kejahatan mereka jika Ia Sendiri tidak ikut serta dalam kejahatan mereka? Sebab itu St Paulus mendesak: “Dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah.” Marilah kita, katanya mengenai para imam, menunjukkan bahwa kita adalah pelayan-pelayan sejati Allah, dalam menahan dengan penuh kesabaran - menanggung dalam damai, kemiskinan, kelemahan, aniaya; dalam berjaga-jaga dan berpuasa - waspada dalam segala hal yang berkenaan dengan kemuliaan Allah, bermatiraga; dalam kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran, dan kemurahan hati - dalam memelihara kemurnian yang kudus, dalam memperkaya pengetahuan demi menolong jiwa-jiwa, dalam mengamalkan kelemahlembutan dan amal kasih sejati kepada sesama; sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita - tampaknya menderita karena direnggut dari kesenangan-kesenangan dunia, tetapi sesungghnya bersukacita menikmati damai yang adalah bagian dari anak-anak Allah; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu - miskin dalam barang-barang duniawi, tetapi kaya dalam Tuhan; sebab barangsiapa memiliki Tuhan, memiliki segalanya. Demikianlah seharusnya seorang imam.
Singkat kata, para imam haruslah kudus; sebab mereka adalah pelayan-pelayan Allah yang Mahakudus: “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Para imam hendaknya siap memberikan nyawa mereka bagi jiwa-jiwa, sebab mereka adalah pelayan-pelayan Yesus Kristus, Yang, seperti dikatakan-Nya Sendiri, datang untuk wafat bagi kita semua yang adalah domba-domba-Nya: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” Akhirnya, para imam haruslah bekerja segenap jiwa raga demi menyalakan api kasih ilahi yang kudus dalam diri semua orang; sebab mereka adalah pelayan-pelayan Inkarnasi Sabda, Yang telah datang ke dalam dunia untuk maksud itu: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!” Daud dengan tulus hati memohon kepada Tuhan supaya kiranya dikabulkan, demi kebaikan seluruh dunia, agar para imam-Nya dibalut dalam pakaian kebenaran: “Biarlah imam-imam-Mu berpakaian kebenaran.”
Kebenaran mencakup segala keutamaan. Setiap imam hendaknya berpakaian iman, dengan hidup sesuai nasehat-nasehat yang bukan dari dunia, melainkan dari iman. Nasehat-nasehat dunia adalah: Carilah kekayaan dan harta milik, perolehlah hormat dari yang lain, nikmatilah segala kesenangan yang ada dalam jangkauan kita. Nasehat-nasehat iman adalah: Berbahagialah mereka yang miskin, peluklah penghinaan, milikilah penyangkalan diri dan cintailah penderitaan. Imam haruslah berpakaian kepercayaan yang kudus; mengharapkan segala sesuatu bukan dari makhluk ciptaan, melainkan hanya dari Tuhan saja. Imam haruslah berpakaian kerendahan hati, menganggap diri layak atas segala penghukuman dan cemooh; berpakaian kelemah-lembutan, dengan bersikap sabar kepada semua orang, teristimewa terhadap mereka yang tidak sopan dan pemarah; berpakaian belas kasih kepada Tuhan dan manusia: kepada Tuhan, hidup dengan jiwanya dalam persatuan penuh dengan Tuhan, dan menjadikan hatinya, melalui doa batin, sebuah altar di mana api kasih ilahi senantiasa berkobar; dan kepada manusia, dengan melaksanakan amanat rasul, “Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan”; dan berusaha dengan segala daya upayanya untuk membantu semua orang, baik dalam kebutuhan-kebutuhan rohani maupun duniawi. Aku katakan semua orang - bahkan termasuk mereka yang menganiayanya dan mereka yang memperlakukannya dengan tak tahu berterima kasih. St Agustinus mengatakan, “Tak suatu pun di dunia ini yang lebih menguntungkan atau lebih terhormat di mata manusia daripada jabatan imamat.
