Berjalan bersama Para Kudus:
Agustus
1 Agustus
|
St. Alfonsus Maria de Liguori
|
Alfonsus dilahirkan dekat Naples, Italia pada tahun 1696. Ia seorang pelajar yang giat belajar. Ia mendapatkan gelar dalam bidang hukum dan menjadi seorang pengacara terkenal. Suatu kesalahan yang dibuatnya di pengadilan membuat Alfonsus yakin akan apa yang telah ada dalam pikirannya: ia harus meninggalkan pekerjaannya dan menjadi seorang imam. Ayahnya berusaha membujuk Alfonsus agar ia mengurungkan niatnya itu. Tetapi, tekad Alfonsus sudah bulat. Ia menjadi seorang imam.
Kehidupan Alfonsus dipenuhi dengan berbagai macam kegiatan. Ia berkhotbah dan menulis banyak buku. Ia membentuk suatu kongregasi rohani yang disebut “Kongregasi Pater-Pater Redemptoris” (CSsR; Redemptoris artinya Sang Penebus). Alfonsus memberikan pengarahan rohani yang bijaksana dan membawa damai bagi umatnya melalui Sakramen Rekonsiliasi. Ia juga menulis lagu puji-pujian, bermain organ dan melukis. St. Alfonsus menulis enampuluh buah buku. Ini sungguh luar biasa mengingat tugas dan tanggung jawabnya yang lain amatlah banyak. Ia juga sering menderita sakit. Ia sering sakit kepala, tetapi segera ia akan menempelkan sesuatu yang dingin ke dahinya dan terus tetap bekerja.
Meskipun pada dasarnya ia mempunyai kecenderungan untuk bersikap terburu-buru, Alfonsus berusaha untuk menguasai diri. Ia amat rendah hati, hingga ketika pada tahun 1798 Paus Pius VI ingin mengangkatnya menjadi seorang Uskup, dengan lembut ia mengatakan “tidak”. Ketika para utusan paus telah datang secara pribadi untuk menyampaikan keputusan paus kepadanya, mereka menyapa Alfonsus dengan “Tuan yang Termasyhur”. Alfonsus menjawab, “Tolong, jangan memanggilku seperti itu lagi. Sebutan itu akan membuatku mati.” Paus memberikan pengertian kepada Alfonsus bahwa ia sungguh menghendaki Alfonsus menjadi seorang Uskup.
Alfonsus mengutus banyak pengkhotbah ke seluruh wilayah keuskupannya. Umat perlu diingatkan kembali akan cinta kasih Tuhan dan akan pentingnya iman mereka. Alfonsus berpesan kepada para imam untuk menyampaikan khotbah yang sederhana. “Saya tidak pernah menyampaikan khotbah yang tidak dapat dimengerti bahkan oleh nenek tua yang paling lugu yang ada di gereja,” katanya. Dengan semakin bertambahnya usia, Alfonsus menderita berbagai penyakit. Ia menderita radang sendi yang menyiksanya dan menjadikannya lumpuh. Ia kehilangan pendengarannya serta nyaris buta. Ia juga harus mengalami berbagai kekecewaan dan pencobaan. Namun, Alfonsus memiliki devosi yang amat mendalam kepada Santa Perawan Maria, seperti yang dapat kita ketahui melalui bukunya yang terkenal yang berjudul 'Kemuliaan Maria'. Segala penderitaan dan pencobaan itu berakhir dengan damai dan sukacita serta kematian yang kudus.
Alfonsus wafat pada tahun 1787 pada usia sembilanpuluh satu tahun. Paus Gregorius XVI menyatakannya kudus pada tahun 1839. Paus Pius IX memberinya gelar Doktor Gereja pada tahun 1871.
“Bersama Tuhan, penebusan berlimpah.” ~ St. Alfonsus
2 Agustus
|
St. Eusebius
|
Eusebius dilahirkan di pulau Sardinia, Italia, sekitar tahun 283. Kedua orangtuanya adalah orang-orang Kristen yang saleh. Menurut tradisi, ayahnya wafat sebagai martir. Eusebius senantiasa aktif dalam komunitas Kristiani. Ia terpanggil untuk melayani umat di Roma dan kemudian pergi ke Italia utara, ke Vercelli. Eusebius dipilih sebagai uskup pertama Vercelli. Uskup Eusebius dan sebagian imamnya menjalani hidup biasa seturut gaya hidup para biarawan dalam biara. Para imamnya mendapatkan persiapan matang untuk bertumbuh dalam kehidupan rohani. Mereka juga berlajar bagaimana menghadapi orang-orang yang datang kepada mereka untuk mohon bimbingan. Para imam dalam bimbingan St Eusebius menjadi pelayan-pelayan Kristus yang tekun dan riang gembira. Banyak dari antara mereka yang di kemudian hari ditahbiskan sebagai uskup.
Pada masa itu, bidaah Arian tersebar luas. Banyak orang menjadi bingung dan menganggap bidaah tersebut sebagai benar. Kaisar Konstantius juga seorang penganut bidaah Arian, ia menghendaki agar semua orang berpihak kepadanya. Para uskup yang tidak mau tunduk padanya dibuang dari keuskupan mereka. St Atanasius dibuang pada tahun 355. Eusebius hadir dalam Sidang Milan yang mengutuk St Atanasius. Tetapi, Eusebius tidak mau memberikan suaranya untuk menentang Atanasius, jadi ia disingkirkan juga. Eusebius dibuang ke Palestina. Pada mulanya, seorang yang baik hati memberinya tumpangan sebagai tamu terhormat di rumahnya. Tetapi, orang yang baik ini meninggal dunia dan para penganut bidaah Arian menculik sang uskup. Mereka menganiaya, menyeretnya di jalan-jalan, lalu mengurungnya dalam sebuah kamar sempit empat hari lamanya. Ketika para utusan dari keuskupan Vercelli menuntut agar uskup dibebaskan serta dikembalikan ke tempat asalnya, tuntutan dipenuhi. Tetapi, sebentar kemudian, bapa uskup disiksa dan dianiaya kembali. Ketika Konstantius wafat pada tahun 361, kaisar berikutnya mengijinkan para uskup yang diasingkan untuk kembali ke keuskupan mereka.
St Eusebius adalah seorang pembela kebenaran yang gagah berani, juga para uskup lainnya yang mengagumkan pada masa itu, seperti St Atanasius dan St Meletius. St Eusebius diyakini sebagai salah seorang yang memberikan sumbangan dalam persiapan “Kredo Atanasius.” Kredo ini merupakan salah satu kredo yang sangat berharga di mana dinyatakan segala apa yang kita yakini sebagai orang Katolik. Uskup Eusebius menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di Vercelli, di tengah umat keuskupannya. Ia wafat pada tanggal 1 Agustus 371.
“Aku mohon pada kalian agar memelihara iman dengan penuh waspada, mengusahakan kerukunan, bertekun dalam doa, ingatlah aku selalu, agar kiranya Kristus menganugerahkan kebebasan kepada GerejaNya yang menderita di seluruh penjuru dunia.” ~ St Eusebius
2 Agustus
|
St. Petrus Yulianus Eymard
|
Pada tahun 1811 Petrus Yulianus Eymard dilahirkan di sebuah kota kecil yang termasuk dalam wilayah keuskupan Grenoble, Perancis. Bersama ayahnya, Petrus bekerja membuat serta memperbaiki pisau hingga usianya delapanbelas tahun. Waktu luangnya dipergunakannya untuk belajar. Ia belajar sendiri bahasa Latin dan menerima bimbingan rohani dari seorang imam yang baik hati. Petrus ingin sekali menjadi seorang imam. Ketika usianya duapuluh tahun, Petrus memulai pelajarannya di Seminari Grenoble. Petrus Yulianus akhirnya ditahbiskan menjadi seorang imam pada tahun 1834 dan selama lima tahun berikutnya ia melayani di dua paroki. Umat menyadari betapa Pastor Eymard telah menjadi berkat bagi mereka semua.
Ketika P. Eymard meminta ijin kepada Bapa Uskup untuk menggabungkan diri dengan suatu ordo baru, yaitu Ordo Marists, Bapa Uskup memberikan persetujuannya. P. Eymard kemudian menjadi direktur rohani bagi para seminaris Marists. Pada tahun 1845, ia diangkat menjadi Superior (= pembesar biara) Lyon, Perancis. Tetapi meskipun P. Eymard melaksanakan begitu banyak tugas yang dibebankan kepadanya dengan giat sepanjang hidupnya, P. Eymard akan selalu dikenang secara istimewa untuk sesuatu yang lain.
P. Eymard mempunyai cinta yang menyala-nyala kepada Ekaristi Kudus. Ia amat terpesona dengan kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Ia suka sekali meluangkan waktu setiap hari untuk melakukan adorasi (= sembah sujud) kepada Sakramen Mahakudus. Pada Pesta Corpus Christi, yaitu Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, P. Eymard dianugerahi suatu pengalaman rohani yang amat dahsyat. Sementara ia membawa Hosti Kudus dalam prosesi, ia merasakan kehadiran Yesus, bagaikan suatu kehangatan dari sumber api. Hosti itu serasa menyelebunginya dengan kasih dan cahaya. Dalam hatinya, P. Eymard berdoa kepada Tuhan tentang kebutuhan-kebutuhan rohani dan jasmani umatnya. Ia memohon agar kerahiman dan belas kasih Yesus menyentuh hati setiap orang seperti ia sendiri disentuh melalui Ekaristi.
