YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Gerakan-gerakan dalam Misa: Apa Maknanya?
oleh: Romo William P. Saunders *
Saya selalu bertanya-tanya mengenai beberapa gerakan yang dilakukan dalam Perayaan Misa - membuat Tanda Salib ketika Injil dibacakan, membungkukkan badan saat mendaraskan Syahadat dan saling berjabat tangan sebagai salam damai. Darimana gerakan-gerakan ini berasal? Apakah gerakan-gerakan tersebut wajib dilakukan ataukah tidak, karena sebagian orang tidak melakukannya?
~ seorang pembaca di Leesburg

Gerakan-gerakan ini diatur dalam Pedoman Umum Misale Romawi dan dengan demikian sepatutnya dilakukan oleh semua umat beriman. Setiap gerakan juga mempunyai tradisi yang kuat dalam Perayaan Misa.

Mengenai gerakan membuat Tanda Salib sebelum Injil dibacakan, yaitu setelah diakon atau imam mengatakan, “Inilah Injil Yesus Kristus menurut …,” ia dan umat beriman membuat Tanda Salib dengan ibu jari di dahi, bibir dan dada. (Diakon atau imam juga membuat Tanda Salib pada buku Bacaan Misa atau Injil). Hal mengenai membuat Tanda Salib sebelum Injil dibacakan, pertama kali dicatat pada abad ke-9: Regimius dari Auxerre (wafat ± tahun 908) dalam 'Expositio' (= Penjelasan) yang ditulisnya mencatat bagaimana umat dalam kongregasi menandai dahi mereka dan diakon menandai dahi serta dadanya. Pada abad ke-11, seperti ditegaskan oleh Paus Inosensius III, diakon akan membuat Tanda Salib pada buku Bacaan Misa atau Injil, dan kemudian ia, dan juga umat, akan membuat Tanda Salib pada dahi, bibir dan dada / hati. Makna dari tiga kali menandai diri itu adalah bahwa kita ingin mendengarkan Injil dengan akal budi yang terbuka, mewartakannya dengan bibir kita, dan mencamkan serta memeliharanya dalam hati kita. Kita mohon pada Tuhan rahmat untuk menerima, menanggapi dan mengakui iman yang telah kita terima dari Injil melalui Tuhan kita, Yesus Kristus, Sabda yang Menjadi Daging.

Dalam Pengakuan Iman (Konsili Nicea Konstantinopel) umat membungkukkan badan untuk menghormati misteri inkarnasi “…dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia.” Sebelum Novus Ordo tahun 1969, umat berlutut dengan satu kaki (genuflect) saat mendaraskan kata-kata tersebut. Catatan paling kuno mengenai praktek ini berasal dari abad ke-12, seperti didapati dalam tulisan-tulisan Beato Petrus dari Cluny (wafat tahun 1156), dan dalam ritual-ritual Ordo Cartusiensis (Kartusian) dan Ordo Premonstratensian. Gerakan fisik ini - baik itu membungkukkan badan atau pun genuflect - membantu kita menyadari misteri Inkarnasi yang luhur, ketika Tuhan kita, Yesus Kristus, datang ke dalam dunia demi keselamatan kita, sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia.

Dan akhirnya, mengenai salam damai (dulu disebut “Cium Damai”) bahkan berasal dari tradisi yang lebih kuno lagi. St. Yustinus Martir (wafat tahun 165) dalam 'Penjelasan Pertama' yang ditulisnya (yang merupakan salah satu sumber tulisan tertua mengenai Misa) menggambarkan penyampaian salam damai setelah bacaan dan doa umat, tetapi sebelum doa persembahan. Tertulianus (wafat tahun 150) menganggap Cium Damai sebagai “materai” yang diterakan atas doa-doa yang kita unjukkan. St. Sirilus dari Yerusalem (wafat tahun 386) dalam 'Pelajaran Katekese'nya juga mencatat bagaimana diakon akan meminta umat untuk saling menyampaikan salam damai. Di samping itu, St. Sirilus menjelaskan, “Jangan menganggap cium ini sama seperti yang diberikan antara rekan dagang di pasar. Cium ini tidaklah serupa itu. Cium ini memadukan jiwa dengan jiwa dan mendorong kita untuk melupakan segala kesalahan. Cium ini, karenanya, merupakan tanda persatuan jiwa dan menghapus segala ingatan akan kesalahan. Mengenai hal inilah Kristus mengatakan, 'Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.' Cium itu, karenanya, adalah cium damai, dan sebab itu cium ini adalah kudus. Demikianlah juga, Paulus menasehatkan, 'Sampaikanlah salam seorang kepada yang lain dengan cium kudus', dan Petrus 'Berilah salam seorang kepada yang lain dengan cium yang kudus.'”

Dipandang sebagai suatu pendahuluan yang tulus sebelum menyambut Komuni Kudus dan sebagai penegasan arti keseluruhan Misa, Paus Inosensius I dalam sepucuk surat kepada Uskup Gubbio (wafat tahun 416) mengamanatkan Cium Damai setelah konsekrasi. Selanjutnya, Paus Gregorius Agung (wafat tahun 604) mengganti penempatan Cium Damai sesudah doa Bapa Kami.

Oleh sebab perkembangan jumlah umat selama berabad-abad, terjadi juga perkembangan dalam hal penyampaian Cium Damai. Pada abad ke-10, Cium Damai di mulai dari altar dan kemudian menyebar kepada umat. Pada abad ke-13, sebuah papan cium atau 'Papan Damai' (osculatorium) diperkenalkan di mana imam menciumnya dan kemudian papan tersebut diedarkan kepada umat di mana masing-masing umat menciumnya. Pada akhirnya, salam damai disampaikan hanya pada saat Misa Raya dalam bentuk peluk antar imam, diakon dan subdiakon. Dalam Misa biasa, imam hanya akan mencium altar dan mengatakan, “Pax tecum” yang ditanggapi dengan, “Et cum spiritu tuo.”

Dalam Novus Ordo, Cium Damai dikembalikan ke prakteknya semula. Imam dapat mengundang umat untuk saling menyampaikan salam damai “sesuai adat kebiasaan setempat.” Perlu dicatat bahwa imam tidak harus mengundang umat untuk melakukannya; penyampaian salam secara lisan antara imam dengan umat dalam seruan “Damai Tuhan bersamamu” yang ditanggapi umat dengan “Dan bersama rohmu” dapat dianggap cukup untuk ritual ini. Bentuk-bentuk salam damai dapat berupa jabat tangan, peluk, atau bahkan cium untuk orang-orang yang kita kasihi.

Gerakan-gerakan ini patut dilakukan dengan sungguh-sungguh dan khidmad. Gerakan-gerakan tersebut merupakan tindakan fisik yang dapat membantu kita membentuk sikap rohani yang pantas dan saleh dalam merayakan Kurban Kudus Misa.

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Gestures at Mass” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1998 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”