![]() |
St Mariam dari Yesus Tersalib
![]() St Mariam Baouardy (1846-1878)
![]() si Arab Kecil, si Bunga Lily dari Palestina
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() Mariam Baouardy (juga dieja Mariam Bawardy) dilahirkan pada tanggal 5 Januari 1846 di Ibillin, yang terletak di wilayah perbukitan Galilea atas, Palestina. Keluarganya berasal dari Damaskus, Syria. Mereka adalah orang-orang Katolik dari Ritus Katolik-Yunani Melkite, keturunan Archeparchy dari Antiokhia, tempat di mana para pengikut Yesus pertama kali disebut Kristen. Ayahnya, Giries (George) Baouardy, berasal dari Horfesch, Palestina; ibunya, Mariam Chahine, berasal dari Tarsis, Palestina.
Kelahiran Mariam pada tahun 1846 merupakan jawab atas banyak cucuran airmata dan doa kedua orangtuanya, Giries dan Mariam Baouardy. Sebelum kelahiran Mariam mereka sudah dikaruniai duabelas anak laki-laki, tetapi sayangnya mereka semua meninggal dunia semasa masih kecil benar. Duka mereka begitu mendalam atas kepergian anak-anak mereka. Dengan patah hati, namun penuh harap, sang ibu mendapat inspirasi yang ia percayakan kepada suaminya. "Marilah kita pergi ke Betlehem dengan berjalan kaki, dan memohon kepada Santa Perawan seorang anak perempuan. Marilah berjanji kepadanya bahwa jika doa kita dikabulkan, kita akan menamainya Mariam [= Maria] dan akan menyumbangkan demi pelayanan kepada Allah lilin seberat anak itu ketika usianya tiga tahun."
Dengan penuh keyakinan pasangan suami istri itu berangkat ke Bethlehem, yang pada waktu itu merupakan perjalanan yang sangat panjang sejauh 170 kilometer, yang mereka tempuh dengan berjalan kaki. Dapat kita bayangkan bagaimana pengharapan dan kesungguhan hati mereka sementara mereka berdoa di Grotto Kelahiran Yesus. Bunda Allah memberkati mereka dengan mendengarkan permohonan mereka. Sukacita pasangan suami istri itu meluap saat doa mereka dikabulkan dan Mariam dilahirkan pada malam Epifani [= Hari Raya Penampakan Tuhan], 5 Januari 1846. Seperti yang telah mereka janjikan, mereka menamainya seturut nama Perawan Maria, kepada siapa mereka memiliki devosi yang mendalam.
Sepuluh hari kemudian, pada tanggal 15 Januari 1846, di Gereja Katolik Melkite di kota kelahirannya, Ibillin, ia menerima Sakramen Pembaptisan dan Sakramen Krisma. Dua tahun kemudian, Mariam mendapatkan seorang adik laki-laki, Boulos (Paulus). Akan tetapi kebahagiaan ini berlangsung teramat singkat sebab kematian kedua orangtua si kecil Mariam.
Mariam baru berumur dua tahun ketika kedua orangtuanya meninggal dunia selang hanya beberapa hari akibat suatu penyakit yang tak dikenal. Menjelang wafat, ayahnya, sembari memandangi gambar St Yosef, bergumam: "Santo yang agung, ini anakku; Santa Perawan adalah Bundanya, berkenanlah untuk memeliharanya juga; jadilah Bapanya."
Seorang bibi dari pihak ibu yang tinggal di Tarsis, membawa pulang adiknya, Boulos; sementara Mariam diambil anak oleh seorang paman dari pihak ayah yang tinggal di Ibillin. Sejak saat itu, kedua kakak beradik ini tidak pernah bertemu lagi.
Mariam mendapatkan segala bentuk perhatian di rumah pamannya. Tetapi bagaimanakah ia dapat lupa bahwa ia seorang anak yatim piatu? Kehilangan kedua orangtua meninggalkan luka kepedihan dalam hatinya.