Pada tahun 1856, P. Eymard mengikuti inspirasi yang telah didoakannya selama bertahun-tahun. Dengan persetujuan dari para pembesarnya, P. Eymard membentuk ordo religius yang beranggotakan para imam yang ber-adorasi kepada Ekaristi Kudus. Mereka dikenal sebagai Para Imam dari Sakramen Mahakudus, s.s.s. Dua tahun setelah ordo para imam dibentuk, P. Eymard membentuk ordo untuk para biarawati, Abdi Allah dari Sakramen Mahakudus. Sama seperti para imam, para biarawati juga mempunyai cinta yang istimewa kepada Yesus dalam Ekaristi Kudus. Para imam dan biarawati dari Sakramen Mahakudus membaktikan hidup mereka dalam adorasi kepada Yesus. P. Eymard juga membentuk kelompok-kelompok dalam gerejanya guna membantu umatnya mempersiapkan diri untuk menyambut Komuni Kudusnya yang Pertama. Ia menulis beberapa buku mengenai Ekaristi yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa. Buku-buku itu masih beredar hingga sekarang.
P. Eymard hidup pada masa yang sama dengan seorang kudus lainnya yang akan kita rayakan pestanya besok, tanggal 4 Agustus, yaitu St. Yohanes Vianney. Mereka berdua bersahabat dan masing-masing saling mengagumi yang lainnya. Pastor Vianney mengatakan bahwa Pastor Eymard adalah seorang kudus dan ia menambahkan, “Adorasi oleh para imam! Betapa baiknya! Aku akan berdoa setiap hari bagi karya Pastor Eymard.”
St. Petrus Yulianus Eymard melewatkan empat tahun terakhir hidupnya dalam penderitaan hebat. Di samping penderitaan jasmani, ia juga harus menderita karena berbagai masalah dan kecaman. Namun P. Eymard tetap setia dalam adorasinya kepada Sakramen Mahakudus. Kesaksian hidupnya serta pengorbanannya mendorong banyak orang lainnya untuk menjawab panggilan hidup mereka dengan bergabung dalam ordo-ordo religius. P. Eymard wafat pada tanggal 1 Agustus 1868 dalam usia limapuluh tujuh tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes XXIII pada tanggal 9 Desember 1962.
Sebagai orang Katolik kita mengimani kehadiran Yesus secara sakramental dalam Ekaristi. Bagaimana iman saya tersebut mempengaruhi hidup saya?
4 Agustus
|
St. Yohanes Maria Vianney
|
Yohanes Maria Vianney dilahirkan di Lyons, Perancis pada tahun 1786. Ketika masih kanak-kanak, ia menggembalakan domba ayahnya. Ia suka berdoa tetapi juga suka bermain. Ketika Yohanes berumur delapanbelas tahun, ia minta ijin kepada ayahnya untuk menjadi seorang imam. Ayahnya berkeberatan karena tenaganya dibutuhkan untuk mengerjakan pertanian keluarga. Dua tahun kemudian ayahnya memberikan ijin. Pada usia duapuluh tahun, Yohanes belajar di bawah bimbingan Pastor Balley. Pastor Balley seorang imam yang amat sabar, tetapi belajar bahasa Latin merupakan kendala besar bagi Yohanes. Ia menjadi patah semangat. Pada saat itulah ia memutuskan untuk berjalan sejauh 60 mil (±97 km) menuju kapel St. Yohanes Fransiskus Regis, seorang kudus yang populer di Perancis. Yohanes memohon bantuan doa St. Yohanes Regis. Setelah ziarah itu, ia tetap saja mempunyai masalah dalam hal belajar sama seperti sebelumnya. Bedanya ialah ia tidak lagi pernah merasa patah semangat.
Pada akhirnya Yohanes berhasil juga masuk seminari. Belajar merupakan hal yang sulit baginya. Tidak peduli betapa giat ia berusaha, ia tidak pernah berhasil dengan baik. Ketika ujian akhir tiba, ujian dilaksanakan secara lisan, dan bukan secara tertulis. Yohanes harus menghadapi suatu dewan guru dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Yohanes begitu sedih hingga ia menangis saat ujian tengah berlangsung. Namun, karena Yohanes seorang yang kudus, ia sepenuhnya dapat berpikir praktis sesuai pengalaman hidupnya dan ia mengerti apa yang diajarkan Gereja dalam masalah yang diujikan kepadanya. Ia tahu jawaban yang benar pada saat ditanyakan kepadanya apa yang harus dilakukan dalam perkara ini atau itu. Hanya saja ia tidak dapat mengatakan jawabannya itu dengan gaya bahasa sesuai dengan buku pedoman berbahasa Latin yang rumit. Akhirnya Yohanes ditahbiskan juga. Ia mengerti apa itu panggilan imamat dan kebaikan hatinya tak dapat diragukan lagi.
Yohanes diutus ke sebuah gereja kecil yang disebut Ars. Pastor Vianney berpuasa dan melakukan silih yang berat demi umatnya. Ia berusaha keras agar mereka berhenti berbuat dosa. Mereka mabuk-mabukan, bekerja sepanjang hari pada hari Minggu, dan tidak pernah pergi ke gereja. Sebagian besar dari mereka menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Pada akhirnya, kedai-kedai minum mulai tutup satu demi satu karena usaha mereka menurun. Orang mulai berdoa secara rutin setiap hari Minggu dan ambil bagian dalam Misa harian. Sumpah serapah tidak lagi sering diucapkan. Apa yang telah terjadi di Ars? “Pastor kita adalah seorang kudus,” kata mereka, “dan kita wajib taat kepadanya.”
Tuhan memberi Yohanes karunia untuk membaca pikiran orang serta mengetahui masa depan. Karena karunia tersebut, ia mempertobatkan banyak pendosa dan membantu umat menentukan keputusan-keputusan yang tepat. Orang banyak mulai berdatangan ke Ars. Kadang-kadang, ratusan orang dalam satu hari. St. Yohanes Vianney menggunakan dua belas hingga enam belas jam sehari untuk mendengarkan pengakuan mereka. Yohanes amat berharap dapat menghabiskan sisa hidupnya di sebuah biara. Yang terjadi malahan, ia tinggal selama empatpuluh dua tahun di Ars dan wafat di sana pada tahun 1859 pada usia tujuhpuluh tiga tahun. St. Yohanes Vianney dinyatakan kudus pada tahun 1925 oleh Paus Pius XI.
“Doa pribadi bagaikan jerami yang tercecer di sana sini; jika kamu membakarnya, akan menghasilkan tebaran api kecil-kecil. Tetapi, kumpulkan jerami-jerami itu menjadi satu berkas dan bakarlah, maka kamu akan mendapatkan suatu nyala api yang besar, berkobar bagaikan pancang ke angkasa; doa bersama seperti itu.” ~ St. Yohanes Maria Vianney
5 Agustus
|
B. Frederik Janssoone
|
Beato Frederik Janssoone dilahirkan di Flanders pada tahun 1838. Ada banyak perubahan menarik dalam hidupnya, yang bukanlah cara hidup biasa abad kesembilanbelas. Frederik dilahirkan dalam sebuah keluarga petani yang kaya, sebagai yang bungsu dari tigabelas saudara. Ia baru berusia sembilan tahun ketika ayahnya meninggal dunia, sebab itu ia harus meninggalkan bangku sekolah untuk membantu ibunya. Segera saja ia menyadari bahwa ia mempunyai “keahlian” dalam berjualan. Ia suka bertemu dengan kenalan-kenalan baru dan ia tahu bagaimana menjelaskan produknya.
Ibu Frederik meninggal dunia pada tahun 1861. Itulah saat ketika pemuda berusia duapuluh tiga tahun ini sampai pada ketetapan hatinya dalam mencari panggilan hidupnya. Ia sadar bahwa ia merasakan suatu kerinduan yang kuat untuk menggabungkan diri dalam Ordo Fransiskan. Setelah masa belajarnya di seminari usai, Frederik ditahbiskan sebagai seorang imam Fransiskan. Ia menjadi pastor bagi pasukan militer untuk beberapa waktu lamanya.
Kemudian pada tahun 1876, ia diutus ke Tanah Suci. Pater Frederik mewartakan Injil di tempat-tempat yang dikuduskan oleh Yesus Sendiri. Ia mempergunakan bakat dan talentanya untuk membantu berbagai kelompok Kristiani agar saling bekerjasama dalam merawat dua gereja kudus. Ia mendirikan sebuah gereja di Betlehem. Beato Frederik juga dikenang karena menghidupkan kembali kebiasaan kuno melakukan ziarah Jalan Salib menyusuri jalanan Yerusalem.
Pelayanan Pater Frederik di Kanada dimulai ketika ia ditugaskan ke sana pada tahun 1881. Ia diutus dalam suatu perjalanan untuk mengumpulkan dana. Bakatnya yang bermacam-macam amat berguna dalam pelayanannya. Semangat sukacita dalam memberikan dirinya segera menjadikannya dicintai orang banyak. Khotbah dan ceramahnya penuh dengan fakta-fakta menarik mengenai Tanah Suci. Ia melihat ke dalam wajah dan hati umat dan berdoa agar mereka bertumbuh dalam kekayaan rahmat Tuhan. Pada tahun 1888, ia kembali ke Kanada untuk menetap dan menghabiskan sisa hidupnya di sana.
Pater Frederik Janssoone adalah seorang pribadi yang menarik dan seorang penulis yang piawai. Ia menulis beberapa artikel dan riwayat hidup para kudus. Tulisan-tulisan itu mengingatkan orang akan antusiasme yang memenuhi jiwanya sendiri. Karya-karyanya merefleksikan sukacita Yesus yang dengan sangat sukahati ia bagikan kepada yang lain. Pater Frederik wafat pada tanggal 4 Agustus 1916. Ia dimaklumkan sebagai “beato” pada tahun 1988 oleh Paus Yohanes Paulus II.