Tetapi di mata Tuhan, tidak ada yang lebih berat, penting dan berbahaya.” Sungguh suatu kebahagiaan dan keuntungan besar menjadi seorang imam, memiliki kuasa membuat Inkarnasi Sabda turun dari surga ke dalam tangan-tangannya, dan membebaskan jiwa-jiwa dari dosa dan neraka, menjadi vicar Yesus Kristus, terang dunia, pengantara antara Tuhan dan manusia, diangkat lebih tinggi dari semua raja dunia, memiliki kuasa lebih hebat dari para malaikat; singkat kata, seperti kata St Klemens, menjadi Tuhan di atas bumi: tak ada yang lebih menguntungkan daripada ini. Tetapi, di lain pihak, tidak ada yang lebih penting dan lebih berbahaya. Sebab, jika dalam tangan-tangannya Yesus Kristus turun untuk menjadi santapan, imam harus lebih murni dari air yang paling jernih, seperti dikatakan kepada St Fransiskus Assisi dalam suatu penglihatan. Jika ia adalah pengantara bagi manusia di hadapan Tuhan, ia harus menghaturkan diri di hadapan Tuhan bebas dari segala noda dosa; jika ia adalah vicar sang Penebus, ia dalam hidupnya harus serupa dengan-Nya. Jika ia adalah terang dunia, ia harus bercahaya dengan semarak segala keutamaan. Akhirnya, jika ia adalah seorang imam, ia harus kudus. Jika ia tidak bertaut pada rahmat Tuhan, semakin besar anugerah yang ia terima, semakin ngeri pula pertanggung-jawaban yang harus ia sampaikan kepada Tuhan. “Sebab,” kata St Gregorius, “semakin anugerah Tuhan bertambah, semakin bertambah pula tanggung-jawab yang dituntut dari seorang kepada Tuhan.” St Bernardus mengatakan bahwa seorang imam “mengemban jabatan surgawi, bahwa ia dijadikan seorang malaikat Tuhan, dan [tambah orang kudus ini], seperti seorang malaikat, ia ditetapkan untuk kemuliaan surgawi atau kebinasaan neraka.”
St Ambrosius mengatakan bahwa seorang imam hendaknya bebas bahkan dari kesalahan-kesalahan terkecil sekalipun. “Keutamaan yang sedang-sedang atau biasa-biasa saja tidaklah cukup bagi seorang imam,” kata pujangga yang sama; “imam harus waspada tidak hanya atas kesalahan-kesalahan yang memalukan, melainkan bahkan atas kesalahan-kesalahan yang remeh.” Karenanya, jika seorang imam tidak kudus, ia ada dalam bahaya besar akan tersesat. Apakah yang dilakukan sebagian, atau sesungguhnya sebagian besar imam, demi mencapai kekudusan? Mereka mendaraskan Ofisi dan mempersembahkan Misa, dan tidak melakukan apa-apa lagi: mereka hidup tanpa melakukan doa batin, tanpa matiraga, tanpa permenungan. Sebagian mengatakan, Cukuplah itu bagiku untuk memperoleh keselamatan. “Tidak,” kata St Agustinus, “itu saja tidak cukup; jika engkau katakan bahwa itu saja cukup, maka engkau akan tersesat.” Untuk menjadi kudus, seorang imam haruslah melewatkan hidup yang bebas dari segala bentuk ikatan, dari masyarakat duniawi, dari puji-pujian yang sia-sia, dsb: dan teristimewa dari ikatan terlalu erat dengan sanak saudara. Apabila keluarga melihat imam membantu, tetapi hanya sedikit saja, kepentingan keluarganya, dan membaktikan diri sepenuhnya pada hal-hal surgawi, mereka akan berkata kepadanya: mengapakah engkau berbuat demikian terhadap kami? Imam harus menjawab mereka dengan kata-kata yang diucapkan Kanak-Kanak Yesus kepada BundaNya ketika BundaNya menemukan-Nya di Bait Allah: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Demikianlah seharusnya jawaban seorang imam kepada sanak keluarganya. Tidakkah kalian, demikianlah seharusnya ia berkata kepada mereka, telah merelakanku menjadi seorang imam. Tidakkah kalian tahu bahwa seorang imam wajib melayani hanya Allah saja? Hanya Dia saja yang kucari dengan rindu.
Sumber : “The Dignities and Duties of the Priest by St. Alphonsus Liguori C.SS.R.”; www.catholictradition.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic Tradition.”
|
![]() |