Mariam tinggal di rumah nyaman milik pamannya yang merawatnya seperti anak sendiri. Di kebun buah-buahan, di tengah pohon-pohon aprikot, persik dan kemiri, Mariam menempatkan sebuah kurungan kecil dengan burung-burung kecil di dalamnya. Suatu hari ia berpendapat bahwa burung-burung kecil kesayangannya itu perlu dimandikan. Akan tetapi, tanpa sengaja ia malahan menenggelamkannya ke dalam air. Patah hati, akhirnya ia memutuskan untuk menguburkan burung-burung itu, ketika dari dalam hati ia mendengar suatu suara yang jelas, "Beginilah semuanya akan berlalu. Jika kau memberikan hatimu kepada-Ku, Aku akan selalu tinggal bersamamu." Kata-kata ini tertanam kuat dalam hatinya.
Dalam suatu "mimpi" yang selalu ia ingat, ia melihat seorang pedagang masuk ke dalam rumah pamannya dan menawarkan sebuah ikan besar yang sungguh baik kualitasnya. Mariam tahu bahwa ikan itu beracun, maka terbangunlah ia. "Hanya mimpi!" katanya. Tapi keesokan paginya seorang pedagang sungguh muncul untuk menjual ikan seperti dalam mimpinya. Ia memperingatkan pamannya, yang meski begitu, bersikukuh untuk membeli dan menyantap ikan itu. Sebab tak dipedulikan, Mariam mendesak agar diperbolehkan memakannya terlebih dahulu, rela mengorbankan diri demi keselamatan yang lain. Melihat kegigihannya, akhirnya sang paman membelah ikan, dan betapa mereka terperanjat mendapati bahwa ikan itu beracun, sebab telah menelan seekor ular kecil beracun!
Pada kesempatan lain entah bagaimana seekor ular berhasil masuk ke dalam rumah saat ia sedang makan sendirian. Tanpa takut, Mariam mengambilnya tepat saat pelayan membuka pintu. Pelayan menjerit dan sebab terkejut, Mariam melepaskan ular itu yang segera melarikan diri. Sepanjang hidupnya, Mariam kerap mendapat penglihatan akan ular, dan kelak sebagai seorang Karmelit dan seorang mistikus ia sering menghadapi pertarungan sengit melawan "si Ular tua", yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia (Why 12: 9).
Santa Perawan melingkupi gadis kecil ini dengan kasih sayangnya; ia yang dimohon dengan sangat oleh orangtuanya di grotto Betlehem. Ia adalah anak kesayangan Bunda kita. Dan sebaliknya, demi menghormati Bunda Maria, sejak usianya lima tahun, Mariam berpuasa setiap hari Sabtu dengan hanya menyantap makan malam. Paman dan bibinya kerap dibuat tercengang dan kagum melihat devosi kanak-kanak yang masih belia ini. Pada musim semi, Mariam akan mengumpulkan bunga-bunga, memilih yang paling indah dan paling harum dari kebun atau dari bukit-bukit Ibillin untuk ditempatkan di depan patung Santa Perawan. Dan betapa terkejutnya ia ketika suatu hari mendapati bahwa batang-batang bunga yang telah dipotongnya itu berakar dalam vas? Ia memperlihatkannya kepada pamannya yang memberitahukannya kepada pastor setempat. Demi membuatnya tetap rendah hati, sang pastor mencelanya seolah dosa-dosanyalah yang menyebabkan fenomena ini. Mariam jatuh berlutut, merendahkan diri di hadapan Allah dan memohon ampun atas dosa-dosanya.
"Akan menjadi apakah anak ini kelak?" pastor, kerabat dan tetangga bertanya-tanya melihat kesalehan rohani dan devosi begitu rupa dari seorang anak berusia lima tahun.
Ketika Mariam berusia delapan tahun, keluarganya pindah ke Alexandria, Mesir, dan sekali lagi Mariam bersedih hati sebab meninggalkan kampung halaman yang dicintainya. Ia tidak pernah melihat Ibillin lagi hingga menjelang akhir hidupnya pada tahun 1878.