Bakat dan talenta didayagunakan sebaik-baiknya oleh Beato Frederik demi mewartakan Injil di tempat-tempat ke mana ia pergi. Adakah aku mempergunakan bakat dan talentaku demi kebaikan sesama?
7 Agustus
|
St. Sixtus II
|
Para kaisar Romawi yang menganiaya orang-orang Kristen berusaha untuk memusnahkan kepercayaan kepada Yesus dan agama yang mereka benci sekaligus mereka takuti. Meskipun mereka tidak menyadarinya, namun sesungguhnya setiap kali mereka membunuh seorang kudus, mereka semakin memperkuat keyakinan orang-orang Kristen. Dari penganiayaan bangsa Romawi yang banyak menumpahkan darah itu, muncullah para martir. Persembahan para martir kepada Yesus yaitu kesetiaan mereka, bahkan hingga rela mengurbankan nyawa, mendatangkan berkat bagi Gereja hingga akhir jaman.
Penganiayaan oleh Kaisar Valerian mengakibatkan kemartiran Paus St. Sixtus II dan keenam diakonnya pada hari yang sama. Penganiayaan dilakukan dengan amat kejam. Banyak orang dari komunitas Kristiani bersembunyi dalam katakomba-katakomba bawah tanah. Mereka ambil bagian dalam Perayaan Misa dan saling menguatkan satu sama lainnya. Sixtus, seorang imam Roma, diangkat menjadi Paus pada tahun 257. Pada tahun yang sama penganiayaan oleh Kaisar Valerian dimulai. Paus Sixtus maju terus dengan berani selama satu tahun, sebagian besar dengan bersembunyi, dan meneguhkan umat Kristen. Dengan kebijaksanaan serta kelemahlembutannya, ia bahkan menyelesaikan masalah-masalah tentang iman Kristiani.
Pada tanggal 6 Agustus 258, para prajurit Romawi menerjang masuk suatu ruangan dalam katakomba di mana Sixtus sedang duduk dengan tenang. Ia sedang menyampaikan khotbahnya tentang cinta kasih dan pengampunan Yesus. Sebagian orang mengatakan bahwa ia langsung dibunuh di tempat itu, di atas kursinya, bersama dengan empat orang dari keenam diakonnya. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia dan para diakonnya dibawa pergi untuk diadili. Kemudian mereka dibawa kembali ke ruangan yang sama dan dibunuh. Dua diakon lainnya dibunuh juga beberapa saat kemudian pada hari yang sama.
Seabad sesudah peristiwa tersebut, Paus St. Damasus menuliskan sebuah prasasti yang indah di makam St. Sixtus yang terletak dalam katakomba St. Kalistus di Roma. St. Sixtus II amat dihargai oleh umat Kristen perdana dan namanya termasuk dalam daftar orang kudus yang dicantumkan dalam Doa Syukur Agung Pertama.
Kita dapat mohon bantuan doa St. Sixtus II agar kita dapat menghargai karunia iman kita dan tumbuh dalam kasih kepada Yesus. Ketika kita takut berdiri tegak menghadapi apa yang Yesus kehendaki dari kita, kita dapat mohon bantuan doa St. Sixtus dan para diakonnya agar kita dikuatkan.
Pada hari ini, mari mohon bantuan doa St. Sixtus dan para diakonnya
bagi para imam Gereja.
7 Agustus
|
St. Kayetanus
|
Kayetanus dilahirkan di Vicenza, Italia, pada tahun 1480, sebagai putera seorang bangsawan. Ia menyelesaikan studinya di Universitas Padua dalam bidang hukum. Kemudian, ia bekerja di kantor kepausan di Roma. Kayetanus ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1516. Ia kembali ke Vicenza, kota asalnya. Walau sanak-saudaranya yang kaya menentang, Kayetanus menggabungkan diri dengan sekelompok lelaki yang sederhana dan bersahaja, yang membaktikan hidup mereka untuk menolong orang-orang yang sakit dan yang miskin papa. St Kayetanus biasa menjelajahi seluruh penjuru kota guna mencari mereka yang malang dan melayani mereka dengan tangan-tangannya sendiri. Ia membantu pula di rumah sakit merawat pasien-pasien dengan penyakit-penyakit yang paling menjijikkan. Di kota-kota lain juga ia melakukan karya belas kasih yang sama.
St Kayetanus senantiasa mendorong semua orang untuk menyambut Komuni Kudus sesering mungkin. “Aku tak akan bahagia,” katanya, “hingga aku melihat umat Kristiani berduyun-duyun menyambut Roti Hidup dengan antusias dan penuh sukacita, bukan dengan takut-takut ataupun malu.” Bersama tiga orang kudus lainnya, St Kayetanus mendirikan suatu ordo religius bagi para imam yang disebut “Theatines”. Ordo mereka membaktikan diri dengan menyampaikan khotbah kepada sebanyak mungkin orang. Mereka mendorong umat untuk sesering mungkin menerima Sakramen Tobat dan menyambut Komuni Kudus; mereka merawat orang-orang sakit dan melakukan karya-karya belas kasih lainnya.
Kayetanus wafat dalam usia enampuluh tujuh tahun. Dalam sakitnya yang terakhir, ia membaringkan diri di atas papan-papan yang keras, meskipun dokter berulangkali menasehatinya untuk tidur di atas kasur yang lebih empuk. “Jururselamat-ku wafat di kayu salib,” katanya. “Biarkan aku, setidak-tidaknya mati di atas papan kayu.” Kayetanus wafat pada tanggal 7 Agustus 1547 di Naples. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Klemens X pada tahun 1671.
“Walau segenap para kudus dan segala makhluk meninggalkan engkau, Ia akan senantiasa mendampingimu, apapun yang engkau butuhkan.” ~ St Kayetanus
8 Agustus
|
St. Dominikus
|
Dominikus dilahirkan di Castile, Spanyol pada tahun 1170. Ia adalah putera keluarga Guzman. Ibundanya adalah Beata Yoana dari Aza. Ketika Dominikus berusia tujuh tahun, ia mulai bersekolah. Pamannya, seorang imam, membimbingnya dalam pelajaran. Setelah beberapa tahun lamanya belajar, Dominikus menjadi seorang imam juga. Ia hidup dengan tenang dalam doa dan ketaatan bersama para imam lainnya. Tetapi Tuhan mempunyai rencana yang indah bagi Dominikus. Ia dipanggil untuk mendirikan suatu ordo religius yang baru. Ordo tersebut diberi nama Ordo Praedicatorum (OP = Ordo Para Pengkhotbah) atau “Ordo Santo Dominikus”, sesuai namanya.
Para imam Dominikan berkhotbah tentang iman. Mereka berusaha meluruskan kembali ajaran-ajaran sesat yang disebut bidaah. Semuanya itu bermula ketika Dominikus sedang dalam perjalanan melewati Perancis Selatan. Ia melihat bahwa bidaah Albigensia telah amat membahayakan orang banyak. Dominikus merasa berbelas kasihan kepada mereka yang bergabung dengan bidaah sesat tersebut. Ia berusaha menyelamatkan mereka. Para imam Dominikan pada akhirnya berhasil mengalahkan bidaah yang amat berbahaya tersebut dengan doa, teristimewa dengan Doa Rosario. Dominikus juga mendorong umatnya untuk bersikap rendah hati dan melakukan silih. Suatu ketika seseorang bertanya kepada St Dominikus buku apakah yang ia pergunakan untuk mempersiapkan khotbah-khotbahnya yang mengagumkan itu. “Satu-satunya buku yang aku pergunakan adalah buku cinta,” katanya. Ia selalu berdoa agar dirinya dipenuhi cinta kasih kepada sesama. Dominikus mendesak para imam Dominikan untuk membaktikan diri pada pendalaman Kitab Suci dan doa. Tidak seorang pun pernah melakukannya lebih dari St. Dominikus dan para pengkhotbahnya dalam menyebarluaskan devosi Rosario yang indah.
St. Dominikus seorang pengkhotbah ulung, sementara St. Fransiskus dari Assisi seorang imam miskin yang rendah hati. Mereka berdua bersahabat erat. Kedua ordo mereka yaitu Dominikan dan Fransiskan membantu umat Kristiani hidup lebih kudus. Para imam Dominikan mendirikan biara-biara di Paris - Perancis, Madrid - Spanyol, Roma dan Bologna - Italia. Semasa hidupnya Dominikus juga melihat ordo yang didirikannya berkembang hingga ke Polandia, Skandinavia dan Palestina. Para imam Dominikan juga pergi ke Canterbury - London, dan Oxford di Inggris.
St. Dominikus wafat di Bologna pada tanggal 7 Agustus 1221. Sahabat dekatnya, Kardinal Ugolino dari Venisia kelak menjadi Paus Gregorius IX. Ia menyatakan Dominikus sebagai orang kudus pada tahun 1234.
Saat St. Dominikus ditanya buku apakah yang ia pergunakan untuk mempersiapkan khotbah-khotbahnya yang mengagumkan itu. Ia menjawab, “Satu-satunya buku yang aku gunakan adalah buku cinta.”
Injil Yesus Kristus adalah buku cinta.
9 Agustus
|
B. Yohanes dari Rieti
|
Beato Yohanes hidup pada awal pertengahan abad keempatbelas. Ia mempunyai seorang saudari yang juga kudus, yaitu Beata Lusia dari Amelia. Mereka adalah putera-puteri keluarga Bufalari dari wilayah Umbria, Italia. Yohanes merasakan panggilan kepada hidup religius. Ia tertarik pada Ordo St Agustinus dan ingin menjadi seorang broeder. Yohanes diterima masuk ke dalam ordo dan segera merasa kerasan di sana. Ia senang berdoa dan bermeditasi mengenai Yesus, Maria dan para kudus. Ia belajar bagaimana berbicara kepada Tuhan, Bapa-nya, dan teristimewa ia berusaha mendapatkan kesempatan untuk ikut melayani dalam Misa. Orang banyak dari kota-kota terdekat datang untuk ikut ambil bagian dalam Misa di Gereja St Agustinian. Mereka memperhatikan seorang broeder yang senantiasa ada di sana. Ia begitu damai dan lemah lembut. Broeder Yohanes senantiasa menyongsong kedatangan mereka. Ia membuat mereka serasa di rumah.
Apabila orang-orang datang ke biara untuk mendapatkan pertolongan, Broeder Yohanes ada di sana menyalami dan menyambut mereka. Bagi mereka yang tinggal bermalam, ia akan membawa mereka ke kamar-kamar tamu dan melayani mereka. Ia akan memastikan bahwa mereka mendapatkan makanan, obat-obatan dan segala yang lain yang dapat diberikan biara. Tahun-tahun berlalu. Broeder Yohanes melewatkan kehidupan religiusnya seturut irama jam-jam yang berlalu. Ia teguh dan mantap. Broeder Yohanes tetap penuh sukacita dalam panggilan hidupnya hingga wafatnya pada tahun 1350. Siapapun yang pernah datang ke biara tak heran ketika mukjizat-mukjizat mulai dilaporkan terjadi di makamnya. Broeder Yohanes tak akan membiarkan kematian menghentikannya dari melakukan pewartaan bagi Yesus.
Dengan mengamalkan panggilan hidup Kristiani kita dengan sebaik-baiknya, kita menghadirkan Kristus ke dalam dunia.
11 Agustus
|
St. Klara dari Assisi
|
Klara dilahirkan sekitar tahun 1193 di Assisi, Italia. Ia hidup pada jaman St. Fransiskus dari Assisi. Klara menjadi pendiri suatu ordo religius para biarawati yang disebut “Ordo Santa Klara (Klaris), OSCl” Ketika Klara berusia delapan belas tahun, ia mendengarkan khotbah St. Fransiskus. Hatinya berkobar dengan suatu hasrat yang kuat untuk meneladaninya. Ia juga ingin hidup miskin serta rendah hati demi Yesus. Jadi suatu malam, ia melarikan diri dari rumahnya. Di sebuah kapel kecil di luar kota Assisi, Klara mempersembahkan dirinya kepada Tuhan. St. Fransiskus menggunting rambutnya dan memberinya sehelai jubah coklat kasar untuk dikenakannya. Untuk sementara waktu, Klara tinggal bersama para biarawati Benediktin hingga biarawati lainnya bergabung dengannya. Orangtua Klara mengupayakan segala usaha untuk membawanya pulang ke rumah, tetapi Klara tidak mau kembali. Tak lama kemudian Agnes, adiknya yang berusia lima belas tahun, bergabung dengannya. Para gadis yang lain pun ingin pula menjadi pengantin Kristus. Jadi, sebentar saja sudah terbentuklah suatu komunitas religius kecil.
St. Klara dan para biarawatinya tidak mengenakan sepatu. Mereka tidak pernah makan daging. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana dan tidak berbicara hampir sepanjang waktu. Namun demikian, para biarawati itu amat bahagia karena mereka merasa Yesus dekat dengan mereka. Suatu ketika sepasukan tentara yang beringas datang untuk menyerang Assisi. Mereka telah merencanakan untuk menyerang biara terlebih dahulu. Meskipun sedang sakit parah, St. Klara minta untuk dibopong ke altar. Ia menempatkan Sakramen Mahakudus di tempat di mana para prajurit dapat melihat-Nya. Kemudian Klara berlutut serta memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkan para biarawati. “Ya Tuhan, sudilah melindungi para biarawati yang saat ini tidak dapat aku lindungi,” doanya. Suatu suara dari hatinya terdengar berbicara: “Aku akan selalu menempatkan mereka dalam perlindungan-Ku.” Bersamaan dengan itu, suatu kegentaran hebat meliputi para prajurit dan mereka segera lari pontang-panting.
St. Klara menjadi priorin (=pemimpin) di biaranya selama empatpuluh tahun. Duapuluh sembilan tahun dari masa itu dilewatkannya dengan menderita sakit. Meskipun demikian, St. Klara mengatakan bahwa ia penuh sukacita sebab ia melayani Tuhan. Sebagian orang khawatir para biarawati tersebut menderita sebab mereka teramat miskin. “Kata mereka kita ini terlalu miskin, tetapi dapatkah suatu hati yang memiliki Allah yang Mahakuasa sungguh-sungguh miskin?” St. Klara wafat pada tanggal 11 Agustus 1253. Hanya dua tahun kemudian ia dinyatakan kudus oleh Paus Alexander IV.
“Pergilah dalam damai; engkau telah mengikuti jalan yang benar; pergilah dengan penuh keyakinan, sebab Pencipta-mu telah menguduskanmu, telah memeliharamu terus-menerus, dan telah mengasihimu dengan segala kelembutan bagaikan seorang ibu terhadap anaknya. Oh Tuhan, terberkatilah Engkau karena telah menciptakan aku.” ~ St. Klara
12 Agustus
|
St. Yohana Fransiska de Chantal
|
Yohana dilahirkan di Dijon, Perancis pada tahun 1572. Ayahnya seorang yang saleh. Ia mengasuh anak-anaknya dengan baik setelah kematian isterinya. Yohana, yang amat dikasihinya, menikah dengan Christopher, Baron de Chantal. Yohana dan Christopher saling mengasihi. Tuhan mengaruniakan enam anak kepada mereka, empat yang bertahan hidup. Yohana menunjukkan kasihnya kepada Tuhan dengan mengasihi suami serta anak-anaknya dengan segenap hati. Kemudian, tiba-tiba saja, suatu kemalangan besar menimpa keluarga bahagia tersebut. Baron Christopher secara tak sengaja tertembak oleh seorang teman yang pergi berburu bersamanya. Ketika suaminya meninggal, Yohana teramat sedih. Ia mengampuni orang yang menyebabkan kematian suaminya itu dan bahkan menjadi ibu baptis bagi anaknya.
St. Yohana memohon kepada Tuhan agar memberinya seorang imam yang kudus untuk membimbingnya. Sementara itu, ia berdoa dan membesarkan anak-anaknya dalam kasih Tuhan. Ia mengunjungi orang-orang miskin, orang-orang sakit serta menghibur mereka yang diambang ajal. Ketika ia berjumpa dengan St. Fransiskus de Sales, ia segera mengetahui bahwa orang ini adalah orang kudus yang diutus Tuhan untuk membimbingnya.
Sesuai petunjuk St. Fransiskus, Yohana bersama tiga wanita muda lainnya mendirikan Serikat Visitasi. Tetapi terlebih dahulu ia harus memastikan bahwa anak-anaknya, meskipun sudah dewasa, telah mandiri. Yohana juga mempunyai tanggung jawab serta tantangan-tantangan yang harus dihadapinya pula. Namun, Yohana tetap berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan baginya, bagaimana pun sulitnya.
St. Yohana seorang yang tabah dalam menghadapi segala macam tantangan. Ia mendirikan banyak biara sambil berjuang melawan pencobaan-pencobaannya. “Meskipun banyak penderitaannya,” tulis St. Vincensius de Paul, “wajahnya selalu memanancarkan kedamaian. Dan ia selalu setia kepada Tuhan. Jadi aku pikir dia adalah salah satu di antara jiwa-jiwa paling kudus yang pernah aku jumpai.”
St. Yohana wafat pada tanggal 13 Desember 1641. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Klemens XIII pada tahun 1767.
St. Yohana terbuka pada ilham Roh Kudus dalam hidupnya.
Bagaimana jika aku membuka diri untuk lebih bebas melakukan perbuatan belas kasih dalam hidupku?
12 Agustus
|
St Porkarius dan kawan-kawan
|
Pada abad kelima, suatu biara besar bagi para biarawan didirikan di pesisir Provence yang sekarang berada di selatan Perancis. Biara itu disebut Biara Lerins. Biara ini penuh dengan banyak biarawan kudus. Pada abad kedelapan, komunitas Lerins terdiri dari para biarawan, novis, murid dan pemuda yang tertarik untuk menjadi biarawan. Seluruhnya berjumlah lebih dari limaratus orang.
Sekitar tahun 732, Abbas Porkarius mendapat semacam wahyu atau nubuat. Tak lama lagi biara akan diserang oleh para penyerang barbar. Abbas Porkarius menaikkan segenap murid dan tigapuluh enam biarawan yang lebih muda dalam kapal. Lalu ia menyuruh mereka segera berlayar agar selamat. Karena tak ada lagi kapal yang tersisa, ia mengumpulkan semua anggota komunitas yang masih tersisa sekelilingnya. Tak seorang pun mengeluh karena tertinggal. Sebaliknya, mereka berdoa bersama memohon kekuatan. Mereka memohon kepada Tuhan karunia untuk mengampuni musuh mereka. Segera kaum Saracens dari Spanyol atau Afrika Utara mendaratkan kapal-kapal mereka dan menyerang para biarawan, seperti yang telah dinubuatkan sang abbas. Para biarawan berdoa dan saling menguatkan satu sama lain agar dapat dengan gagah berani menanggung derita dan mati demi Kristus. Para penyerang menyerbu dan membantai semua kurbannya terkecuali empat orang yang mereka tawan sebagai budak. St Porkarius dan para biarawan Lerins wafat sebagai martir yang gagah berani bagi Yesus.
Andai aku dalam posisi pemimpin, adakah aku melihat tanggung jawabku sebagai suatu pelayanan bagi sesama?