Seturut adat kebiasaan setempat, Mariam yang berusia tigabelas tahun akan dinikahkan dengan saudara bibinya yang tinggal di Kairo. Mariam shock dan sangat sedih, sebab kerinduan satu-satunya adalah mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah saja. Dalam duka mendalam ia tak dapat tidur malam menjelang pernikahan; dengan bersungguh-sungguh ia berdoa kepada Tuhan memohon campur tangan-Nya, atau berkenan menunjukkan kehendak-Nya yang kudus. Dari kedalaman batinnya ia mendengar lagi suatu suara yang dikenalnya, "Semuanya akan berlalu. Jika kau memberikan hatimu kepada-Ku, Aku akan selalu tinggal bersamamu."
Di hadapan patung Perawan Maria, ia sujud memohon ketika sekonyong-konyong ia mendengar suara yang mengatakan, "Mariam, aku bersamamu; ikuti inspirasi yang akan kuberikan. Aku akan menolongmu."
Keesokan paginya Mariam memberitahu pamannya bahwa ia tidak mau menikah dan ingin tetap perawan. Pamannya yang meledak dalam murka mendaratkan pukulan-pukulan atas pembangkangan dan ketidakpatuhannya. Kendati pukulan-pukulan dan makian yang dilontarkan kepadanya, Mariam tak hendak berubah pikiran. Ia sangat sedih telah melukai hati pamannya, tapi ia tetap teguh dalam keputusannya, sebab cintanya kepada Tuhan lebih dari segalanya.
Sebagai hukuman, ia diperlakukan sebagai pelayan yang paling hina dengan tugas-tugas dapur yang paling sulit. Dalam penderitaan Mariam menulis surat kepada adiknya, Boulos, untuk datang mengunjunginya di Alexandria.
Dikucilkan dari keluarga pamannya, Mariam beroleh penghiburan dari seorang pelayan Muslim yang mendorongnya mengungkapkan masalah pribadinya. Sang pemuda menganjurkan agama Islam sebagai jalan untuk mengatasi masalahnya. Mariam menolak anjurannya dan dengan lantang memaklumkan imannya. "Muslim, tidak, tidak pernah! Aku adalah puteri Gereja Katolik, dan aku berharap, dengan rahmat Allah, untuk setia hingga akhir hayat dalam agamaku, yang adalah satu-satunya yang benar."
Ditolak mentah-mentah oleh gadis Kristen ini menjadikan sang pemuda kalap. Dangan sorot mata penuh kebencian ia menendang Mariam hingga jatuh terjengkang ke lantai. Ia lalu menghunus pedang dan menggorok leher si gadis. Berpikir bahwa ia telah mati, ia membuang tubuh yang bermandikan darah itu di sebuah lorong gelap dekat sana. Hari itu adalah Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria, 8 September 1858. Yang terjadi selanjutnya seperti dikisahkan Mariam sendiri kepada Pembimbing Novis di Marseilles, Perancis:
"Seorang biarawati berpakaian biru menghampiriku dan menjahit luka tenggorokanku. Ini terjadi di sebuah grotto di suatu tempat. Aku lalu mendapati diriku di surga bersama Santa Perawan, para malaikat dan para kudus. Mereka memperlakukanku dengan sangat ramah. Bersama mereka ada kedua orangtuaku. Aku melihat mahkota kemilau Tritunggal Mahakudus dan Yesus Kristus dalam kemanusiaan-Nya. Tidak ada matahari, tidak ada lampu, tapi semuanya terang dengan cahaya. Seseorang berbicara kepadaku. Mereka mengatakan bahwa aku adalah seorang perawan, tapi bukuku belumlah selesai."
Mariam kemudian mendapati dirinya sekali lagi dalam grotto dengan "biarawati berpakaian biru". Berapa lama Mariam berada di tempat pengungsian tersembunyi ini? Ia mengatakan satu bulan, tapi ia tidak yakin. Suatu hari, perawat tak dikenal itu menyediakan sop untuknya yang rasanya teramat lezat hingga Mariam dengan rakus meminta lagi, dan sepanjang hidupnya ia ingat akan rasa sop surgawi ini. Di atas ranjang kematian, ia terdengar menggumam lembut, "Ia membuatkan aku sop! Oh, sop yang begitu lezat! Di sanalah aku lama berada, mencari, dan tiada pernah makan sop yang seperti itu. Aku mengenang rasanya dalam mulutku. Ia berjanji padaku bahwa di saat ajalku, ia akan memberiku sesendok kecil sop itu."