13 Agustus
|
St. Pontianus dan St. Hippolitus
|
Maximinus menjadi kaisar Roma pada tahun 235. Begitu naik tahta, ia mulai melakukan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Salah satu hukuman yang paling sering dijatuhkan pada para uskup dan imam adalah pembuangan ke daerah-daerah pertambangan yang berbahaya dan tidak sehat di Sardinia, Italia. Penganiayaan inilah yang mempertemukan kedua martir yang pestanya kita rayakan pada hari ini.
St. Pontianus diangkat sebagai paus setelah wafatnya Urbanus I pada tahun 230. Ketika Maximinus menjadi kaisar, Pontianus melayani Gereja dengan penderitaannya di tambang-tambang Sardinia.
St. Hippolitus adalah seorang imam dan sarjana gereja di Roma. Ia menulis banyak karya-karya mengagumkan mengenai teologi. Ia juga seorang guru yang hebat pula. Hippolitus merasa kecewa dengan Paus St. Zephyrinus, yang wafat sebagai martir pada tahun 217. Hippolitus merasa bahwa paus kurang cepat tanggap dalam mencegah orang-orang mengajarkan ajaran-ajaran sesat. Pengganti St. Zephyrinus adalah St. Kalistus I. Hippolitus kurang setuju dengan paus yang baru ini. Hippolitus sendiri mempunyai sejumlah besar pengikut. Para pengikutnya mendesaknya agar ia mau diangkat sebagai paus. Hippolitus setuju. Ia memutuskan hubungan dengan Gereja dan menjadi paus tandingan. Ketika penganiayaan dimulai, ia ditangkap dan dikirim ke Sardinia. Di sana, dalam keadaan sengsara, ketika para musuh umat Kristiani tertawa, suatu karya penyembuhan yang ajaib terjadi.
Paus Pontianus dan Hippolitus saling bertemu di pembuangan. Hippolitus tersentuh dengan semangat kerendahan hati paus. Ia mohon diperbolehkan kembali dalam pelukan Gereja; segera ia merasakan segala amarah dan kecewanya diambil dari hatinya. Paus Pontianus dapat memahami sang imam dan mengasihinya. Bapa Suci tahu bahwa mereka perlu saling membantu serta menguatkan dalam kasih Yesus. Kedua orang kudus tersebut wafat sebagai martir dan untuk selamanya dikenang sebagai saksi pengampunan dan pengharapan Kristiani.
Marilah pada hari ini kita berdoa mohon penyembuhan serta pengampunan di antara semua orang.
14 Agustus
|
St. Maximilianus Maria Kolbe
|
Raymond Kolbe dilahirkan di Polandia pada tahun 1894. Ia bergabung dengan Ordo Fransiskan pada tahun 1907 dan memilih nama seperti kita mengenalnya sekarang: Maximilianus. Maximilianus amat mencintai panggilannya dan secara istimewa ia mencintai Santa Perawan Maria. Ia menambahkan nama “Maria” pada namanya ketika ia mengucapkan kaul agungnya pada tahun 1914. Pastor Maximilianus Maria yakin bahwa dunia abad keduapuluh membutuhkan Bunda Surgawi mereka untuk membimbing serta melindunginya. Ia mempergunakan media cetak agar Maria lebih dikenal luas. Ia bersama dengan teman-teman Fransiskannya menerbitkan bulletin yang terbit dua bulan sekali yang segera saja tersebar dan dibaca orang di seluruh dunia.
Bunda Allah memberkati karya Pastor Maximilianus Kolbe. Ia membangun sebuah biara besar di Polandia. Biara tersebut dinamainya “Kota Immaculata”. Pada tahun 1938, delapan ratus biarawan Fransiskan tinggal serta berkarya di sana untuk mewartakan kasih sayang Maria. Pastor Kolbe juga membangun sebuah Kota Immaculata di Nagasaki, Jepang. Dan sebuah lagi dibangunnya di India. Pada tahun 1938, Nazi menyerbu Kota Immaculata Polandia. Mereka menghentikan karya mengagumkan yang berlangsung di sana. Pada tahun 1941, kaum Nazi menangkap Pastor Kolbe. Mereka menjatuhkan hukuman kerja paksa di Auschwitz. Pastor Kolbe telah berada di Auschwitz selama tiga bulan lamanya ketika seorang tahanan berhasil melarikan diri. Para Nazi menghukum tahanan yang tersisa oleh karena tahanan yang melarikan diri tersebut. Mereka memilih secara acak sepuluh orang tahanan untuk dihukum mati dalam bunker kelaparan. Seluruh tahanan berdiri tegang sementara sepuluh orang ditarik keluar dari barisan. Seorang tahanan yang terpilih, seorang pria yang telah menikah dan mempunyai keluarga, merengek serta memohon dengan sangat agar diampuni demi anak-anaknya. Pastor Kolbe, yang tidak terpilih, mendengarnya dan hatinya tergerak oleh belas kasihan yang mendalam untuk menolong tahanan yang menderita itu. Ia maju ke depan dan bertanya kepada komandan apakah ia dapat menggantikan tahanan tersebut. Sang komandan setuju dengan permintaannya.
Pastor Kolbe dan para tahanan yang lain digiring masuk ke dalam bunker kelaparan. Mereka tetap hidup tanpa makanan atau pun air selama beberapa hari. Satu per satu, sementara mereka mati kelaparan, Pastor Kolbe menolong serta menghibur mereka. Ia yang terakhir meninggal. Suatu suntikan carbolic acid mempercepat kematiannya pada tanggal 14 Agustus 1941. Ia dinyatakan kudus dan martir oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1982.
“Kebencian bukanlah kekuatan yang membangun. Hanya kasih merupakan kekuatan yang membangun.” ~ St. Maximilianus Kolbe
15 Agustus
|
Hari Raya SP Maria Diangkat ke Surga
|
Pada Hari Raya Bunda Maria ini Gereja merayakan hak istimewa Bunda Maria, Bunda kita. Bunda Maria Diangkat ke Surga artinya Bunda Maria masuk dalam kemuliaan surga tidak hanya jiwanya saja, tetapi juga dengan tubuhnya. Putera Allah dikandung dalam rahim murni Perawan Maria. Jadi, memanglah tepat, jika tubuhnya harus juga dimuliakan segera sesudah hidupnya di dunia berakhir.
Sekarang Bunda Maria berada di surga. Ia adalah ratu surga dan bumi. Ia adalah Bunda Gereja Kristus dan Ratu para Rasul. Setiap kali Bunda Maria meminta Yesus untuk menganugerahkan berkat dan rahmat-Nya kepada kita, Yesus mendengarkan permintaan Bunda-Nya.
Setelah dibangkitkan dari kematian, kita pun juga, dapat pergi ke surga dengan tubuh kita. Jika sekarang kita mempergunakan tubuh kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, kelak tubuh kita akan memperoleh bagian kemuliaan di surga. Setelah kebangkitan, tubuh kita akan menjadi sempurna. Ia tidak akan menderita sakit lagi. Ia tidak memerlukan makanan atau pun minuman agar tetap hidup. Ia akan dapat pergi ke semua tempat tanpa waktu atau pun usaha. Ia akan menjadi elok dan mengagumkan!
Maria Diangkat ke Surga dengan jiwa dan raganya merupakan dogma iman (dogma = ajaran resmi Gereja). Kebenaran yang indah ini dinyatakan oleh Paus Pius XII pada tanggal 1 November 1950.
Sementara kita merayakan Hari Raya Bunda Maria, kita dapat mempercayakan diri kita pada pemeliharaan serta kasih keibuan Bunda Maria. Bagian manakah dalam hidupku yang paling memerlukan bimbingannya?
16 Agustus
|
St. Stefanus dari Hungaria
|
St. Stefanus dilahirkan sekitar tahun 969 di Hungaria. Nama yang diberikan kepadanya adalah Vaik. Ketika ia menjadi seorang Kristen pada usia sepuluh tahun, ia diberi nama Stefanus. Pada saat yang sama, ayahnya, Pangeran Hungaria, dan juga banyak kaum bangsawan lainnya menjadi Kristen. Namun demikian, ketika Stefanus menjadi raja, di negerinya itu masih banyak orang kafir. Sebagian penduduknya masih suka kekerasan dan kekejian. Jadi, Stefanus memutuskan untuk membangun Gereja yang kokoh di Hungaria. Usahanya itu diberkati Tuhan. Rahasia keberhasilan St. Stefanus dalam membimbing rakyatnya secara gemilang kepada iman Kristiani adalah devosinya kepada Bunda Maria. Ia mempercayakan seluruh kerajaannya dalam perlindungan Bunda Maria dan ia membangun sebuah gereja yang amat indah untuk menghormati Bunda Allah.
Paus Sylvester II mengirimkan sebuah mahkota raja yang indah bagi Stefanus. Pusaka ini kemudian dikenal sebagai Mahkota St. Stefanus. Dalam masa Perang Dunia II, tentara Amerika merampas mahkota tersebut, tetapi akhirnya diserahkan kembali pada Hungaria pada tahun 1978.
Stefanus seorang pemimpin yang tegas serta gagah berani. Ia menerapkan hukum yang adil. Namun demikian, ia juga lemah lembut serta penuh belas kasihan kepada mereka yang miskin. Sebisa-bisanya ia menghindari peperangan. Ia suka memberi bingkisan uang kepada para pengemis tanpa memberitahukan kepada mereka siapa dia sebenarnya. Suatu ketika ia sedang membagikan bingkisan dalam penyamarannya, ketika sekelompok pengemis yang brutal menyerang serta memukulnya. Mereka menarik-narik rambutnya, jenggotnya serta merampas kantong uangnya. Tak pernah terbayangkan oleh mereka bahwa mereka sedang mempermainkan raja mereka. Dan mereka tidak pernah tahu akan hal itu. Raja menerima segala penghinaan itu dengan diam-diam dan dengan rendah hati. Sekuat tenaga ia mengarahkan pikirannya pada Bunda Maria dan berdoa: “Lihatlah, Ratu Surgawi, bagaimana umatmu memperlakukan dia yang engkau jadikan raja. Jika mereka musuh-musuh iman, aku tahu apa yang harus aku lakukan terhadap mereka. Tetapi, karena mereka adalah kesayangan Putera-mu, aku menerima ini semua dengan sukacita. Aku mengucap syukur karenanya.” Malahan, seketika itu juga Raja Stefanus berjanji untuk berderma lebih banyak lagi bagi para pengemis. Stefanus menjadi raja Hungaria selama empatpuluh dua tahun. Ia wafat pada tanggal 15 Agustus 1038. St. Stefanus dinyatakan kudus oleh Paus St. Gregorius VII pada tahun 1083.
Raja Stefanus seorang yang lemah lembut, penuh belas kasihan dan suka memberi bingkisan kepada para pengemis tanpa memberitahukan kepada mereka siapa dia sebenarnya. Pada hari ini, apakah yang harus aku lakukan untuk menjawab panggilanku mengasihi sesama tanpa pamrih?
17 Agustus
|
St. Joan (= Yohana) Delanoue
|
Joan Delanoue dilahirkan pada tahun 1666 sebagai yang bungsu dari dua belas bersaudara. Keluarganya memiliki suatu usaha kecil yang berhasil. Ketika ibunya yang janda meninggal dunia, ibunya mewariskan tokonya kepada Joan. Joan bukan seorang gadis yang jahat, tetapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Ia melakukan banyak dosa kecil untuk itu. Dulu, ia seorang gadis yang saleh, tetapi sekarang hanya tersisa sedikit saja cinta kasih dalam hatinya. Ibunya seorang yang murah hati kepada para pengemis. Sebaliknya, Joan, membeli makanan hanya pada saat menjelang makan malam. Dengan demikian ia dapat mengatakan kepada para pengemis yang mohon belas kasihannya: “Maaf, saya tidak punya apa-apa untukmu.”
Joan tidak bahagia dengan cara hidupnya itu. Ketika usianya duapuluh tujuh tahun, seorang imam yang baik dengan penuh kasih membantunya untuk hidup sesuai dengan imannya. Akhirnya, Joan menyadari bahwa “usaha-nya” adalah untuk mengamalkan uangnya, bukan menumpuknya bagi diri sendiri. Joan mulai memberikan perhatian kepada keluarga-keluarga yang miskin dan juga anak-anak yatim piatu. Di kemudian hari, ia malahan menutup tokonya sama sekali agar dapat mempergunakan seluruh waktunya bagi mereka. Orang menyebut rumahnya yang penuh dengan anak-anak yatim piatu sebagai “Rumah Penyelenggaraan Ilahi”. Ia mempengaruhi para wanita muda lainnya untuk membantu. Mereka membentuk kelompok Suster-suster St. Anna dari Penyelenggaraan Ilahi di Saumur, Perancis, kota tempat tinggal Joan.
Joan hidup dengan mati raga yang keras. Ia juga melakukan tapa silih yang berat. St. Grignon de Montfort bertemu dengan Joan. Pada mulanya ia menyangka bahwa kesombongan hati yang menyebabkan Joan bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Tetapi kemudian, St. Montfort segera menyadari bahwa hati Joan sungguh penuh dengan cinta kasih kepada Tuhan. St. Montfort menasehatinya: “Teruskanlah apa yang telah engkau mulai. Roh Tuhan ada padamu. Ikuti suara-Nya dan jangan lagi khawatir.” Joan wafat dalam damai pada tanggal 17 Agustus 1736. Usianya tujuhpuluh tahun. Penduduk Saumur mengatakan, “Pemilik toko kecil itu melakukan jauh lebih banyak bagi kaum miskin papa di Saumur daripada seluruh dewan kota. Sungguh seorang wanita yang luar biasa! Dan sungguh seorang yang kudus!” Joan dinyatakan sebagai 'beata' oleh Paus Pius XII pada tahun 1947, tahun yang sama St. Grignon de Montfort dinyatakan kudus. Pada tahun 1982, B. Joan Delanoue dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes Paulus II.
Semoga Yesus menganugerahi kita rahmat tobat seperti yang Ia anugerahkan kepada St. Joan, sehingga hati kita terbuka lebih dan lebih lebar lagi demi kasih kepada sesama.
19 Agustus
|
St. Yohanes Eudes
|
Yohanes Eudes dilahirkan di Normandy, Perancis pada tahun 1601. Ia adalah putera sulung seorang petani. Bahkan sejak masih kanak-kanak, Yohanes telah berusaha meniru teladan Yesus dalam memperlakukan keluarga, teman-teman serta para tetangganya. Ketika usianya sembilan tahun, seorang anak lelaki menampar wajahnya. Yohanes merasa amat marah. Tetapi, kemudian ia ingat akan sabda Yesus dalam Injil: berikan pipimu satunya. Jadi, ia melakukannya.
Orangtua Yohanes menghendaki putera mereka menikah dan memiliki keluarga. Dengan lembut tapi tegas, Yohanes meyakinkan mereka bahwa ia dipanggil untuk menjadi seorang imam. Ia masuk biara Ordo Pengkhotbah dan menerima pendidikan calon imam. Setelah ditahbiskan sebagai imam, suatu wabah penyakit menyerang Normandy. Wabah ganas itu mengakibatkan kesengsaraan yang hebat dan juga kematian. Pastor Eudes menawarkan diri untuk menolong mereka yang sakit, merawat baik jiwa maupun raga mereka. Di kemudian hari, Pastor Eudes menjadi seorang pengkhotbah misi yang populer di berbagai paroki. Sesungguhnya, sepanjang hidupnya ia menyampaikan 110 khotbah misi. St. Yohanes juga berperan penting dalam terbentuknya kongregasi-kongregasi religius: Kongregasi Suster-suster dari Maria Bunda Berbelaskasihan (SCMM) dan Kongregasi Suster-suster Gembala Baik (RGS). Pastor Eudes juga membentuk Kongregasi Yesus dan Maria (CJM) bagi para imam. Kongregasi ini bertujuan melatih para pemuda untuk menjadi imam paroki yang baik.
St. Yohanes memiliki devosi yang kuat kepada Hati Yesus yang Mahakudus dan Hati Maria yang Tak Bernoda. Ia menulis sebuah buku tentang devosi-devosi tersebut. Yohanes jatuh sakit setelah menyampaikan suatu khotbah terbuka dalam cuaca yang amat dingin. Ia tidak pernah sepenuhnya sembuh kembali. Yohanes wafat pada tahun 1680. Ia dinyatakan “beato” oleh Paus St. Pius X pada tahun 1908. Paus menyebut Yohanes Eudes sebagai Rasul Devosi kepada Hati Yesus yang Mahakudus dan kepada Hati Maria yang Tak Bernoda. St. Yohanes Eudes dinyatakan kudus oleh Paus Pius XI pada tahun 1925.
“Para pengkhotbah memukul semak-semak. Para imam yang menerima pengakuan dosa menangkap burung-burungnya!” ~ St. Yohanes Eudes
20 Agustus
|
St. Bernardus
|
Bernardus dilahirkan pada tahun 1090 di Dijon, Perancis. Ia dan keenam saudara-saudarinya memperoleh pendidikan yang baik. Hati Bernardus amat sedih ketika ibunya meninggal dunia. Usianya baru tujuhbelas tahun. Hampir-hampir ia membiarkan dirinya larut dalam kesedihan jika saja tidak ada Humbeline, saudarinya yang periang. Humbeline membuatnya gembira dan segera saja Bernardus telah menjadi seorang yang amat populer. Ia tampan dan cerdas, riang gembira dan penuh rasa humor. Siapa saja suka berada di dekatnya.
Suatu hari, Bernardus mencengangkan teman-temannya ketika ia mengatakan bahwa ia akan bergabung dengan Ordo Cistercian yang amat keras. Mereka mengusahakan segala cara agar ia membatalkan rencananya itu. Tetapi pada akhirnya, Bernarduslah yang berhasil meyakinkan saudara-saudaranya, seorang pamannya dan keduapuluh-enam orang temannya untuk bergabung bersamanya. Ketika Bernardus dan saudara-saudaranya hendak meninggalkan rumah mereka, mereka berkata kepada adik mereka, Nivard, yang sedang bermain bersama anak-anak lain: “Selamat tinggal, Nivard kecil. Sekarang semua tanah dan harta benda ini menjadi milikmu.” Tetapi anak itu menjawab: “Apa! Kalian mengambil surga dan menyisakan dunia untukku? Apakah kalian pikir itu adil?” Dan tak lama kemudian, Nivard pun bergabung dengan saudara-saudaranya di biara. St. Bernardus menjadi seorang biarawan yang baik.
Tiga tahun kemudian, ia diutus untuk mendirikan biara Cistercian yang baru serta menjadi abbas (=pemimpin biara) di sana. Biara tersebut terletak di Lembah Cahaya. Dalam bahasa Perancis, Lembah Cahaya adalah “Clairvaux” Biara baru itu kemudian lebih dikenal dengan nama Clairvaux. Bernardus menjadi abbas di Clairvaux hingga akhir hayatnya. Meskipun ia lebih suka tinggal bekerja dan berdoa dalam biaranya, kadang-kadang ia harus pergi untuk tugas-tugas khusus. Ia berkhotbah, mendamaikan para penguasa, serta memberikan nasehat kepada paus. Ia juga menulis buku-buku rohani yang indah. Ia menjadi seorang yang amat berpengaruh dalam jamannya. Tetapi, terutama yang paling dirindukan Bernardus adalah dekat dengan Tuhan, menjadi seorang biarawan. Ia tidak berusaha untuk menjadi orang terkenal. Bernardus mempunyai devosi yang mendalam kepada Santa Perawan Maria. Dikatakan bahwa ia sering menyapa Bunda Maria dengan sebuah “Salam Maria” ketika ia melewati patungnya. Suatu hari, Bunda Maria membalas salamnya: “Salam, Bernardus!”. Dengan cara demikian Bunda Maria hendak menunjukkan bagaimana cinta Bernardus dan devosinya telah menyenangkan hati Bunda Maria.