Di akhir masa tinggalnya dalam gua, sang perawat berpakaian biru secara singkat menggambarkan jalan hidup Mariam. "Kau tidak akan pernah bertemu dengan keluargamu lagi, kau akan pergi ke Perancis, di mana kau akan menjadi seorang religius. Engkau akan menjadi anak St Yosef sebelum menjadi puteri St. Teresa. Engkau akan menerima jubah Karmel dalam satu rumah, kau akan mengucapkan kaulmu di rumah yang kedua, dan kau akan meninggal di rumah yang ketiga, di Betlehem".
Bekas luka di leher tetap membekas hingga akhir hidupnya. Hal ini dikonfirmasikan oleh para dokter dan perawat di Marseille, juga di Pau, Mangalore, dan akhirnya di Betlehem. Luka ini panjangnya 10 cm dan lebarnya 1 cm, menorehkan tanda di seluruh leher bagian depan, yang kulitnya lebih halus dan lebih putih. Beberapa cincin tulang rawan pembuluh nadi batang tenggorok hilang, seperti dikemukakan para dokter di Pau pada tanggal 24 Juni 1875. Pembimbing Novis menulis: "Seorang dokter terkenal di Marseille yang merawat Mariam mengakui bahwa, meskipun ia seorang atheis, pastilah Allah itu ada, sebab dari sudut pandang normal, ia tidak mungkin hidup." Sebagai akibat dari gorokan yang dalam ini suara Mariam selalu serak. Kemartiran si Arab kecil ini tertera nyata dalam dagingnya.
Mariam sendiri di kemudian hari menulis: "Setelah lukaku sembuh aku lalu harus meninggalkan grotto dan Bunda membawaku ke Gereja St. Katarina yang dilayani oleh para biarawan Fransiskan. Aku pergi ke pengakuan dosa. Ketika aku pergi, Perempuan Bergaun Biru telah menghilang"
Bertahun-tahun kemudian sementara dalam ekstasi, 8 September 1874, ulang tahun kemartiran dan pesta kelahiran Bunda Maria, Sr. Mariam mengatakan, "Pada hari yang sama pada tahun 1858, aku bersama Bunda-ku dan aku mempersembahkan hidupku kepadanya. Seorang telah menggorok leherku dan keesokan harinya Bunda Maria merawatku."
Sr. Mariam menceritakan kepada pembimbing rohaninya, Pater Estrate, "Aku tahu sekarang bahwa religius yang merawatku setelah kemartiranku adalah Santa Perawan."
![]() Usianya baru tigabelas tahun dan sekarang ia harus menopang hidupnya sendiri. Ia menghidupi dirinya dengan bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga Kristen Arab bernama Najjar. Mariam hidup sebagai seorang miskin, dengan hanya selembar pakaian, dan gaji kecil yang diterima semuanya dibagikan kepada mereka yang miskin, kecuali beberapa keping piastre guna membeli minyak untuk lampu kecil yang dinyalakannya terus-menerus di depan patung Santa Perawan. Waktu luangnya ia peruntukkan bagi mereka yang kurang beruntung.
Berharap dapat bertemu dengan Boulos, dan terutama sangat ingin menapaki jejak kaki Kristus serta mengunjungi tempat-tempat suci-Nya, sekitar setahun kemudian ia pergi menggabungkan diri dengan sebuah caravan yang menuju Yerusalem.
Suatu hari di jalanan Yerusalem, seorang pemuda, yang sangat tampan dan tulus hati, menghampirinya dan mengajaknya bercakap-cakap. Usia Mariam limabelas tahun. Percakapan berlangsung dengan sangat santun, si pemuda memuji kemurniannya yang sempurna. Beberapa hari kemudian ia menemui Mariam kembali dan memperkenalkan diri sebagai Yohanes George; ia menawarkan diri untuk menunjukkan kepada Mariam jalan ke Makam Suci.
Di tempat suci, si pemuda menjanjikan bimbingan misterius yang mempersyaratkan kaul keperawanan selamanya. Dan begitulah, di tempat tepat terletak makam mulia Tuhan Yesus yang bangkit, kedua pemuda dan pemudi ini menjadi "putera dan puteri Kebangkitan" dengan memaklumkan kaul kemurnian.