St. Bernardus wafat pada tahun 1153. Orang banyak merasa sangat sedih karena mereka kehilangan pengaruhnya yang menakjubkan. St. Bernardus dinyatakan kudus pada tahun 1174 oleh Paus Alexander III. St. Bernardus juga diberi gelar Doktor Gereja pada tahun 1830 oleh Paus Pius VIII.
“Ia yang tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap temannya sendiri telah kehilangan rasa takut akan Tuhan.” ~ St. Bernardus
25 Agustus
|
St. Louis (Ludowikus) IX
|
Louis dilahirkan pada tanggal 25 April 1214. Ayahnya adalah Raja Louis VIII dari Perancis dan ibunya adalah Ratu Blanka. Menurut cerita, ketika Pangeran Louis masih kecil, ibunya memeluknya erat-erat. Katanya, “Aku mengasihimu, puteraku terkasih, dengan cinta kasih sebanyak yang dapat diberikan seorang ibu. Tetapi, aku lebih suka melihatmu mati di bawah kakiku daripada melihatmu melakukan suatu dosa besar.” Louis tidak pernah melupakan kata-kata ibunya itu. Ia menghargai iman Katoliknya juga didikan yang diberikan kepadanya. Ketika usianya dua belas tahun, ayahnya meninggal dunia dan ia menjadi raja. Ratu Blanka memerintah hingga puteranya genap duapuluh satu tahun.
Louis menjadi seorang raja yang mengagumkan. Ia menikah dengan Margaret, puteri seorang pangeran. Mereka saling mengasihi satu sama lain. Mereka dikarunia sebelas putera puteri. Louis seorang suami dan ayah yang baik. Dan selama ibunya, Ratu Blanka, hidup, ia menunjukkan sikap hormat kepadanya. Bagaimana pun sibuknya dia, Louis selalu menyempatkan diri untuk ikut ambil bagian dalam Misa Harian dan mendaraskan Doa Ofisi. Ia anggota Ordo Ketiga Fransiskan dan hidup sederhana. Ia murah hati serta adil. Ia memerintah rakyatnya dengan bijaksana, belas kasihan dan dengan menerapkan prinsip-prinsip Kristiani sejati. Ia hidup sesuai dengan keyakinannya sebagai seorang Katolik. Ia tahu bagaimana melerai perdebatan dan perselisihan. Ia mendengarkan mereka yang miskin dan terabaikan. Ia menyediakan waktu bagi siapa saja, tidak hanya bagi mereka yang kaya serta berpengaruh. Ia memajukan pendidikan Katolik dan mendirikan biara-biara.
Seorang sejarawan, Joinville, menulis mengenai riwayat hidup St. Louis. Ia mengenang bahwa ia mengabdi raja selama duapuluh dua tahun lamanya. Setiap hari ia ada dekat raja. Dan sepanjang masa itu, ia dapat mengatakan bahwa tidak pernah sekali pun ia mendengar Raja Louis menyumpah atau mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Demikian juga raja tidak mengijinkan kata-kata demikian diucapkan dalam istananya.
St. Louis merasa bahwa merupakan suatu kewajiban penting baginya menolong umat Kristiani yang menderita di Tanah Suci. Ia ingin ikut ambil bagian dalam Perang Salib. Dua kali ia memimpin pasukan berperang melawan bala tentara Turki. Dalam peperangannya yang pertama, ia tertawan. Tetapi, bahkan dalam penjara sekali pun, ia bersikap sebagai seorang ksatria Kristiani sejati. Ia gagah berani dan berbudi luhur dalam segala sikapnya. Louis kemudian dibebaskan dan kembali ke Perancis untuk mengurus kerajaannya. Tetapi, begitu ada kesempatan, ia mulai berangkat lagi ke medan perang untuk melawan musuh iman. Namun demikian dalam perjalanan, raja yang sangat dicintai rakyatnya itu terjangkit demam tipus. Beberapa jam menjelang kematiannya, ia berdoa, “Tuhan, sebentar lagi aku memasuki rumah-Mu, bersembah sujud di Bait-Mu yang kudus, serta memuliakan Nama-Mu.” St. Louis wafat pada tanggal 25 Agustus tahun 1270. Usianya limapuluh enam tahun. St. Louis dinyatakan kudus oleh Paus Bonifasius VIII pada tahun 1297.
“Bermurah-hatilah terhadap mereka yang miskin, kurang beruntung dan menderita. Berikan kepada mereka bantuan serta penghiburan sebanyak yang kamu mampu.” ~ St. Louis
25 Agustus
|
St. Yosef dari Calasanz
|
Yosef dilahirkan pada tahun 1556 di kastil ayahnya di Spanyol. Ia kuliah dan menjadi seorang pengacara. Pada usia duapuluh delapan tahun, Yosef ditahbiskan sebagai imam. Pastor Yosef diserahi jabatan-jabatan penting dan ia melaksanakan tugas-tugasnya itu dengan baik. Namun demikian, ia merasa bahwa Tuhan memanggilnya untuk melakukan suatu karya istimewa bagi anak-anak miskin di Roma. Taat pada panggilan Tuhan, Pastor Yosef meninggalkan segala yang ia miliki di Spanyol dan pergi ke Roma. Di sana, hatinya tergerak oleh belas kasihan kepada anak-anak yatim piatu dan anak-anak gelandangan yang ia jumpai di mana-mana. Mereka diacuhkan serta diterlantarkan. Pastor Yosef mulai mengumpulkan mereka dan mengajarkan semua mata pelajaran umum kepada mereka, terutama tentang iman. Para imam yang lain mulai bergabung dengannya. Tak lama kemudian Pastor Yosef telah menjadi pemimpin dari suatu ordo religius baru. Tetapi, ia tak pernah membiarkan tugas-tugasnya sebagai pendiri dan pemimpin biara membuatnya berhenti mengajar anak-anak yang dikasihinya. Ia bahkan menyapu lantai kelas sendiri. Seringkali ia mengantarkan anak-anak yang kecil pulang ke rumah mereka ketika jam pelajaran telah usai.
St. Yosef harus mengalami banyak penderitaan karena ulah beberapa orang yang hendak mengambil alih ordonya. Mereka ingin mengelolanya sesuai dengan cara mereka. Suatu ketika ia bahkan diarak di jalan-jalan bagaikan seorang tahanan. Ia nyaris dijebloskan ke dalam penjara, meskipun imam yang baik ini tidak melakukan kesalahan apapun. Ketika umurnya sembilanpuluh tahun, Pastor Yosef menerima kabar yang sangat menyedihkan. Ordonya dilarang terus berkarya. Namun demikan, menanggapi tragedi tersebut Pastor Yosef hanya mengatakan, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil; terpujilah nama-Nya. Karyaku diselenggarakan semata-mata karena cinta kepada Tuhan.”
Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1648, orang kudus ini wafat dalam tenang dan damai. Usianya sembilanpuluh dua tahun. Beberapa tahun sesudah wafatnya, ordonya, Ordo Imam-imam Piarist, diijinkan untuk melanjutkan kembali karya St. Yosef yang mengagumkan. St. Yosef dinyatakan kudus oleh Paus Klemens XIII pada tahun 1767 dan dinyatakan sebagai santo pelindung sekolah-sekolah Kristen pada tahun 1948 oleh Paus Pius XII.
“Siapa yang bertanggung jawab mengajar haruslah dikarunia kasih-sayang yang mendalam, kesabaran yang besar, dan terutama, kerendahan hati yang luar biasa.” ~ St. Yosef dari Calasanz
26 Agustus
|
St. Elizabeth Bichier
|
Elizabeth dilahirkan pada tahun 1773. Ketika masih kanak-kanak, permainan kesukaannya ialah membuat benteng-benteng di pasir. Bertahun-tahun kemudian, wanita Perancis yang kudus ini memikul tanggung jawab pembangunan biara-biara bagi ordo para biarawati yang didirikannya. “Aku rasa membangun memang dimaksudkan untuk menjadi pekerjaanku,” katanya bergurau, “sebab aku telah memulainya sejak masih kanak-kanak!” Sesungguhnya, hingga tahun 1830, yaitu delapan tahun sebelum wafatnya, Elizabeth telah mendirikan lebih dari enampuluh biara.
Selama masa Revolusi Perancis, keluarga Elizabeth kehilangan segala harta milik mereka. Hal ini terjadi karena kaum republik menyita harta milik para bangsawan. Tetapi, gadis muda berusia sembilan belas tahun yang sangat pandai ini belajar hukum agar dapat memenangkan kasus keluarganya di pengadilan. Ketika Elizabeth berhasil memenangkan perkaranya dan menyelamatkan keluarganya dari kehancuran, tukang sepatu desa berseru, “Sekarang, satu-satunya hal yang perlu engkau lakukan adalah menikah dengan seorang kaum Republik yang baik!” Namun demikian, Elizabeth tidak memiliki niat untuk menikah dengan siapa pun, entah dari kalangan republik atau pun dari kalangan bangsawan. Di balik sebuah gambar Bunda Maria, ia menulis, “Aku membaktikan serta mempersembahkan diriku kepada Yesus dan Maria untuk selama-lamanya.”
Dengan bantuan St. Andreas Fournet, Elizabeth membentuk suatu ordo religius baru yang diberi nama Putri-putri Salib. Ordo baru ini berkarya dengan mengajar anak-anak dan melayani orang sakit. Elizabeth siap menghadapi segala bahaya demi menolong sesama. Suatu ketika ia mendapati seorang gelandangan terbaring sakit di sebuah gudang. Ia membawanya ke rumah sakit biara dan melakukan segala yang ia mampu untuknya hingga gelandangan itu meninggal dunia. Keesokan paginya, kepala polisi datang memberitahu bahwa ia ditangkap karena melindungi seseorang yang diyakini sebagai seorang penjahat. Elizabeth tidak takut, “Aku hanya melakukan apa yang mungkin engkau sendiri akan lakukan, Tuan,” katanya. “Aku menemukan orang sakit yang malang ini, dan merawatnya hingga ia meninggal. Aku siap untuk mengatakan kepada hakim apa yang telah terjadi.” Tentu saja, kejujuran dan belas kasihan santa kita ini mendapat banyak simpati. Orang banyak mengagumi jawaban-jawabannya yang jujur, tegas dan jelas.
Sahabat yang membantunya mendirikan ordo, St. Andreas Fournet, wafat pada tahun 1834. St. Elizabeth menulis kepada para biarawatinya, “Inilah kehilangan kita yang paling besar dan paling menyedihkan.” St. Elizabeth wafat pada tanggal 26 Agustus 1838. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Pius XII pada tahun 1947.
Bagaimana aku bertindak ketika yang lain menantang reaksiku?
29 Agustus
|
Wafatnya St. Yohanes Pembaptis
|
Yohanes Pembaptis adalah saudara sepupu Yesus. Ibunya adalah Elisabet dan ayahnya adalah Zakharia. Bab pertama dalam Injil Lukas mengisahkan betapa menakjubkannya kelahiran Yohanes. Injil Markus, bab 6:14-29, mencatat betapa tragisnya kematian Yohanes Pembaptis. Sungguh berat resiko yang harus diterima Yohanes dalam mengajarkan kebenaran.
Raja Herodes dan isterinya menolak untuk mendengar bagaimana harus hidup di hadapan Tuhan. Mereka ingin membuat peraturan-peraturan mereka sendiri dan hidup dengan cara mereka sendiri. Yohanes Pembaptis harus membayar mahal harga kejujurannya. Tetapi, ia memang seorang yang teguh pada pendiriannya. Yohanes tidak akan pernah tinggal diam ketika dosa dan ketidakadilan terjadi. Ia mengajak orang banyak untuk bertobat; ia ingin agar semua orang berdamai kembali dengan Tuhan. Yohanes mengerti bahwa kebahagiaan sejati berasal dari Tuhan.
Yohanes berkhotbah tentang baptis atas pertobatan, mempersiapkan orang untuk kedatangan Mesias. Ia membaptis Yesus di Sungai Yordan dan memperhatikan dengan damai sukacita sementara pewartaan Yesus dimulai. Yohanes mendorong murid-muridnya sendiri untuk mengikuti Yesus. Ia tahu bahwa Yesus akan semakin terkenal sementara ia sendiri akan dilupakan. Pada bab pertama Injil Yohanes, Yohanes Pembaptis menyebut dirinya sendiri sebagai suara yang berseru-seru di padang gurun untuk meluruskan jalan Tuhan. Ia mengundang orang banyak untuk bersiap-siap, mempersiapkan diri untuk mengenali Sang Mesias. Pesannya sama untuk kita masing-masing.
Bagaimana jika aku tidak tinggal diam ketika melihat ketidakadilan di sekitarku? Bersediakah aku membayar harga untuk hidup dalam kebenaran?
30 Agustus
|
St. Pammakius
|
Pammakius adalah seorang awam Kristiani terpandang yang hidup pada abad keempat. Sewaktu ia masih seorang pelajar, ia bersahabat dengan St Hieronimus. Mereka tetap menjalin persahabatan sepanjang hidup mereka dan terus saling membina hubungan baik. Isteri Pammakius adalah Paulina, puteri kedua St Paula, seorang sahabat St Hieronimus yang lain. Ketika Paulina wafat pada tahun 397, St Hieronimus dan St Paulinus dari Nola menulis surat yang amat menyentuh hati penuh simpati, dukungan dan janji doa. Pammakius patah semangat karena kematian isterinya. Ia melewatkan sepanjang sisa hidupnya dengan melayani di rumah singgah yang didirikannya bersama St Fabiola. Di sana, para peziarah yang datang ke Roma disambut baik dan dibantu. Pammakius dan Fabiola dengan senang hati menerima dan bahkan mengutamakan mereka yang miskin, sakit dan cacat. Pammakius yakin bahwa isterinya yang telah meninggal dunia menyertainya sementara ia melakukan karya-karya belas kasih. Paulina dikenal karena kasihnya kepada mereka yang miskin papa dan menderita. Suaminya percaya bahwa melayani mereka merupakan cara terbaik untuk menyampaikan penghormatan dan kasih kepada isterinya.
St Pammakius jauh terlebih lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan dibandingkan St Hieronimus yang pemarah. Kerap kali ia menasehati St Hieronimus agar memperhalus atau memilih kata-kata yang lebih lembut, tetapi St Hieronimus biasa mengabaikannya. Sebagai contoh, seorang bernama Jovinian mengajarkan suatu kesalahan yang serius. Hieronimus menulis sebuah tulisan yang dengan keras membeberkan kesalahan-kesalahan Jovinian.
Pammakius membaca tulisan itu dan menyampaikan saran-saran baik untuk mengganti kata-kata yang terlalu keras. St Hieronimus berterima kasih kepada sahabatnya atas perhatiannya, tetapi ia tidak melakukan koreksi. Pammakius juga berusaha menengahi suatu perselisihan antara sahabatnya St Hieronimus dengan seorang bernama Rufinus. Tetapi tampaknya Pammakius tak dapat menggerakkan Hieronimus untuk bersikap lebih lembut dalam menangani orang atau masalah ini.
St Pammakius mempunyai sebuah gereja di rumahnya. Sekarang gereja itu menjadi Gereja Passionis Santo Yohanes dan Paulus. St Pammakius wafat pada tahun 410 pada waktu kaum Goths mengambil alih kekuasaan di Roma. St Pammakius tahu bagaimana menjadi seorang sahabat sejati. Ia seorang yang sportif dan jujur. Kita dapat mohon padanya untuk membantu kita menjadi sahabat sejati bagi teman-teman kita sebagaimana diteladankannya.
Bagaimanakah aku dapat bersikap sportif dan jujur dalam hubunganku dengan sesama?
31 Agustus
|
St. Aidan
|
Aidan adalah seorang biarawan Irlandia yang hidup pada abad ketujuh. Ia tinggal di biara besar di Iona yang didirikan St Kolumbanus. St Oswald menjadi Raja Inggris Utara pada tahun 634. Raja mengundang para misionaris untuk mewartakan Injil kepada rakyatnya yang masih kafir. Misionaris pertama yang berangkat segera pulang kembali dengan mengeluh bahwa orang-orang Inggris amat kasar, keras kepala dan liar. Para biarawan berkumpul bersama untuk merundingkan situasi ini. “Menurutku,” kata St Aidan kepada biarawan yang kembali itu, “engkau terlalu keras dengan orang-orang ini.” Ia kemudian menjelaskan bahwa, sebagaimana dikatakan St Paulus, terlebih dahulu ajaran-ajaran yang mudahlah yang diberikan. Ketika orang-orang telah bertambah kuat dalam Sabda Allah, barulah dapat dimulai ajaran-ajaran yang lebih sempurna mengenai hukum-hukum Tuhan yang kudus.
Ketika para biarawan mendengar nasehat yang bijaksana itu, mereka berpaling kepada Aidan. “Sebaiknya engkaulah yang pergi ke Inggris Utara untuk mewartakan Injil,” kata mereka. Aidan pergi dengan suka hati. Ia menerima tugas baru ini dengan kerendahan hati dan semangat doa. Ia mulai dengan berkhotbah. Raja St Oswald sendiri yang menerjemahkan khotbah-khotbah Aidan ke dalam bahasa Inggris hingga Aidan menguasai bahasa Inggris dengan lebih baik. St Aidan berkelana ke seluruh penjuru negeri, selalu dengan berjalan kaki. Ia bekhotbah dan menolong rakyat. Ia melakukan banyak perbuatan baik dan amat dikasihi oleh umatnya. Setelah tigapuluh tahun masa pelayanan St Aidan, setiap biarawan atau imam yang datang ke daerah itu akan disambut dengan penuh sukacita oleh segenap penduduk desa. Di Pulau Lindisfarne, St Aidan mendirikan sebuah biara besar. Betapa banyak orang kudus dihasilkan dari sana hingga Lindisfarne dikenal sebagai Pulau Kudus. Sedikit demi sedikit, pengaruh pewartaan yang giat ini mengubah Inggris Utara menjadi sebuah pulau Kristen yang beradab. St Aidan wafat pada tahun 651.
Kita dapat belajar dari kisah hidup St Aidan bahwa kesaksian seorang yang baik hati dan penuh sukacita mendatangkan pengaruh kuat pada orang-orang lain. Apabila kita membutuhkan pertolongan untuk melihat kebaikan dalam diri orang lain, kita dapat membisikkan doa kepada St Aidan.
Marilah pada hari ini kita berdoa bagi mereka semua yang berkarya jauh dari tanah air demi mewartakan Injil.
Saint a Day, by Sr. Susan H. Wallace, FSP, Copyright © 1999, Daughters of St. Paul. Used by permission of Pauline Books & Media, 50 St. Paul's Avenue, Boston, MA 02130. All rights reserved.
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan sebagian / seluruh artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
|