Sebelum undur diri dari Mariam, Yohanes George mengingatkannya akan tahap-tahap utama hidupnya seperti telah dirancangkan Santa Perawan baginya di grotto Alexandria. Sepuluh tahun kemudian di Mangalore, India, Mariam bertemu dengan "saudara rohani"-nya kembali; ini terjadi menjelang kaul kekalnya di Karmel. Religius muda ini lalu mengerti bahwa Yohanes George adalah seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk menolongnya, seperti yang Ia lakukan pada masa lalu terhadap pemuda Tobia.
![]() Dari Yeruselem, Mariam kembali ke Jaffa untuk dari sana pergi ke Santa Jeanne d'Arc, akan tetapi kapal yang ia tumpangi, karena cuaca buruk, terpaksa mengubah halauan dan berlabuh di Beirut. Merasa bahwa itu mungkin kehendak Allah, ia sekali lagi mengambil pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga.
Dua peristiwa luar biasa terjadi selama di Beirut. Mariam bekerja selama hampir enam bulan ketika sekonyong-konyong ia menjadi buta total. Kebutaan ini berlangsung selama 40 hari. Sekali lagi Mariam berpaling kepada Santa Perawan, "Lihatlah, Bunda-ku," katanya, "segala problem yang aku akibatkan di rumah ini. Aku bahkan tidak lebih baik dirawat oleh orangtuaku. Oh, jika berkenan bagimu dan bagi Putra Ilahimu, kembalikanlah penglihatanku!" Serta-merta sesuatu seolah jatuh dari matanya dan ia pun dapat melihat kembali!
Beberapa bulan sesudahnya ia terjatuh dahsyat saat menjemur pakaian di serambi atas. Awalnya keluarga tempat ia bekerja, yang menganggapnya sebagai anak mereka sendiri, menyangka bahwa ia sudah mati; tulang-tulangnya kelihatan patah hebat dan remuk; dokter pun tidak berani memberi harapan kesembuhan. Sebulan kemudian, di depan lampu kecil yang dinyalakannya terus-menerus di depan patung Santa Perawan Maria, Mariam melihat - seperti yang dialami juga oleh Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus di kemudian hari - Santa Perawan tersenyum kepadanya, dan menganjurkan tiga hal kepadanya: ketaatan, cinta kasih dan keyakinan. Bau harum dan terang memenuhi kamarnya. Mariam disembuhkan, dan ia segera menjadi lapar. Keluarga dan tetangga datang berduyun-duyun, dan di hadapan mukjizat itu, semua orang, Kristen maupun Muslim, sujud berlutut, mengucap syukur dan memaklumkan mukjizat Allah melalui Santa Perawan Maria.
Pada awal bulan Mei 1863, pada usia delapanbelas tahun, Mariam meninggalkan Lebanon dan pergi ke Marseille, Perancis. Di sana ia menjadi tukang masak seorang perempuan Arab bernama Nyonya Naggiar. Setiap pagi Mariam biasa pergi ke Gereja St Charles atau ke Gereja St Nicholas. Ia memilih Pater Philip Abdou, rektor gereja, seorang Lebanon, sebagai pembimbing rohaninya.
Dalam salah satu komuni di Gereja St Nicholas, Mariam masuk dalam ekstasi yang mengagumkan. Kejadian itu berlangsung selama empat hari; para dokter tak dapat menjelaskan apa yang terjadi. Mariam mengatakan bahwa ia pergi mengunjungi surga, neraka dan api penyucian. Sementara dalam ekstasi, ia menerima perintah untuk berpuasa selama satu tahun dengan hanya makan roti dan minum air demi menyilih dosa-dosa kerakusan di dunia, dan untuk mengenakan pakaian miskin demi menyilih dosa-dosa ketidaksopanan dan kemewahan.
Sumber: 1. “Saint Mariam Baouardy The Little Arab and Lily of Palestine”; www.mysticsofthechurch.com; 2. berbagai sumber
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net” atas ijin Mystics of the Church.”
|
![]() |